PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pondok
pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang lahir sejak awal kedatangan Islam
di nusantara. Dalam babakan sejarahnya, pesantren telah banyak menjadi objek
penelitian para cendekiawan yang ingin mempelajari Islam di wilayah ini, yaitu
sejak Brumund menuliskan buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun
1857.
Pondok
pesantren merupakan pusat pendidikan Islam, dakwah dan pengabdian masyarakat
yang tertua di Indonesia. Lembaga Pondok Pesantren dikenal memiliki sistem
pendidikan dengan ciri-ciri dan karakteristik yang khas. Keberadaannya sampai
sekarang masih berdiri kokoh di tengah-tengah masyarakat dan terus berkembang,
dengan menampakkan kebhinekaan dan kemandirian. Seiring dengan proses
Islamisasi di Indonesia menyisakan beberapa problem mendasar salah satunya,
yaitu terkait isu kesetaraan gender.
Hal
ini sering terlihat pada adanya kesenjangan akses, partisipasi, peran dan
tanggungjawab yang dimiliki pelajar (santri) putra dan putri, baik pada aspek
pengambilan kebijakan, sistem manajerial, pembelajaran, bahan ajar, maupun
pemanfaatan fasilitas yang tersedia. Akibatnya, output santri putra memiliki
potensi lebih besar untuk memainkan peran publik di tengah tengah masyarakat.
Kesenjangan tersebut juga berdampak pada kelangkaan ulama perempuan yang
kontribusinya sangat dibutuhkan, terutama dalam hal upaya peningkatan
pemberdayaan perempuan untuk mencapai Milenium Development Goals (MDGs) dan
mengatasi adanya isu-isu gender khususnya di kalangan masyarakat Muslim.[1]
Masdar
F. Mas’udi, Farkha Ciciek, dan Lies Marcoes Natsir merupakan para pioner yang
meletakkan landasan etika keagamaan bagi gerakan gender di kalangan pesantren.
Progam fiqih perempuan (fiqhu an-nisâ’) yang dicanangkan melalui pusat
Penelitian dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pesantren memiliki
daya jangkau yang cukup luas di kalangan muslim tradisional. Pemikiran mereka
tentang gender dan Islam, khususnya dalam hal yang mengenai hak-hak reproduksi
perempuan dalam Islam, menjembatani antara wacana gender yang diusung oleh
dunia internasional sebagaimana yang tercetus, misalnya pada konferensi
kependudukan International Conference on Population and Development (ICPD) di
Kairo pada tahun 1994 dan konferensi perempuan sedunia di Beijing pada tahun
1995 dengan problem hak-hak perempuan di pesantren. Penyadaran gender yang
dilakukan di pesantren ini pada satu sisi memperoleh dukungan dari kalangan
muda pesantren, namun di sisi lain cukup mendapat reaksi keras atau penolakan
dari para kiai.
Modern
ini, pendidikan banyak yang mempunyai pandangan berbeda tentang pemahaman
ajaran-ajaran yang mengakar di masyarakat dalam beberapa dekade, semua itu
tidak lain karena perkembangan zaman yang ada. Relevansi pendidikan terhadap
perkembangan zaman harus representatif, karena jika tidak dilakukan inovasi
semua pendidikan yang mapan tersebut terkesan monoton dan kurang tepat guna
bagi para peserta didik yang mempelajari ajaran yang disediakan oleh instansi
terkait.
Salah
satu pendidikan yang disoroti akhir-akhir ini adalah tentang penyetaraan
perempuan dalam hak dan peran sosial. Patriarki kaum Adami dan subordinasi kaum
hawa merupakan contohnya, tidak memandang sejauh mana kemajuan peradaban di
zaman serba sentuhan tangan ini.[2]
Potret pendidikan
Islam di Indonesia
juga tidak luput
dengan pendidikan yang mendiskreditkan kaum hawa, seperti adanya hadis yang
ditafsirkan secara misogini,
sehingga banyak di antara perempuan
yang enggan untuk meneruskan pendidikan lebih tinggi, dengan anggapan
sumbangsih pendidikan bagi mereka kurang penting. Di sisi lain orang tua
yang kurang berpendidikan
juga mengajarkan secara turun-temurun tentang posisi
perempuan dalam sebuah keluarga dan tugas-tugas yang harus dilakukannya.
Perempuan, menurut para orang tua tidaklah lebih dari sekedar pelayan laki-laki
di dalam menjalankan roda keluarga, sehingga kontribusi ide-idenya kurang
penting.
Pondok pesantren
sebagai landasan pendidikan
agama, merupakan lembaga pendidikan yang syarat ajarannya dengan
al-Qur’an dan Hadis, sehingga
ada indikasi pembelajaran Hadis
yang ditafsirkan secara misoginis. Akan tetapi ada juga beberapa pondok
pesantren yang mencoba untuk melestarikan hadis-hadis yang dulunya berbau
misoginis, salah satunya
yaitu pondok pesantren Azzakariyah, di situ
para santri mengkaji dan mereinterpretasi hadis yang ditafsirkan secara
misoginis, karena menurut al-Ghazali Hadis bisa berubah statusnya sesuai dengan kedudukannya.
Salah
satu kitab yang dikaji
untuk mendalami permasalahan tersebut adalah kitab عقود اللجين.
Kitab tersebut memang mempunyai kelebihan dalam membahas hiruk pikuk rumah
tangga, tauhid dan yang lainnya, akan tetapi kitab tersebut mengandung beberapa
Hadis yang dianggap misoginis, isinya selain menomor duakan perempuan dalam
urusan rumah tangga, di situ juga tidak pernah menjelaskan peran perempuan
dalam strata sosial masyarakat, yang seharusnya perempuan mempunyai segudang
potensi dalam berperan memajukan sosial masyarakat menjadi
terhambat, karena dengan adanya
tafsir yang mengarah ke
misogini, seperti pembatasan bagi perempuan untuk keluar rumah, perempuan
melakukan kebaikan atau
bahkan beribadah sunah harus ijin suami, dan perempuan harus
siap melayani suami kapanpun dan di manapun dia berada. Santri-santri mencoba
untuk mereinterpretasikan Hadis-hadis tersebut dalam kajian kitab عقود اللجين
dengan harapan agar anatara laki-laki
dan perempuan memahami
bahwa mereka mempunyai hak yang
sama dalam menjadi subjek keputusan segala hal yang memang melibatkan
kemaslahatan bersama, sesuai dengan prinsip al-Qur’an yang mengutamakan kesetaraan.
Namun,
akhir-akhir ini reputasi pondok pesantren sedikit dipertanyakan oleh sebagian
masyarakat muslim di Indonesia. Mayoritas pondok pesantren pada saat ini
terkesan jauh dari realitas sosial yang ada. Problem sosialisasi dan
aktualisasi dalam permasalahan gender yang sering dipandang sebelah mata oleh
kaum santri salafi di satu sisi, dan dipandang wajar-wajar saja oleh sisi yang
lain sehingga menyebabkan sering terjadinya bias gender di kalangan pondok
pesantren. Yang mana, sistem pengajaran di pondok pesantren salafi yang
menekankan kajian kitab-kitab kuning klasik tidak terlepas dari adanya
hadis-hadis dalam tanda kutip hadis misogonis yang diajarkan pada santri putra
dan putri.
Hadis
merupakan segala sesuatu yang ada pada diri Nabi Muhammad saw meliputi
perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Bagi umat Islam hadis dijadikan
suri tauladan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga hadis menjadi salah satu
dari sumber utama ajaran Islam.
Fungsi
hadis yang begitu kompleks dalam Islam, maka perhatian terhadap hadis sangat
diperlukan oleh umat Islam. Akan tetapi, hadis tidak bisa kita pahami semuanya
dengan jelas hanya dengan melihat pada tekstual hadis tersebut. Hal ini
dikarenakan sebagian hadis ada memiliki makna yang tersirat dan juga tersurat,
sehingga diperlukan juga pemahaman terhadap kontekstual hadis tersebut.
Salah
satu hadis yang tidak bisa dipahami hanya dengan tekstual hadis tersebut adalah
tentang masalah jender atau kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya hadis tentang kepemimpinan perempuan. Kebanyakan orang hanya melihat
pada teks hadis ini pasti akan langsung melarang perempuan untuk menjadi
pemimpin. Untuk itu perlu adanya pemahaman pada kontekstual hadis yang
menyangkut sejarah dari keluarnya hadis ini.
Dengan
sistem pengajarannya yang mayoritas dengan menggunakan sistem maknani saja,
atau sistem lain seperti contoh ustadz membacakan hadis kepada para santri
tanpa dideskripsikan dengan interpretasi yang cukup jelas sedangkan para santri
menuliskannya tanpa ada keterangan yang lebih lanjut dari seorang ustadz
ataupun ustadzah. Tentu saja apa yang didengarkan oleh para santri seolah-olah
benar dan begitu adanya tanpa berfikir tentang tafsir atau interpretasi yang
sesungguhnya dari hadis yang disampaikan.
Padahal
hadis-hadis yang berbau misoginis sangat perlu untuk ditafsirkan dan dijelaskan
konteks situasi saat itu. Sehingga, santri bisa memikirkan bagaimana sebenarnya
hadis itu difungsikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadis-hadis nabi
yang secara tekstual kadang menunjukkan deskriminasi gender, sehingga
keberadaan hadits-hadits tersebut harus diperhatikan dalam proses interpretasi
maknanya agar tidak ada kesalahpahaman dalam memahami hadis-hadis tersebut.
Salah
satu hadis yang tidak bisa dipahami hanya dengan tekstual hadis tersebut adalah
tentang masalah gender atau kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya hadis tentang kepemimpinan perempuan. Kebanyakan orang hanya melihat
pada teks hadis ini pasti akan langsung melarang perempuan untuk menjadi
pemimpin. Untuk itu perlu adanya pemahaman pada kontekstual hadis yang
menyangkut sejarah dari keluarnya hadis ini.
Adanya
sikap demikian timbul dari interpretasi yang berkembang atas hadis misoginis
yang dipahami secara tekstual dan tidak imbang, pemahaman dengan model demikian
berimplikasi terhadap kepemimpinan perempuan pada ruang publik. Hadis tersebut
berikut:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ
عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ
رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ
مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ
بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ
قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا
اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً
Artinya: Usamah bin Haitsan
menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia
mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut terlibat
dalam peristiwa perang
Jamal (Unta). Yaitu ketika
disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa
Persia telah mengangkat
anak perempuan Kisra sebagai
penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan
pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan.[3]
Menurut Husain,
bahwa hadis ini
diungkapkan dalam bentuk kerangka pemberitahuan atau informasi bukan
dalam bentuk legitimasi hukum. Maka hadis ini tidak bisa dipahami apa adanya,
akan tetapi harus dipahami dari esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk
semua kasus karena hadis itu bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia yang
kala itu pola kepemimpinannya bersifat sentralistik, tiranik dan otokratik.
Padahal pertimbangan mendasar dalam kepemimpinan adalah kemampuan dan
intelektualitas. Dua hal itu saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja baik
laki-laki maupun perempuan.[4]
Dalam pengamatan Sahiron Syamsuddin
bahwa hadis ini hanya berlaku untuk kasus tersebut bukan bagi kasus lain karena
itu hadis diatas tidak cukup dipahami secara tekstual, tetapi harus
dimaknai secara kontekstual.
Atas dasar itu,
Quraish Shihab dengan tegas
menulis; “Jadi sekali
lagi hadis tersebut
diatas ditujukan kepada
masyarakat Persia ketika
itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua
urusan”.[5]
Eksistensi bias gender dan konservatisme
tidak bisa lepas dari pola penafsiran teks-teks
agama,
dalam hal
ini
Islam, yang
cenderung parsial, tidak holistik, dan tidak komprehensif, akibatnya perempuan sering dimarginalkan atau
didiskriminasikan dalam ragam dimensi haknya, baik secara personal maupun
kolektif. Beberapa narasi yang digunakan untuk mendukung premis tersebut yaitu,
seperti, penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki- laki yang bengkok, pesona
perempuan yang menjerumuskan laki-laki, perempuan sebagai penghuni mayoritas di
neraka, kewajiban keluar rumah dengan mahram, wajibnya shalat secara
tersembunyi, kewajiban mutlak taat pada suami, hingga pelaknatan bagi perempuan
yang enggan melayani suami.[6]
Sejumlah rentetan diskriminasi terhadap perempuan tidak
saja didukung oleh intrepretasi teks keagamaan oleh para mufassir, tapi
juga disokong penuh oleh konstruksi sosial yang
melegetimasi perempuan sebagai perhiasan dunia yang tugasnya hanya
menghiasi dunia laki-laki. Sementara itu, agama seringkali dijadikan sebagai
dalih pembenaran atas berbagai klaim
yang diusung dan
menjadi sebuah fenomena global.4
Sebenarnya di Indonesia sendiri menurut Alwi dalam risetnya menyatakan
bahwa perempuan dalam ruang publik sudah cukup fleksibel jika membandingkannya
dengan negara-negara Islam lainnya. Namun keadaan tersebut mengundang polemik
berlanjut ketika membenturkannya dengan teks keagamaan, sehingga kentara kesenjangan
antara bunyi teks dengan konteks.
Secara
terminologis, gender bisa didefinisikan sebagai harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. Gender dipandang sebagai suatu konsep kultural yang
dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Difahami bahwa
gender merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi social dan budaya,
nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta factor-faktor nonbiologis
lainnya. Karena
pada dasarnya dalam perihal gender, baik didalam al-Qur’an maupun hadis
sesungguhnya telah menempatkan perempuan pada posisi yang sama terhormatnya
dengan kaum laki-laki, namun dikarenakan adanyapemahaman terhadap
doktrin-doktrin Islam secara parsial dan mengabaikan semangatnya sebagai agama
pembebas mengakibatkan kesan seperti adanya diskriminalisasi dalam ajaran agama
Islam yang menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan subordinatif.[7]
Istilah
misogini berawal dari adanya mitos tentang penciptaan wanita dan keluarnya Adam
dari surga ke bumi. Menjadi sebab munculnya banyak perlakuan kasar
dan negatif terhadap
wanita. Cerita tersebut menggambarkan bahwa wanita
diciptakan menjadi makhluk yang bertujuan melengkapi hasrat Adam, dan sebab jatuhnya Adam ke bumi karena godaan
Hawa. Cerita ini melahirkan faham misoginis (pembencian wanita oleh pria).
Faham yang berasal dari ajaran Yahudi-Kristen ini berpengaruh cukup luas di
dalam dunia Arab melalui berbagai media, bahkan dalam kita tafsir dan fikih pun
tak terlewatkan
Sebagian
mitos sebagai akar kebencian terhadap kaum wanita juga bisa dilihat dari
penjelasan Hyde. Menurut Hyde, dalam diri kaum wanita dilekatkan mitos-mitos
yang kurang menguntungkan bagi mereka antara lain mitos mengenai kejahatan
feminim (feminie evil) yang berasal dari tradisi Judeo-Kristen mengenai
kejatuhan manusia dari surga karena kesalahan Hawa membujuk Adam untuk memakan
buah dari pohon pengetahuan.
Menengok
ke salah satu pesantren yang ada di Kabupaten Merangin, tepatnya di Kecamatan
Renah Pembarap yakni Pondok pesantren Azzakariyah, merambah ke akses pendidikan
terhitung jumlah ustadz lebih unggul dari pada jumlah ustadzah. Entah disengaja
atau memang tidak ada perempuan yang cakap untuk mengajar. Selain masalah
tenaga pengajar biasanya, juga ada doktrin dari orang tua atau keluarga agar
tidak usah belajar mata pelajaran umum karena hanya keilmuan agama yang
berguna. Namun sangat disayangkan sekali, jika ternyata masih banyak pesantren
yang memiliki pemikiran seperti ini. Selain memeberikan ruang gerak yang sempit
kepada santri putri, hal demikian juga akan memelihara dominasi laki-laki atas
perempuan. Dengan berbagai alasan perempuan hanya akan kembali kepada tugas
domesktinya saja. Kalaupun ada di perkirakan pemahaman-pemahaman tersebut masih
memili hubungan dengan hadis nabi yang tidak ditelusuri lebih lanjut, seperti
hadits berikut :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضيَ الَّلُه عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الَّلهِ
صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِسْتَوْصُوْآ بِالنِّسَاءِ فَاِنَّ اْلمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَاِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٌ فِي
الضَّلْعِ أَعْلاَهُ, فَاِنْ زَهَبَتْ تَقِيْمُهُ كَسُرَتْهُ وَإِنْ تَرْكُهُ لَمْ
يَزَلْ اَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْ ابِالنِّسَاءِ. )رواه البخاري(
Artinya : Dari Abu
Khurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda “Berwasiatlah kalian kepada
perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusukdan dan
sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Apabila
kamu bermaksud untuk meluruskan nya, maka kamu mematahkannya, dan jika kamu
biarkan maka
ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah kepada perempuan”
(HR.al-Bukhari).[8]
Hadis diatas menjelaskan tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk laki-laki, sangat ditentang
oleh feminis muslim karena dinilai
diskriminatif dan membenci perempuan. Contohnya adalah Riffat Hasan. Riffat mengkritik
hadis tersebut dari dua sisi, yaitu: sanad
hadis dan matan hadis. Dari sanad hadis, Riffat
mengkritik tiga hal, yaitu pertama,
menyatakan bahwa semua hadis tersebut diriwayatkan dari Abu
Hurairah, sahabat Nabi SAW yang dianggap kontroversial olehbanyak ilmuwan Islam pada masanya, salah
satunya Imam Abu Hanifah. Kedua, semua hadis tersebut gharîb (terlemah dalam
klasifikasi hadis) karena terdapat beberapa perawi yang merupakan perawi
tunggal. Ketiga, hadis-hadis tersebut dinyatakan dha’îf, karena dalam
pandangannya sanad hadis tersebut terdapat beberapa perawi yang dianggap tidak
tsiqah.[9]
Dari pemahaman ulama hadis
terdapat perbedaan dengan pemahaman Feminis Muslim Indonesia. Lalu, bagaimana
dengan hadis-hadis lain yang juga bernada misoginis, mungkinkah juga terjadi
perbedaan pemahaman.
Walaupun demikian,
penciptaan wanita (Hawa) dari tulang rusuk Adam bukan berarti bahwa wanita lebih rendah martabatnya
dari
pada lelaki, tetapi merupakan simbol hubungan keduamya
yang rapat dan saling melengkapi. Sehingga tidak mungkin salah
satunya bisa hidup seimbang
tanpa yang lain. Para ulama salaf juga
tidak menafsirkan hadis tersebut
sebagai hujjah atas superioritas
laki-laki terhadap
perempuan, karena Islam tidak pernah menilai
kemuliaan dan kehinaan
berdasarkan asal-usul.
Dengan
adanya berbagai alasan perempuan hanya akan kembali pada pekerjaan yang
sifatnya domestik. Oleh karena itu dalam penelitian ini bertujuan membahas
tentang bagaimana pemahaman santri pondok pesantren Azzakariyah terhadap
hadis-hadis misoginis dan apa pengaruh hadis misoginis terhadap perilaku para
santri. Sehingga perlu kami untuk melakukan penelitian ini karena selain
menambah wawasan pengetahuan yang mungkin para santri masih buta akan istilah
misoginis dan juga agar mencegah terjadinya bias gender antara santri putra dan
putri.
Maka
dari latar belakang diatas, peneliti mengambil judul “Kajian Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok Pesantren Azzakariyah
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin)”.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian
pustaka disebut dengan istilah Fokus masalah, bagian ini merupakan
pengembangan dari latar belakang masalah yang menunjukkan bahwa masalah yang
akan di telaah memang belum terjawab atau belum di pecahkan. Adapun fokus
masalah yang akan di Telaah adalah :
1.
Bagaimana pemahaman santri pondok
pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis?
2.
Bagaimana konstruksi hadis misoginis
terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah ?
3.
Apa saja dampak hadis misoginis
terhadap terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah ?
C. Batasan Masalah
Berdasrkan
latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka penulis membatasi
permasalahan ini yaitu terfokus pada Kajian Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren
Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok Pesantren
Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin)
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan gambaran
tentang arah yang akan ditujudalam melaksanakan penelitian. Hal ini sangat
berguna bagi peneliti untukmenemukan, mengembangkan, maupun mengoreksi terhadap
ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat.
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut
:
1. Untuk mengetaui pemahaman santri pondok pesantren
Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis.
2. Untuk mengetahui konstruksi hadis misoginis terhadap
kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah
3. Untuk mengetahui dampak hadis misoginis terhadap terhadap
kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah
E. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian yang sudah diteliti oleh setiap manusia, pasti
ada nilai sisi baiknya dan mempunyai manfaat yang baik. Penulis mengharap bahwa
hasil penelitian ini dapat memberikan
nila-nilai yang positif dan bermanfaat bagi semua orang, baik kegunaan itu bersifat teoritis
dan kegunaan praktis, seperti kegunaan bagi penulis, instansi dan masyarakat.
Adapun manfaat dari hasil Penelitian ini, antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini agar dapat
memberikan kontribusi pengetahuan bagi mahasiswa UIN Jambi, masyarakat,
khususnya bagi Fakultas Ushuluddin tentang dampak hadis misoginis terhadap
pemahaman santri pondok pesantren Azzakariah.
2. Manfaat Praktis
a.
Bagi penulis
Dengan
mengkaji permasalahan ini maka akan menambah motivasi pengetahuan, dan menambah
wawasan dan pengetahuan Dalam studi tentang pemahaman santri terhadap
hadis-hadis misoginis di pondok pesantren Azzakariyah.
b.
Bagi Santri
Dapat memberikan kontribusi pemikiran
dan wawasan dalam memahami isi kandungan hadis sehingga dapat bermanfaat dan
isi kandungan hadis sehingga dapat bermanfaat dan memicu kesemangatan dalam
mengamalkan isi dari pada hadis, dengan begitu hadis tidaklah lagi di katakan
sebagai teks yang bisu melainkan mampu memberikan manfaat kandungannya.
c.
Bagi pondok
pesantren
Dapat
memberikan kontribusi dalam segi pengembangan keilmuan dan wawasan terutama
dalam masalah gender agar tidak terjadi bias gender di pesantren dan adanya
kesetaraan antara hak dan kewajiban bagi para santri putra dan santri putri.
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan
Jenis Penelitian
Pendekatan dalam penelitian
adalah pendekatan kualitatif, karena tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Tujuan penelitian kualitatif
adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.[10] Maka nanti peneliti akan mendeskripsikan data-data yang
ditemukan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan jenis field Research (penelitian lapangan).
Dalam penelitian ini, penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah penelitian terhadap kajian living hadis pemahaman
santri pondok pesantren Azzakariyah terhadap hadis–hadis misoginis. Oleh karena itu penelitan
kualitatif yang digunakan karena penelitian kualitatif sendiri merupakan jenis
penelitian yang menghasilkan penemuan yang tidak dapat dicapai melalui prosedur
pengukuran atau statistik.
Sementra jenis dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang
menggambarkan karakteristik suatu masyarakat atau suatu kelompok orang
tertentu, penelitian yang menggambarkan penggunaan fasilitas masyarakat,
penelitian yang memperkirakan proporsi orang yang mempunyai pendapat, sikap,
atau bertingkah laku tertentu, penelitian yang berusaha untuk melakukan semacam
ramalan dan penelitian yang mencari hubungan antara dua variabel atau lebih.[11]
2.
Setting dan Subjek
Penelitian
1. Setting
Penelitian
Setting penelitian ini dilakukan di pondok
pesantren Azzakariyah yang beralamat di jalan Sungai Manau – Kerinci KM 23 Desa
Muaro Panco Kecamatan Ranah Pembarap Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
Sedangkan subjek penelitian ini adalah Mudir pondok pesantren, majlis guru dan
santriwan-santriwati.
2.
Subjek Penelitian
Mengingat subjek penelitian yang baik
adalah subjek yang terlibat aktif, cukup mengetahui, memahami, atau
berkepentingan dengan aktivitas yang akan diteliti, serta memiliki waktu untuk
memberikan imformasi secara benar. Objek penelitian atau informan adalah orang,
kelompok atau informan yang berkompeten dalam penelitian dan memiliki hubungan
yang relevan atau dekat. Subyek penelitian menggunakan teknik pengambilan
sampel berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap relevan dengan
penelitian.[12]
Subyek penelitian ataupun responden adalah pihak-pihak yang akan dimintai
informasi menyangkut fokus penelitian. Dalam penelitian ini, mereka adalah
orang-orang yang diduga mampu memberikan informasi. Subyek yang diteliti
diambil dengan menggunakan cara purposive sampling yaitu teknik yang
didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang diperkirakan erat sangkut pautnya
dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui
sebelumnya.
Subjek dalam penelitian ini
menjadi informan yang akan memberikan informasi yang diperlukan selam proses
penelitian. informan dalam penelitian ini meliputi beberapa macam diantaranya
informan kunci, informan utama dan informan tambahan.
3. Jenis dan Sumber
Data
Ada dua jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder, dan kedua
jenis data tersebut digunakan untuk memperoleh data penelitian.
a. Jenis Data
Data primer adalah data
yang dikumpulkan oleh peneliti langsung dari sumber utamanya[13]. Data primer dalam penelitian ini yaitu data
yang di peroleh secara langsung dari sumber pertama melalui observasi dan
wawancara dengan responden penelitian.
Data sekunder merupakan data
pendukung atau data pelengkap atau data yang tidak langsung diserahkan oleh
sumber data, tetapi lewat orang lain atau lewat dokumen. Data bekas yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data dari sumber yang tidak secara langsung memberikan data kepada
pengumpul data, seperti data yang diperoleh dari orang lain atau dokumen lain.
b. Sumber Data
Sumber data adalah bahan utama yang dapat
diolah dan dianalisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian,
yaitu orang yang menjawab atau menjawab pertanyaan peneliti, termasuk
pertanyaan tertulis dan lisan. terkait penelitian
ini yang akan dijadikan sumber data adalah mudir pondok pesantren, majlis guru
dan santriwan-santriwati.
Data penelitian juga berupa hasil pengamatan, kumpulan
pencatatan lapangan, dan dokumentasi dari setiap tindakan kegiatan jum’atan
secara khusus maupun kegiatan tarekat secara umumnya.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Metode Observasi
Metode atau pengamatan mengoptimalkan
kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, prilaku tidak
sadar, kebiasaan dan sebagainya.[14]
Observasi juga dapat diartikan sebagai mengamati secara
langsung objek untuk mengetahui keberadaan, situasi, konteks, dan makna objek
dalam upaya mengumpulkan data penelitian. Observasi atau disebut juga dengan
pengamatan merupakan kegiatan pemuatan perhatian semua objek dengan menggunakan
seluruh indera.
Metode observasi dalam penelitian ini digunakan sebagai
pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap objek untuk mengetahui
keberadaan objek, situasi, konteks dan maknanya dalam upaya mengumpulkan data
penelitian. Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan
data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, direncanakan dan dicatat secara
sistematis, dapat dikontrol keandalannya (reliabilitasnya) dan kesahihannya
(validitasnya).
b. Wawancara
Wawancara dalam penelitian kualitatif
tidaklah bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh kreatifitas individu dalam
merespon realitas dan situasi ketika berlangsungnya wawancara.[15]
Dalam hal ini peneliti memakai dua metode
wawancara dan juga mengkategorikan responden menjadi dua. Pertama, untuk
responden para pengikut jum’atan secara umum peneliti menggunakan metode
wawancara etnografi yaitu wawancara yang menggambarkan sebuah percakapan
persahabatan. Peneliti mengumpulkan data-data melalui pengamatan, terlibat
langsung dan berbagai percakapan sambil lalu, sehingga responden tidak
menyadari jika peneliti sedang menggali informasi.[16]
Dalam metode wawancara,
pewawancara bertanya langsung kepada responden, merekam jawaban responden atau
merekam dengan tape recorder untuk mengumpulkan informasi.[17]
Wawancara membutuhkan syarat
penting, yaitu hubungan yang baik dan demokratis antara yang diwawancarai dan
penanya. Peran wawancara dalam penelitian adalah untuk memperoleh informasi
langsung dari responden (metode primer), memperoleh informasi ketika metode
lain tidak dapat digunakan (metode sekunder), dan memeriksa kebenaran kuesioner
atau metode observasi (metode standar).
c. Dokumentasi
Dokumen adalah teknik pengumpulan
data dengan mempelajari catatan data pribadi orang yang diwawancarai, seperti
yang dilakukan psikolog ketika mempelajari perkembangan pelanggan melalui
catatan pribadinya.[18] Penulis menggunakan dokumen
sebagai alat untuk memperoleh semua data yang berhubungan dengan penelitian.
Penggunaan metode dokumentasi yang digunakan peneliti adalah dengan
mengumpulkan data-data yang terkait dengan tema penelitian, meliputi buku dan
kitab, kalender, foto kegiatan, dan catatan administrasi dan beberapa catatan
yang masih terkait dengan tema penelitian.
5. Metode Analisis Data
Data-data yang telah
dikumpulkan untuk kemudian dianalisis. Dalam menganalisis data yang sebelumnya
peneliti peroleh, untuk proses analisa, cara yang digunakan terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu reduksi data, display data, verifikasi.
Reduksi ada merupakan proses seleksi, pemfokusan dan
abstraksi data dari catatan lapangan pada proses reduksi data, semua data umum
yang telah dikumpulkan dalam proses pengumpulan data sebelumnya dipilah-pilah
sedemikian rupa, sehingga peneliti dapat mengenali mana data yang telah sesuai
dengan kerangka konseptual atau ujian penelitian yang telah direncanakan dalam
desain penelitian. Dalam tahap ini, peneliti memilih fakta yang diperlukan dan
yang tidak diperlukan reduksi data ini dalam proses penelitian akan menghasilkan
ringkasan catatan data dari lapangan. Proses reduksi data akan dapat
memperpendek, mempertegas, membuat fokus, membuang hal yang tidak perlu.
Proses
displai data peneliti melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan antar
fakta tertentu menjadi data, dan mengaitkan antara data yang satu dengan
lainnya. Dalam tahap ini peneliti dapat bekerja melalui penggunaan diagram,
bagan-bagan, atau skema untuk data satu dengan data lainnya. Proses ini
menghasilkan data yang lebih konkrit, tervisualisasi, memperjelas informasi
agar nantinya dapat lebih dipahami oleh pembaca.
Memasuki proses verivikasi, peneliti telah
memulai melakakan penafsiran (interpretasi) terhadap data, sehingga data yang
telah diorganisasikannya itu memiliki makna. Dalam tahap ini interpretasi data
dapat dilakukan dengan cara membandingkan, pencatatan tema-tema dan pola-pola,
pengelompokan, melihat kasus perkasus, dan melakukan pengecekan hasil interview
dengan informan dan observasi. Proses ini juga menghasilkan sebuah hasil
analisis yang telah dokonsultasikan atau dikaitkan dengan asumsi-asumsi dari
kerangka teoritis yang ada. Selain itu, pada bagian ini, peneliti juga telah
menyiapkan sesuatu yang telah menjadi jawaban atas rumusan masalah yang
terletas pada latar belakang permasalahan.
6. Pemeriksaan
Keabsahan Data
Untuk memperoleh data yang terperpercaya (trustworthiness)[19] dan dapat dipercaya (reliable)[20], maka peneliti melakukan
teknik pemeriksaan keabsahan data yang didasarkan atas sejumlah kriteria. Dalam
penelitian kualitatif, upaya pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan lewat
empat cara yaitu:
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti di lokasi secara langsung dan cukup
lama, dalam upaya mendeteksi dan memperhitungkan penyimpangan yang mungkin
mengurangi keabsahan data, karena kesalahan peneliti atau responden, disenganja
atau tidak sengaja. Distori data dari peneliti dapat muncul karena adanya
nilai-nilai bawaan dari peneliti atau adanya keterasingan peneliti dari lapangan
yang diteliti.
Distorsi
data dapat dihindari dengan memperluas partisipasi peneliti dalam bidang ini,
yang diharapkan dapat membuat data yang diperoleh memiliki tingkat realibilitas
dan validitas yang tinggi. Perpanjangan partisipasi akhir, peneliti juga dapat
menjalin hubungan saling percaya yang baik antara yang diwawancarai sebagai
objek penelitian dan peneliti.[21]
b. Ketentuan Pengamatan
Kondisi pengamatan teluk Peraturan
observasi dilaksanakan melalui pengamatan yang cermat, rinci dan berkesinambungan
terhadap faktor-faktor yang disoroti dalam penelitian. Kemudian menganalisis
faktor-faktor tersebut sehingga peneliti dapat memahaminya. Peraturan observasi
dilaksanakan untuk mendapatkan karakteristik data yang benar-benar relevan dan
terfokus pada objek penelitian.
c. Trianggulasi
Triangulasi adalah suatu teknik yang menggunakan hal-hal selain data
utama untuk memeriksa keabsahan data, tujuannya untuk memeriksa keandalan data
melalui pemeriksaan silang, yaitu dengan membandingkan berbagai data yang
diperoleh dari penyedia informasi yang berbeda. Penelitian ini akan menggunakan
empat teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan dengan menggunakan sumber,
metode, penyidik, dan teori.
Metode
segitiga sumber mengacu pada penggunaan metode kualitatif untuk membandingkan
dan memverifikasi kredibilitas informasi yang diperoleh pada waktu yang berbeda
dan alat yang berbeda, yaitu melalui metode berikut: Perbandingan data
observasi dan data wawancara; perbandingan informan di depan umum (publik)
ruang Apa yang dikatakan dan apa yang dikatakan dalam ruang pribadi (private);
bandingkan apa yang dikatakan orang yang diwawancarai pada waktu tertentu
selama penelitian dengan apa yang dikatakan selama keseluruhan penelitian;
membandingkan keadaan dan perspektif seorang informan dengan berbagai pendapat
atau pandangan informan lainnya, seperti dosen, mahasiswa, atau pimpinan
Prodi,; Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen terkait.[22]
Triangulasi adalah teknik
untuk menguji keabsahan data dengan cara memeriksa konsistensi, realibilitas
dan validitas data yang diperoleh dengan metode pengumpulan data tertentu. Ada
dua cara menggunakan metode ini untuk trianggulasi, yaitu: memeriksa kepercayaan
hasil penelitian melalui beberapa teknik pengumpulan data; menggunakan metode
yang sama untuk memeriksa kepercayaan beberapa sumber data.
Triangulasi dengan penyidik
adalah teknik pengecekan data dengan cara membandingkan daya hasil yang
diperoleh dari seorang pengamat dengan hasil survei pengamat lainnya. Dan
trianggulasi teori, yaitu memeriksa keabsahan data dengan membandingkan dua
atau lebih teori yang membicarakan hal yang sama, bertujuan untuk memperoleh
penjelasan yang kurang baik dari hal yang diteliti.
d.
Diskusi dengan Teman Sejawat
Langkah
terakhir untuk memastikan keabsahan data, peneliti akan berdiskusi dengan rekan
sejawat untuk memastikan bahwa data yang diterima adalah benar dan bukan hanya
pandangan sepihak peneliti atau informan. Melalui metode ini, peneliti berharap
dapat memperoleh sumbangan, pendapat, dan saran yang berharga dan konstruktif
dalam mengkaji keabsahan data.[23].
G. Studi Relevan
Berdasarkan
penelusuran penulis, terdapat beberapa karya dan penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian yang penulis akan teliti mengenai hadis misoginis
diantaranya karya:
1. Muh. Syamsuddin menuliskan karyanya, dalam sebuah jurnal
studi Islam tentang gender dengan
judul “Dampak Hadis Misoginis Terhadap Pemahaman Santri (Studi Kasus tentang
Pemahaman Gender di Pesantren Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri)”.
Dalam penelitiannya, Muh Syamsuddin menuliskan bagaimana dampak hadis-hadis
misoginis terhadap
pemahaman santri Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri, yangmasih sering
terjadi bias gender atau ketidaksetaraan yang diterima santri putra dan putri
baik dalam segi fasilitas, kebijakan atau hal lain nya. Sehingga menyebabkan
pemahaman yang bersifat mendiskriminasi kaum perempuan maka perlu adanya sitem
yang baik sehingga akan mengurangi mindset yang sifatnya subordinatif. Dalam penelitian, ini terdapat
kesamaan yakni meneliti tentang pemahaman santri terhadap hadis-hadis misoginis
yang diajarkan di pondok pesantren. Sedangkan perbedaannya, dalam penelitian
Muh Syamsuddin membahas tentang bagaimana tanggapan santri terhadap hadis-hadis
misoginis, dan apa dampak hadis itu terhadap pemahaman mereka, sedangkan
penelitian ini yang bertujuan mencari bagaimana pemahaman santri terhadap hadis
misoginis
dan kontruksi hadis misoginis terhadap
perilaku santri. Perbedaan yang lain adalah dari segi objek yang dituju, karena
latar belakang pesantren yang juga berbeda yang pasti memiliki metode atau
sistem yang berbeda, dan menggunakan pendekatan yang berbeda dengan metode
living hadîts.[24]
2. Filda Fadilah juga menuliskan dalam karyanya dengan judul
“ Konsep Kesetaraan Gender Dalam P andangan
Santri (Studi Kasus di Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon)”, dalam
penelitian ini membahas tentang kesetaraan gender dalam pandangan santri
terbagi menjadi dua, yakni golongan konservatif yang tidak setuju dengan
kesetaraan gender dan golongan progresif atau yang setuju dengan adanya
kesetaraan gender. Adapun bentuk-bentuk kesetaraan gender dalam Pondok
Pesantren Darussalam berbagai macam diantarnya seperti proses dirosah yang
dilakukan di waktu yang sama, kitab kajian yang sama serta oleh guru yang sama,
serta juga keterlibatan santri dalam realitas kesetaraan gender di Pondok sudah
dilakukan oleh seluruh santri seperti santri laki-laki dan santri perempuan
saling bertukar peran dalam kegiatan sehari-harinya.[25]
3. Hasani Ahmad Said di dalam jurnalnya membahas tentang
“Hadis- hadis Misoginis: Penelitian yang dilakukannya memfokuskan tentang
pandangan Hadis yang dibangun melalui persepsi sosio-kultur masyarakat yang
melakukan interpretasi terhadap hadis
misoginis. Dalam penelitiannya menunujukkan bahwa tidak ada hadis yang bersifat
misoginis, akan tetapi latar belakang mufasir lah yang mempengaruhi hasil
interpretasi hadis.[26]
4. Muhamad Rofiq dalam penelitiannya mengambil tema
“Memahami Hadis Misoginis
Perspektif Maqasid Syari‘ah:
studi hadis yang menyamakan antara keledai, anjing dan perempuan”, hasil
yang diteliti dari yang telah dilakukannya bahwa tujuan didirikannya syari‟ah
Islam adalah untuk
mencapai suatu kemaslahatan
bersama (maslahah mursalah). Dalam kehidupan yang nyata untuk sebuah
kemaslahatan seorang perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki
dalam keluarga, mereka sama-sama menjadi
subjek penentu dalam
kehidupan bersama[27]
5. Moh. Muzakka Mussaif dalam jurnal yang berjudul “Kesetaraan
Gender dalam Sastra Pesantren (Kajian terhadap Kitab
Syi’ir Laki Rabi)” mengungkapkan
bahwa beberapa hasil karya berbahasa Arab yang banyak dibicarakan terkait
dengan bias gender adalah kitab Uqudul Lujjain yang
membicarakan persoalan hubungan suami-istri (hubungan
seks) yang mengungkapkan
dominasi kekuasaan suami terhadap istri. Kedua kitab tersebut banyak
merujuk ayat al-Quran dan Hadis Rasul untuk mengukuhkan dominasi laki-laki
terhadap perempuan.[28]
6. Penelitian yang dilakukan oleh Jamilah dalam Jurnal yang berjudul “Marriage And The
Independency Of Women (A Case Study On Early Marriage In Local Area In
Madura).” Menyebutkan tentang banyaknya
para anak-anak dibawah umur yang telah melangsungkan pernikahan, khususnya para
perempuan. Dalam penelitiannya disebutkan
salah satu faktor
terjadinya peristiwa tersebut
adalah adanya pendidikan bagi
para anak-anak umur
9 tahun tentang kehidupan rumah tangga, dan materi
ajar yang diberikan dari kitab uqudul lujain.[29]
Penelitian yang
telah dilakukan oleh para peneliti tersebut berkonsentrasi pada otentisitas
Hadis dan penyetaraan peran laki-laki dan perempuan yang seharusnya masuk dalam
interpretasi Hadis. Peneliti merasa sanagat penting untuk mengetahui pemahaman
Hadis misogini dan mengetahui pemahaman ulang yang dilakukan di pondok
pesantren An-Nur, karena disana melaksanakan kajian-kajian Hadis perempuan
secara modern.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam
penelitian ini akan diuraikan oleh
penulis dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
dari beberapa sub bab permasalahan sebagaimana dikemukakan
berikut:
Bab I :
Pendahuluan yang berisikan
latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, studi relevan, sistematika penelitian
dan metode penelitian.
Bab II :
Gambaran umum lokasi penelitian yang terdiri dari Historis dan Geografis
pondok pesantren Azzakariyah, Struktur Organisasi dan Keadaan Guru dan Santri
pondok pesantren Azzakariyah
Bab III : Pemahaman Hadis-Hadis Misoginis yang membahas permasalahan Kepemimpinan Perempuan, Perempuan yang Enggan Melayani
Suami dan Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli Neraka
Bab IV : Penyajian dan Analisis data membahas tentang Pemahaman santri pondok pesantren
Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis, dan konstruksi serta dampak hadis misoginis terhadap
kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah
Bab V : Penutup,
berisi tentang kesimpulan dan saran- saran sebagai akhir dari uraian
penelitian ini.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Berdirinya
Pondok Pesantren Azzakariyah
Pondok Pesantren Azzakariyah Talang
Sekuang Desa Muara Panco Timur
merupakan suatu lembaga yang
berada dalam Yayasan Pondok Pesantren Azzakarriyah. Pondok
Pesantren
Azzakariyah dirintis oleh K.H. Zakaria bin H.
Muhammad Zen setelah beliau menghabiskan masa belajarnya di kota suci Makkah al-Mukarromah tahun 1433H/1928M. setiba
beliau kembali ke tanah kelahiran, beliau mengadakan suatu majelis
taklim dengan
pengikut-pengikutnya dari orang-orang tua, dari
situlah awal beliau mengasuh orang
tua yang
sekarang
dikenal dengan
panti jompo.[30]
Setelah pengikutnya dari orang-orang tua semakin banyak ternyata
bukan hanya dari
kalangan tua itu saja, Melainkan anak bahkan cucu dari
orang
tua jompo itu banyak sekali yang
berminat untuk mengaji dan menimbah ilmu di dusun Talang
Sekuang
itu.
Pada akhirnya beliau tidak
langsung menerima santri-santri dari anak-anak itu lantaran lokal tidak ada dan juga tujuan awal dari pada
K.H. Zakaria adalah untuk megajar orang- orang jompo. Jadi selama beliau masih hidup belum ada nama Pondok
Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur.
Baru ketika beliau sudah wafat yaitu pada hari Kamis tanggal 26 April 1996 M
di Talang Sekuang penerus dari keluarga besar K.H. Zakaria berfikir untuk
mencari pengganti pimpinan sekaligus melestarikan serta mengembangkan
panti jompo yang
ada pada waktu itu, Hingga setelah diadakan rapat
keluarga besar semua keluarga menghendaki bahwa pengganti dari K.H.
Zakaria adalah K.H. Nukman
Ali.
Beberapa
bulan setelah wafatnya perintis
pondok kepercayaan masyarakat setempat untuk menitipkan anaknya bertambah banyak, Baru semua keluarga berfikir untuk mengembangkan
panti jompo
dengan sebuah yayasan yang
lebih besar cakupannya. Dari hasil musyawarah
keluarga memutuskan bahwa dibuatlah sebuah yayasan yang diambil dari
nama K.H. Zakaria, Tujuanya adalah untuk mengenang dan mengabadikan
nama beliau yang telah merintis dan bersusah payah
untuk mendirikan majelis taklim dan demi menyebar luaskan syari‟at yang
berasaskan ahlus
sunnah wal jama‟ah yakni syari‟at yang dibawah oleh Rasulullah SAW
beserta
sahabat-sahabat beliau. Sehingga berdirilah sebuah pondok
pesantren yang diberi nama Azzakariyah, Kemudian untuk mendukung
dalam segi formalnya maka
pengurus berfikir untuk membuka Pondok
Pesantren
Azzakariyah.
Modal awal
untuk
membentuk
Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur hanya lahan yang
luas dari warisan K.H Zakaria yang
masih dipenuhi dengan pohon-pohon
besar dan masih berupa hutan belantara. Bahkan sempat dapat cacian dari sekelompok orang yang sedikit tidak senang melihat berdirinya
Pondok Pesantren Azzakariyah
Desa
Muara Panco Timur, Tapi dengan latar belakang keluarga yang
sebagian besar adalah orang yang berpendidikan yang
siap
mengisi dan berjuang
bersama, Maka
dikumpulkanlah iuran sedikit demi sedikit untuk
membangun sebuah
lokal sebagai tempat
belajar murid-murid.
Beberapa
tahun kemudian Pondok Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur semakin maju, Semakin banyak
kepercayaan dari masyarakat karena target yang
harus dicapai adalah menjadikan murid-murid yang siap pakai dan terjun di masyarakat ketika
mereka kembali ke rumah masing-masing, Dan paling tidak perubahan dalam segi akhlak memang benar-benar diperhatikan sekali, Karena inilah
yang merupakan pembeda dari sebutan santri dengan siswa yang ada di luar lokasi
pesantren.
Pada tanggal 15 Ramadhon 1429 H pimpinan
Pondok Pesantren Azzakariyah yang kedua K.H. Nukman telah kembali pada Allah SWT tepat pada
pertengahan bulan Ramadhon. Pada saat itu pula banyak sekali keluarga pondok pesantren yang ikut menjadi tenaga pengajar juga
meninggal pada rentang waktu yang tidak berjauhan, sehingga secara tidak langsung sistem belajar mengajar yang ada pada saat itu sangat kurang efektif
sekali karena
dengan ditinggalnya
beberapa tenaga pengajar yang
ada
termasuk salah-satu seorang yang
berpengaruh seorang pimpinan telah
meninggal dunia. Baru
setelah beberapa bulan kedudukan seorang pimpinan
di gantikan
oleh Bapak Drs.
A. Kadir
N sampai
sekarang.
Pada intinya
Pondok Pesantren Azzakariyah adalah lembaga pendidikan yang
bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam
Azzakariyah
yang bertujuan untuk menyiapkan
peserta didik
sebagai kader-kader penerus yang
berilmu, Bertaqwa dan terampil baik dalam
pengetahuan agama maupun dalam pengetahuan umum serta
berakhlaqul
karimah dan siap mengabdi
pada masyarakat, Agama
nusa dan Bangsa.
B. Geografis Pondok Pesantren Azzakariyah
Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin terletak di dusun
Pancuran Pedati tepatnya Talang
Sekuang desa Desa Muara Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin
jalan bangko kerinci
KM 36, Terletak di
atas tanah berukuran 3
Ha, Dengan luas bangunan
Sekitar
1 ½
Ha, Jarak antara sekolah dengan kota kabupaten adalah 34 KM dan
jarak antara sekolah dengan kantor camat Renah pebarap
2000 Meter. Letak Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara
Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
Merangin sangat strategis karena berada di pinggir jalan raya dan terletak di dekat kota kecamatan sehingga
memudahkan transportasi bagi santri dan orang tua
dari desa manapun di kecamatan Renah
Pembarap, Sungai Manau dan Pangkalan Jambu. Untuk lebih jelasnya
dimana Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara
Panco dapat
dilihat
pada batas-batas areanya, Yaitu :
1. Sebelah Selatan
berbatasan dengan lintas
bangko-kerinci.
2. Sebelah Utara berbatasan dengan kebun
warga.
3. Sebelah Timur
berbatasan dengan kebun warga.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan sungai kecil.[31]
C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Azzakariyah
1. Visi
Mewujudkan
santri yang
berkualitas IMTAG dan
IMTEG serta
mengabdi kepada masyarakat.
2. Misi
a) Menciptakan
santri yang
berjiwa islami.
b) Mencetak
santri yang berakhlakul karimah.
c) Menjadikan santri yang bisa memahami kutubus
salafi.
d) Menjadikan santri
yang berilmu pengetahuan
dan menguasai
teknologi.
e) Menjadikan santri
yang siap mengabdi demi
agama,
nusa
dan bangsa.[32]
D. Struktur Organisasi Pondok Pesantren Azzakariyah
Struktur adalah suatu susunan personil
yang tergabung
dalam suatu organisasi
yang merupakan suatu perkumpulan atau kesatuan yang ditetapkan. Karena organisasi
apapun yang ada baik itu besar maupun kecil tidak bisa
lepas dari struktur
organisasi. Melalui struktur
organisasi inilah maka dapat dilihat tugas, wewenang dan bidang kerja yang
ada
dalam organisasi
tersebut.
Dengan adanya struktur
orgasnisasi juga akan memudahkan bagi pemimpin
untuk mengadakan pengawasan, mengkoordinasi dan pengambilan
keputusan- keputusan yang diperlukan dalam organisasi.
Organisasi yang ada di Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara
Panco mayoritas
personilnya berasalah dari
keluarga
sendiri, di samping karena merupakan suatu kesatuan keluarga yang besar dari cucu perintis pertama,
mereka juga berkompeten dalam bidangnya masing-masing, meskipun masih terdapat kekurangan.
Dari kekurangan itu mereka juga tidak tinggal diam membiarkannya, tapi mengambil tenaga
dari luar pulau yakni
jawa, baik itu Jawa Timur
maupun Jawa Barat. Terutama di Jawa Timur
yang sudah menjalin hubungan
antara Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur dengan Pondok Pesantren Mamba‟us
Sholihin Desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik Propinsi
Jawa Timur. Hal ini sudah
berjalan sekitar 3 tahun yang mana tujuannya adalah
untuk menambah tenaga pengajar, di samping
itu
juga Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur bercita-cita untuk menjadikan lembaga pendidikan yang
dibekali dengan dua
bahasa yakni bahasa arab dan bahasa inggris.
Adapun mengenai struktur organisasi
Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara
PancoKecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin dapat
dilihat pada bagan berikut
ini :
STRUKTUR ORGANISASI PONDOK PESANTREN AZZAKARIYAH
TALANG SEKUANG DESA MUARA PANCO
KECAMATAN RANAH PEMBARAP KABUPATEN MERANGIN TAHUN 2021/2022[33]
BENDAHARA Munawwir,
S.Pd.I TATA USAHA Basron
Hapi Kabag. Kurikulum Marhimin,
S.Pd.I WAKIL Ahmad
Danial PIMPINAN Drs.
A. Kadir Nawawi YAYASAN AZZAKARIYAH MAJLIS GURU SANTRIWAN/TI SEKRETARIS
Idham
Kholid Kabag. Keterampilan Mustakimah, S.PdI Kabag. Kesiswaan Hubbul Khair,S.
Pd.I
E. Keadaan Guru dan
Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
1. Keadaan Guru
Seorang guru mempunyai kedudukan yang sangat berat, karena
yang tercermin dalam
ungkapan
guru
kalau dalam Pondok
Pesantren
Azzakariyah. Azzakariyah Desa
Muara Panco Timur adalah merupakan
guru tarbiyah atau pendidik yang
bisa menjiwai setiap anak didiknya, Di samping mengontrol atau menjaga secara terus menerus seorang guru
tarbiyah juga
mengawasi prilaku siswa-siswanya setiap hari karena dari
beberapa materi
yang telah diberikan nantinya dapat
diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Dan lebih beratnya
lagi seorang
guru
tarbiyah
antara ucapan yang dikeluarkan harus juga sesuai dengan perbuatan yang
dilakukan sehingga
sedikit banyak anak didik merasa terdidik dari sikap
seorang guru tarbiyah tersebut meskipun secara tidak langsung guru tersebut tidak menerangkan secara lisan. Dan inilah yang sangat berpengaruh
terhadap
siswa-siswa untuk
bisa
merubah akhlak mereka.
Adapun mengenai keadaan guru di Pondok Pesantren Azzakariyah Desa
Muara Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin
dapat
dilihat pada
tebel berikut ini.
Tabel 3.1 : Daftar Tenaga
Pengajar
Pondok Pesantren Azzakariyah
tahun 2021-2022[34]
No |
Nama |
Jabatan |
Pendidikan |
1 |
Drs. A. Kadir
Nawawi |
Pimpinan Pondok |
UIN Yogya |
2 |
Zainal Arifin |
Wali Kelas I A PA Guru |
PP. Azzakariyah |
3 |
Hendri |
Wali Kelas I B PA Guru |
STAI SMQ Bangko |
4 |
Muhammad Satir |
Wali Kelas I C PA Guru |
PP. Haqqul Yaqin |
5 |
Deno Jumadi |
Wali Kelas I D PA Guru |
PP. Azzakariyah |
6 |
Muhammad Torik |
Wali Kelas II
A PA Guru |
PP. Al-Aziziyah |
7 |
M. Ahsani
Taqwim |
Wali Kelas II B PA Guru |
PP. Purba Baru |
8 |
M. Husni |
Wali Kelas II C PA Guru |
PP. Azzakariyah |
9 |
Muhammad Al
Fadol |
Wali Kelas III A PA Guru |
PP. Mudi Mesra |
10 |
Muhammad Sulthoni |
Wali Kelas III B PA
Guru |
PP. B.B.S Aceh |
11 |
Mulyadi |
Wali Kelas IV PA Guru |
Samalanga |
12 |
Al Haqoni |
Wali Kelas V PA
Guru |
IAIN STS Jambi |
13 |
Mustagfirin |
Wali Kelas VI PA
Guru |
PP. Lirboyo |
14 |
Nur Liana,
S.Pd.I |
Wali Kelas I A PIGuru |
IAIN Al-Aziziyah |
15 |
Naila Husna
A.Ma |
Wali Kelas I B PI Guru |
STAI SMQ Bangko |
16 |
Mawaddah |
Wali Kelas I C PI Guru |
PP. Azzakariyah |
17 |
Hoiriah |
Wali Kelas I D PI Guru |
PP. Purba Baru |
18 |
Rutbatul
Aliyah, S.Pd |
Wali Kelas II
A PI Guru |
Samalanga |
19 |
Nur Aliyah, S.
Pd.I |
Wali Kelas II B PI Guru |
STAI Bangko |
20 |
Husna, S. Pd.
I |
Wali Kelas II C PI Guru |
INKAFA Gresik |
21 |
Iryanti |
Wali Kelas III A PI Guru |
PP. Lirboyo |
22 |
Hurfatil
Jannah |
Wali Kelas III B PI
Guru |
IAIN Al-Aziziyah |
23 |
Ahmad Danial |
Wali Kelas IV A PI
Guru |
PP. B.B.S. Aceh |
24 |
Humaidi |
Wali Kelas IV B PI
Guru |
PP. SMQ |
25 |
Muhammad Ihsan
S.sy |
Wali Kelas V A PI Guru |
STAI SMQ Bangko |
26 |
Baihaki |
Wali Kelas V B PI Guru |
PP. B.B.S. Aceh |
27 |
Ahmad Danial |
Wali Kelas VI PI Guru |
PP. B.B.S. Aceh |
Tabel di atas menunjukkan bahwa
julmlah tenaga pengajar atau guru yang mengajar di Pondok Pesantren Azzakariyahberjumlah 27 orang.
2. Keadaan Santri
Santri yang ada di Pondok
Pesantren
Azzakariyah
desa
Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin
sudah berasal dari berbagai kabupaten di antaranya kabupaten Merangin, Bungo, Sarolangun,
Kerinci
dan lain-lainnya.
Cepatnya perkembangan siswa
Pondok Pesantren Azzakariyah salah
satu penyebabnya adalah
karena anak yang belajar di sana
benar-benar bisa ditampilkan
atau berguna
dalam masyarakat setempat meskipun
dengan bekal ilmu yang pas-pasan tapi
karena adanya manfaat dari sedikitnya ilmu itulah menjadikan jalan
keluar untuk meraih ilmu yang lebih banyak lagi. Dan ini sudah terbukti
dalam beberapa tahun
yang
lalu sehingga
kepercayaan
masyarakat semakin tinggi untuk memasukkan anaknya di pesantren ini, Disamping biaya yang relatif murah juga banyak dilengkapi dengan ekstrakulikuler di
luar jam pelajaran.
Santri yang ada
di
Pondok Pesantren AzzakariyahDesa Muara
Panco Timur
berjumlah 1055 orang, Yang mayoritas berasal dari
Kabupaten Merangin sendiri, Kemudian kabupaten
Bungo, Kabupaten Sarolangun dan kabupaten Kerinci yang mana dari tahun ke
tahun jumlah santri dari masing-masing
kabupaten terus bertambah. Untuk siswa putra
berjumlah 464 anak. Sedangkan
siswi putri berjumlah 591 anak.
Adapun mengenai keadaan
siswa-siswi
Pondok Pesantren
Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap
Kabupaten Merangin secara
lengkap dan
terperinci
dapat
dilihat pada
tebel erikut ini :
Tabel 3.1 : Data
Santriwan dan Santriwati Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2021-2022[35]
No |
Kelas |
Rombel |
Jenis
Kelamin |
Jumlah |
|
LK |
PR |
||||
1 |
I |
8 |
140 |
134 |
309 |
2 |
II |
6 |
128 |
64 |
276 |
3 |
III |
4 |
84 |
64 |
188 |
4 |
IV |
3 |
58 |
67 |
127 |
5 |
V |
3 |
28 |
62 |
82 |
6 |
VI |
2 |
26 |
52 |
73 |
Total |
26 |
464 |
443 |
1055 |
F. Keadaan Sarana dan
Prasarana Pondok Pesantren Azzakariyah
Dalam proses
belajar mengajar sarana
dan
prasarana
sangatlah dibutuhkan sekali untuk mendukung
keberhasilan anak didik dalam belajar,
disamping sebagai syarat adanya suatu lembaga pendidikan yang
telah diakui oleh pemerintah, sarana
pendidikan juga menjadi sorotan masyarakat-
masyarakat elit yang akan memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan dan juga
menjadi kebanggaan siswa
ketika
masuk dalam lembaga
pendidikan yang
maju dan fasilitas yang lengkap. Begitu juga di
Pondok Pesantren
Azzakariyah, sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses belajar mengajar memang
sangat diperdulikan sekali meskipun ada sebagian sarana
yang belum
terpenuhi, tapi
dari pihak
pengurus
Pondok Pesantren
Azzakariyah masih tetap mengusahakannya
dengan mencari alternatif atau
jalan keluar supaya anak didik tetap bisa melaksanakan proses belajar
dengan nyaman
dan tertib.
Adapun di antara sarana
dan
prasarana yang di miliki Pondok Pesantren Azzakariyah desa
Muara Panco Timur Kecamatan
Renah Pembarap
Kabupaten Merangin
antara lain dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
3.3 : Keadaan Sarana
dan
Prasarana Pondok Pesantren Azzakariyah
tahun 2021/2022[36]
No |
Jenis Prasarana |
Jumlah |
Kondisi Baik |
Kondisi Rusak |
|
|
1 |
Ruang Kelas |
26 |
26 |
- |
||
2 |
Perpustakaan |
2 |
2 |
- |
||
3 |
R.Lab.IPA |
- |
- |
- |
||
4 |
R.Lab. Biologi |
- |
- |
- |
||
5 |
R.Lab.Kimia |
- |
- |
- |
||
6 |
R.Lab.
Komputer |
- |
- |
- |
||
7 |
R.Lab.Bahasa |
- |
- |
- |
||
8 |
R.Pimpinan |
- |
- |
- |
||
9 |
R.Guru |
2 |
2 |
- |
||
10 |
R.Tata Usaha |
1 |
1 |
- |
||
11 |
R. Konseling |
- |
- |
- |
||
12 |
Tempat
Beribadah |
2 |
2 |
- |
||
13 |
R. UKS |
1 |
1 |
- |
||
14 |
Jamban |
10 |
8 |
2 |
||
16 |
Gudang |
1 |
1 |
- |
||
17 |
R. Sirkulasi |
- |
- |
- |
||
18 |
Tempat
Olahraga |
2 |
2 |
- |
Memperhatikan data sarana
belajar santri pada tabel di atas,
dapat disimpulkan bahwa
sebahagian besar sarana belajar
santri dalam kondisi rusak, artinya sudah ada yang
perlu mendapatkan perhatian perbaikan dan
sarana lainnya dalam kondisi cukup parah seperti 2 ruang belajardan WC santri yang
belum memadai. Disamping itu yang
sangat penting adalah
kelengkapan atau
pengadaan peralatan belum memadai seperti ruang Lab.
Komputer, Lab. Bahasa dan Labor IPA.
Serta
perlunya penambahan atau
peningkatan gedung belajar mengingat makin besarnya minat orang tua memasukkan anaknya ke
Pondok Pesantren Azzakariyah
G. Kurikulum
Pondok Pesantren Azzakariyah
Kuikulum pendiidkan
di Pondok Pesantren Azzakariyah Bukan hanya mengkaji kitab kuning
sebagai materi pokok pondok pesantren, Tetapi untuk menambah life
skill pondok pesantren mengadakan beberapa kegiatan:
1. Unit pengembangan
santri
2. Unit kegiatan santri
3. Badan usaha santri
Untuk bisa mengikuti arus
zaman
dalam dunia informasi
teknologi, pondok pesantren mengadakan unit kegiatan santri mereka
diberi
pembelajaran tentang
dunia
digital sehingga mereka diharapkan menyebar
kebaikan melalui dunia maya dan menjadi pelopor kedamaian,
Bukan hanya menjadi pelopor kedamaian
tetapi juga menginformasikan
kepada masyarakat bahwa santri bukan hanya menguasai kitab kuning tetapi juga
bisa berprestasi didalam bidang ilmu dunia.
Tabel
4.3 : Komponen Kurikulum Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2021/2022[37]
No |
Kurikulum
Agama |
Kurikulum
Umum |
1 |
Fiqih |
Bahasa Indonesia |
2 |
Tafsir |
Pendidikan Kewarganegaraan |
3 |
Tarikh Islam |
Matematika |
4 |
Bahasa Arab |
Bahasa Inggris |
5 |
Nahwu |
Biologi |
6 |
Tajwid |
Kimia |
7 |
Shorof |
Sejarah |
8 |
Juz Amma |
Geografi |
9 |
Khat |
Ekonomi |
10 |
Muthalaah |
Sosiologi |
11 |
Imlak |
TIK |
12 |
Insya' |
Psikologi |
13 |
Faroid |
Akuntansi |
14 |
Mahfuzot |
Seni Bela Diri |
15 |
Ushul Fiqh |
Olah Raga |
16 |
Muthalaah
Hadis |
Muatan Lokal |
Adapun Buku
pegangan Guru, Pondok Pesantren Azzakariyah menggunakan Buku pegangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan
untuk Santri Kelas VIII, IX, XI
dan XII. Sedangkan peralatan dan media
pembelajaran masih menggunakkan
peralatan dan media yang sederhana.
KAJIAN
HADIS–HADIS MISOGINIS
A. Living Hadis dan Objek
Material Riset
1. Pengertian Hadis
Living
Hadis dapat didefenisikan sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang praktik
Hadis. dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang Hadis dari sebuah realita,
bukan dari sebuah ide yang muncul dari penafsiran teks Hadis. kajian living
Hadis bersifat praktik ke teks, bukan sebaliknya dari teks ke praktik pada saat
yang sama, ilmu ini juga dapat di defenisikan sebagai cabang Hadis yang mengkaji
gejala-gejala Hadis dimasyarakat.
Objek yang
dikaji ialah gejala-gejala hadis bukan teks Hadis. ia tetap mengkaji al-hadis
namun dari segij sisi gejala bukan dari teksnya, gejala tersebut bisa berupa
benda, perilaku, nilai, budaya, tradisi dan rasa. Dengan demikian kajian living
Hadis dapat diartikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan yang kokoh dan
meyakinkan dari suatu budaya, praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau
perilaku hidup dimasyarakat yang diinspirasi dari sebuah ayat Hadis.[38]
Secaraj bahasa living hadis adalah “ Hadis yang hidup” sedangkan menurut
istilah living hadis adalah kajian atau penelitis ilmiah tentang berbagai
peristiwa sosial terkait dengan kehadiran atau keberadaan Hadis disebuah komunitas
muslim tertentu. Dari sini maka akan tampak respon sosial komunitas muslim untuk
menghidupkan dan mengaplikasikan teks agama melalui sebuah interaksi yang
berkesinambungan.
37
Penjelasasn di atas dapatj disimpulkanj bahwa living
hadis adalah sebuah penelitian ilmiah tentang keberadaan hadis yang hidup di
masyarakat atau komunitas islam yang tertentu, yang dilaksanakan melalui
praktek, tradisi, atau ritual. Namunj harus dipastikan bahwa praktek itu
berasal dari teks Hadis. Hadis Nabi sampai saat ini sangat menarik untuk
dikaji, karena factor-faktor utama yang menjadi pemiciu adalah masalah
oitentitas hadis, maupun rentan waktuj yang cukup panjang antara Nabi dalam
realitas kehidupan sampai masa kodifikasi kedalam teks Hadis.
Sementara objek materi living hadis
ialah perwujudannya dalam bentuknya non-teks. Bisa berupa gambar, multimedia,
atau karya budaya, maupun berbentuk pemikiran yang kemudia yang berwujud lelaku
dan perilaku manusia. Inilah perbedaannya dengan ilmu Hadis yang
konvensiial-normatif. Jika kita baca berbagai literature ilmu Hadis , nyaris
belum kita temukan salah satu fann atau naw’ atau bab yang menjelaskanj tentang
wujud firman Sabds Nabi dalam bentuk yang bukan teks (nashsh).[39]
2. Makna Living Hadis
Ada perbedaan di kalangan ulama hadis menegnai istilah
penegrtian sunnah dan hadis., khususnya di antara ulama mutaqaddimin, dan ulama
muta’akhirin. Menurut ulama mutaqadddimin, hadis adalah segalal perkataan,
perbuatan dan ketetapan, yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad pasca kenabian,
sementara sunah adalah segala sesuatu
ynag diambil dari nabi Saw tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama muta’akhirin, berpendapat bahwa hadis
dan sunnah memiliki penegrtian yang sama, yaitu segala ucapan, perbuatan atau
ketetapan Nabi.[40]
Setelah Nabi wafat, sunnah Nabi tetap merupakakn sebuah
ideal yang hendak diikuti oleh generasi muslim sesudahnya, dngan menafsirkan
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi yang baru pula.
Penafsiran yang kontinu dan progresif ini, di daerah yang berbeda-beda misalnya
antara hijaz, Mesir dan Irak disebut
sebagai “sunnah yang masih hidup” atau living Sunnah.
Sunnah di sini dalam
penegrtian sebagai sebuah praktek yang di sepakati secara bersama (living
Sunnah). Sebenarnya Sunnah relative identik dengan ijma’ kaum muslimin dan ke
dalamannya termasuk pula ijtihad dari
para ulama generasi awal yang ahli dan tokoh-tokoh politik di dalam
aktivitasnya. Dengan demikian, “sunnah yang hidup” adalah sunnah Nabi yang
secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan
situasi yang mereka hadapi.[41]
3. Kode Etik
Riset Living Hadis
Secara umum kode etik keilmuan Living
Qur’an dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
Empiris
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ilmu living
Hadis adlah bagian dari ilmu sosiologi antropologi yang memiliki syarat utama,
yaitu harus empiris, penelitian ini harus didasarkan kepada pengamatan dan
penalaran sosial. Ia berdasarkan kepada wahyu. Hasil kajiannya pun harus
terukur dan terbukti, tidak boleh spekulatif atau sekedar asumsi belaka. Asumsi
hanya boleh dibawa pada tahap awal mula melakukan penelitian saja, yaitu untuk
membantu dan mengidentifikasi masalah, merumuskannya, hingga kemudian menggali
data lapangan. Sebatas itu saja, wilayah asumsi dalam ilmu living Hadis peran
tambahannya adalah asumsi masih dapat digunakan untuk menetapkan “hifotesis”
dan variabel-variabel yang diperlukan. Ia tidak boleh memasuki ranah pengolahan
data, pembuktian, pengujian, dan
penyimpulan.
b.
Teoritis
Ini juga dapat disebut dengan abstraktif. Artinya, penelitian
Living Hadis harus mampu merangkum pengamatan-pengamatan yang rumit di lapangan
untuk kemudian diabstraksikan menjadi satu teori atau kaidah. Ia juga harus
dapat diterapkan dalam dalil-dalil yang abstrak yang relevan dan logis. Karena
itu, kajian living Hadis juga harus bersifat rasional. Ia juga perlu
menerangkan hubungan kausatif dari serangkaian masalah yang dikaji.[42]
c.
Komulatif
Kajian living Hadis bukanlah kajian yang benar-benar mandiri
dan bertujuan untuk sekedar mendeskripsikan gejala-gejala Hadis saja, harus ada
nilai yang dihasilkan dari kegiatan deskriptif tersebut. Oleh karena itu kajian
lving Hadis harus menerapkan teori-teori ilmiah yang dibangun di atas
teori-teori lainnya yang telah mapan. Meskipun kajian living Hadis itu nantinya
adalah menghasilkan teori baru, namun ia harus dibangun di atas teori-teori
lain agar dapat teruji dengan baik. Ia dapat dapat berupa koreksi terhadap
teori yang ada, menguatkan, memperluas, atau menyempurnakan teori yang sudah
ada.
d.
Emis
Artinya, data dan kebenaran yang
diperoleh mengacu kepada subjek yang diteliti atau narasumber, bukan kepada
peneliti. Ia tidak boleh bersifat etis, yaitu kebenaran mengacu kepada
peneliti. Dengan demikian, penelitian living Hadis tidak bertujuan untuk
mencari apakah objek yang dikaji itu benar atau salah, baik atau buruk, sunah
atau bid’ah, kufur atau fasik, dan sejenis. Kajian ilmu living Hadis juga tidak
boleh stereotipikal. Tugas utama kajian living Hadis hanya menjelaskan
tindakan-tindakan sosial yang dikajinya. Jadi, meskipun yang dikaji
adalahHadis, tetap harus dipandang sebagai realitas, bukan sebagai dogma atau
norma semata.[43]
B. Pengertian Hadis dan Misoginis Serta Sejarah Pemikiran Misoginis
1. Pengertian Hadis
Secara bahasa (lughah), hadis
ialah baharu (حديث)
atau juga disebut khabar (خبر).Menurut Ahmad Warson Munawwir, dalam Kamus Arab-Indonesia, kalimat hadis diambil
berasal dari (حدث-يحدث-حديث) artinya baharu.[44]
Secara istilah Hadis ialah: (ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم
قولا او فعلا او تقريرا وغيرها)
yakni apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir ataupun lain sebagainya. Istilah hadis berarti segala
perbuatan, perkataan atau persetujuan Nabi (Hadîts Marfû’) sahabat Nabi (Hadîts
Mauqûf) tabi‟in (Hadîts Maqthû’). Ada sebagian penulis yang menyamakan antara
hadis dengan sunnah, meskipun keduanya memiliki definisi yang berbeda. Sunnah
adalah sebutan bagi ‘amaliyah yang mutawâtir, yakni cara Rasul melaksanakan
ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan ‘amaliyah yang mutawâtir pula.[45]
Hadis merupakan riwayat yang bertujuan untuk mengutip Nabi dalam segala hal
baik dalam perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Hadis merupakan riwayat yang
bertujuan untuk mengutip Nabi dalam segala hal baik dalam perkataan, perbuatan,
dan persetujuan.[46]
Jika hadis
memiliki pelbagai kualitas
yang perlu untuk diteliti, maka sunnah sebatas pada
perbuatan yang sudah pasti dilakukan Nabi. Ilmu hadis dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ilmu hadis riwâyah dan ilmu hadis dirâyah. Ilmu
hadis riwâyah adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan,
dan sifat-sifat Nabi, periwayatannya, pencatatanya, dan
penelitian lafal-lafalnya. Sedangkan
ilmu hadis dirâyah adalah
kumpulan dari kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan
matn hadis. Ilmu
hadis dirâyah adalah
ukuran bagi hadis riwâyah sebanding
ushûl bagi ilmu fiqh, manthiq
bagi ilmu tauhid, balâghah bagi bahasa Arab.
Ilmu hadis,
sebagaimana didefinisikan oleh
para scolar klasik adalah ilmu yang membahas cara memahami
hadis. Jika dilihat dari makna perkata maka ilmu dapat diartikan sebagai
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dianggap metode keilmuan.[47]
Metode keilmuan yang penulis maksud tidak harus sebuah pertemuan yang bersifat
resmi, karena pemerolehan pengetahuan bisa dengan pelbagai cara. Pengetahuan
yang dibawa sejak lahir, pengetahuan yang diperoleh dari budi, pengetahuan yang
berasal dari indra-indra khusus, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman dan
rabaan dan pengetahuan yang berasal dari penghayatan langsung, ilham. Cara
pemerolehan pengetahuan tersebut menegaskan bahwa ilmu
adalah hasil dari kerja berpikir manusia, dan tidak menganut
kebenaran secara mutlak. Artinya ilmu dapat berubah dan berganti dengan rumusan
ilmu-ilmu yang baru.
2. Pengertian Misoginis
a). Misiginis secara etimologi
Istilah misoginis secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yakni Misogyny
yang berarti kebencian terhadap kaum perempuan[48]
Pendapat lain juga mengatakan bahwa istilah misogini berasal dari bahasa Yunani
misogynia yang terdiri dari kata miso (benci) dan gyne (perempuan). Sedangkan
suatu ideologi yang membenci kaum perempuan disebut sebagai misoginisme. Jadi,
secara harfiah dapat disimpulkan bahwa hadis misoginis merupakan perkataan, perbuatan
dan ikrar Nabi yang disinyalir mendeskriminasi kaum perempuan.
Hadis-hadis misoginis banyak termaktub
dalam kitab-kitab hadis termasuk kitab Uqud al-Lujain. Kitab kuning
berjudul Uqud al-Lujain sering digunakan oleh kebanyakan pondok
pesantren yang berbasis salaf. Dalam kitab tersebut ditemukan beberapa hadis
misoginis yang mendiskreditkan perempuan. Kitab karangan Syaikh
Nawawi bin Umar
al-Bantani ini terdiri
dari 89 hadis
dan kualitas hadisnyapun bermacam-macam. Kitab yang secara khusus
membahas tentang kehidupan rumah tangga tersebut dalam keterangannya ada yang
membahas tentang hak dan kewajiban suami-istri secara setara dan ada pula yang
terkesan timpang dan tidak seimbang.[49]
b). Misoginis Secara
Epistemologi
Sementara
misoginis secara epistemologi adalah mengkaji
ilmu dan pengetahuan dari berbagai aspek, salah satunya adalah aspek metodenya.
Ketika epitemologi mengkaji metode ilmu terjadi pertemuan dengan metodologi, namun
sifat kajian epistemologi berbeda dengan sifat kajian metodologi tentang metode
karena epistemologi mengkaji metode ilmu secara kritis dengan mempertanyakan
hakikatnya dan basis epistemiknya.[50]
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti
teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori
tentang pengetahuan (theory of knowledge). Sedangkan dalam segi terminologi
epistemologi merupakan suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan
radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas
pengetahuan. Kajian epistemologi ini banyak perdebatan yang menganalisis sifat
pengetahuan dan bagaimana ia berhubungan dengan istilah-istilah yang berkaitan
dengannya, seperti kebenaran, kepercayaan dan penilaian. Selain itu, ada juga
yang mengkaji sarana produksi pengetahuan, termasuk juga skeptisisme tentang
klaim-klaim pengetahuan yang berbeda.
Epistemologi yaitu untuk menjawab dari mana asal atau sumber
sesuatu itu, dan bagaimana cara mendapatkan atau memperoleh sesuatu yang
dimaksud. Selain itu, epistemologi juga untuk menjawab sifat, karakteristik dan
ciri-ciri tertentu dari segala sesuatu yang sedang diselidiki.[51]
Secara terminologi
istilah misoginis digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah
aliran pemikiran yang
secara zahir memojokkan dan
merendahkan derajat perempuan. Anggapan adanya unsur misoginis dalam hadis
dipopulerkan oleh seorang aktivis perempuan Fatima Mernissi melalui bukunya ”Women and Islam: An Historical and
Theological Enquiry.[52]
Salah satu contoh Hadis misoginis dalam padangan kaum misgony
ialah sebagaimana sabda Rasulullah dalam shahih bukhori halam 313 yang berbunyi:
عن أبي
هريرة -رضي الله عنه-، قال: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذاَ دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلىَ فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِيْهِ
فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اْلمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya : Dari abi Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda :
Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya untuk melakukan hubungan, lalu
istrinya menolak, sehingga suaminya marah, mak a istrinya dilaknat oleh Malaikat
hingga pagi hari. (Shahīh Bukhāri: 313)[53]
Hadis di atas sebenarnya
menjelaskan peran seorang perempuan yang selalu siap melayani soerng suami,
namu menurut kaum misigoni Hadis di atas ialah tentang wanita yang enggan
melayani suaminya ini. Istri dilarang menolak
ajakan suami untuk berhubungan intim di ranjang dengan alasan apa pun.
Sayangnya, istri terkadang merasa malas, lelah, atau suasana hati sedang tidak
mendukung. Menolak ajakan suami bercinta dapat membuat suami kecewa dan menimbulkan
konflik rumah tangga bila tidak ada komunikasi yang baik. Meski terkesan
sepele, ternyata perkara ini menimbulkan dosa besar yang membuat shalat tidak
bisa diterima. Bila seorang istri melayani suaminya dengan bahagia,
ikhlas, dan rela, serta bersungguh-sungguh sampai sang suami pas terhadapnya,
maka surga menjadi hak bagi sang istri.
Selain itu
istilah misogini dianalogikan
berasal dari istilah yang berasal
dari bahasa Inggris misogyny yang mempunyai arti yang sama yakni kebencian
terhadap perempuan. Kamus Ilmiah Populer menyebutkan, terdapat tiga ungkapan berkaitan
dengan istilah tersebut, yaitu misogin artinya benci akan perempuan, misogini
artinya perasaan benci akan perempuan, misoginis artinya laki-laki yang benci
pada perempuan.
Misoginis mempunyai makna
membenci atau merendahkan perempuan.
Dalam beberapa tafsir Hadis misogini, perempuan merupakan objek
limpahan keputusan bagi
laki-laki, dan mereka hanya dianggap sebagai pelengkap bagi
kekurangan laki-laki, hal itu berdampak
dalam beberapa aspek, seperti kontribusi, hak dan kewajiban suami terhadap
perempuan.
Keberadaan perempuan
sering diragukan perannya dalam kemajuan atau perubahan, seperti hal
pendidikan, sehingga pendidikan bagi perempuan dalam pandangan beberapa
kalangan kuranglah penting, karena mereka dianggap lemah dalam sisi kognitif,
dan cenderung menggunakan perasaan.[54]
3. Sejarah Munculnya Pemikiran Misoginis
Istilah misogini berawal dari adanya
mitos tentang penciptaan wanita dan keluarnya Adam dari surga ke bumi menjadi
sebab munculnya banyak perlakuan
kasar dan negatif
terhadap wanita. Dalam
cerita itu wanita diciptakan untuk melengkapi hasrat
Adam dan Adam jatuh ke bumi karena godaan
Hawa. Cerita seperti ini melahirkan faham misoginis (pembencian wanita oleh
pria). Faham yang
berasal dari ajaran
Yahudi-Kristen ini berpengaruh
cukup luas di dalam dunia Arab melalui berbagai media, seperti kitab-kitab
tafsir dan kitab-kitab Fiqh.
Keberadaan mitos sebagai akar kebencian terhadap kaum wanita
juga bisa dilihat dari penjelasan Hyde. Menurut Hyde, dalam diri kaum
wanita dilekatkan mitos-mitos
yang kurang menguntungkan bagi mereka, antara lain mitos mengenai
kejahatan feminin
(feminie
evil) yang
berasal dari
tradisi
Judeo-Kristen mengenai kejatuhan manusia dari surga karena kesalahan Eva
membujuk Adam untuk makan buah dari pohon pengetahuan. Perbuatan ini dianggap
sebagai akar dari dosa asal seluruh umat manusia yang disebabkan oleh perbuatan
Eva (wanita). Di Yunani dikenal mitos
mengenai Pandora, manusia wanita pertama di dunia, yang membuka kotak terlarang
sehingga menyebarlah semua benih kejahatan di atas muka bumi ini. Di Cina di
kenal dua kekuatan Yin dan Yang yang berhubungan dengan aspek feminin dan
maskulin. Yin yang feminin terkait dengan kegelapan, kejahatan, sisi dari alam.
Sedang Yang yang maskulin kebalikan dari sifat-sifat tersebut.[55]
Selanjutnya, istilah misogini (misogyny) ini digunakan oleh feminis
psikoanalis untuk menyatakan kebencian terhadap wanita (hatred of women) yang
berakar pada kemarahan bayi primitif terhadap ibunya karena masyarakat
memberikan tugas pengasuhan anak kepada wanita. Tumbuhnya kebencian kaum pria
terhadap kaum wanita tersebut bisa ditelusuri dari penjelasan Chodorow mengenai
proses perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan melalui
sosialisasi nilai-nilai jender tertentu.
Pemikiran Chodorow tersebut menunjukkan, bahwa devaluasi kultural dan
sosial yang dilakukan oleh anak laki-laki tersebut mengarahkannya pada perilaku
untuk merendahkan dan tidak menyukai segala sesuatu yang berbau wanita atau
feminim yang diterimanya di masa-masa awal kehadirannya di dunia ini. Pada
tahap pembentukan identitas dirinya sebagai laki-laki itu ia mempelajari bahwa
untuk bisa diterima di dunia luar, ia harus menyesuaikan dirinya dengan
nilai-nilai dominan yang hidup disana yaitu nilai-nilai yang bersifat
patriarkis. Untuk bisa menjadi anggota dunia pria itu, anak laki-laki berusaha
mengenyahkan semua sifat-sifat feminim yang ada di dalam dirinya. Kebencian
anak pada sifat-sifat feminim timbul karena sifat-sifat itu ternyata cukup kuat
tertanam dalam dirinya sebagai konsekwensi dari masa tidak berdayanya dulu
ketika ia sangat bergantung pada ibunya. Demikianlah kiranya munculnya sifat
benci kaum pria terhadap kaum wanita.[56]
Perempuan adalah manusia mulia yang harus dicintai dan disanjung-sanjung
layaknya menyayangi diri sendiri. Isteri, ibu, anak perempuan, saudari
perempuan, dan semua sahabat perempuan lainnya adalah ciptaan Allah Swt. Timbul
pertanyaan dalam diri kita, apakah kita rela menghina perempuan lain setelah
kita tahu bahwa ibu kita sendiri adalah seorang perempuan?, atau apakah kita
mau melecehkan seorang perempuan seandainya tahu isteri kita dilecehkan orang
lain?. Tentu kita sebagai manusia yang sadar tidak akan mau membiarkan hal itu
terjadi.[57]
C. Hadis-Hadis
Yang Berhubungan Dengan Misoginis
Misoginis
seringkali diartikan dengan kebencian terhadap kaum perempuan, istilah ini
pertama kali dikeluarkan oleh Fatimah Mernissi dalam bukunya Women And
Islam: an Historical and Theological Inqury, untuk menunjukkan terhadap
hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derajat perempuan. Dalam hal
ini, penulis mengambil contoh dua hadis yang berhubungan dengan misoginis.
1. Kepemimpinan Perempuan
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ
حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ
الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ
اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ
بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً
Artinya:
Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia
mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut terlibat
dalam peristiwa perang
Jamal (Unta). Yaitu ketika
disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa
Persia telah mengangkat
anak perempuan Kisra sebagai
penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan
pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan. (HR. Bukhari)[58]
Menurut
Ibn Hajar Al-Asqâlani sebagaimana ia kutip dari al-Khaththabi berkata, “dalam
hadis ini terdapat keterangan bahwa perempuan tidak dapat diangkat menjadi
pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan
dirinya, dan tidak berhak menikahkan selainnya”, namun pernyataannya kurang
tepat. Mengenai larangan seorang perempuan memegang kekuasaan pemerintahan dan
hakim adalah pendapat jumhur. Namun, ath-Thabari memperbolehkannya, dan ini
adalah salah satu riwayat dari Imam Malik. Adapun Abu Hanifah memperbolehkan
bagi kaum perempuan menjadi hakim dalam perkara-perkara yang diterima
kesaksianya. dan Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, mengenai
masalah kepemimpinan perempuan ini juga memberikan pandangan yang sama, dengan
mengutip dari al-Khaththabi.[59]
Sedangkan,
Penjelasan al-Hafiz Jâlal al-Din al-Suyûthî terhadap hadis ini memang sangat
singkat, kerena kitab syarh beliau
ini termasuk syrah ijmâlî. Kitab yang menjelaskan suatu hadis
secara ringkas, sehingga maksud hadis tersebut dapat kita pahami dengan cepat.
Pemahaman beliau terhadap hadis ini dapat kita simpulkan bahwa beliau melarang
kepemimpinan perempuan dengan pernyataan tidak akan bagus menyerahkan perkara
kepada perempuan dengan mengemukakan pernyataan dari Abi Bakrah yang mengatakan
tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan.[60]
2. Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli
Neraka
Artinya:
Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata,
Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia
adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed
Al-Khudri,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul Adlha
atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat, beliau
melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah kalian
bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak
menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliaupun
menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan
aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang
dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apa
tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun menjawab: “Bukankah
persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab:
“Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah
seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab:
“Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[61]
Ibn
Hajar menjelaskannya dengan menerangkan makna kalimat-kalimatnya terlebih
dahulu, seperti فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ
اْلمُصَلَّى
(pada idul adha atau idul fitri),
keraguan antara idul fitri dan idul adha ini bersumber dari perawi hadis, فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ (menuju tempat shalat, lalu beliau melewati kaum perempuan), ketika Nabi melewati kaum perempuan
ini Nabi memberikan nasehat kepada
mereka agar bersedekah.
أُرِيْتُكُنَّ (kalian telah diperlihatkan kepadaku), maksudnya Allah
swt telah memperlihatkan kepada nabi pada waktu isra’ dan mi’raj bahwa
kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ (dan ingkar terhadap suami) yakni
mereka tidak menunaikan hak suami atau lebih dari itu. مِنْ نَاقِصَاتٍ (orang yang kurang) hal ini merupakan sebagian dari
masalah yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas penghuni neraka. أَذْهَبَ (menghilangkan), yakni sangat
hebat dalam mempengaruhi,
لِلُبِّ
lebih khusus daripada akal, dimana لِلُبِّ merupakan intisari daripada akal itu
sendiri. وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا (kami berkata dimana letak kurangnya agama kami),
sepertinya hal itu tidak mereka ketahui sehingga perlu ditanyakan, padahal
pertanyaan ini juga merupakan bukti kekurangan mereka. Sebab kaum perempuan
tersebut menerima ketiga perkara yang dinisbatkan oleh Nabi saw kepada mereka;
yaitu banyak melaknat, ingkar terhadap
suami serta menghilangkan atau merusak hati seorang laki-laki. Kemudian mereka
sulit memahami kekurangan yang ada pada diri mereka. لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ (apabila ia haid tidak shalat dan tidak pula puasa), kalimat ini mengisyaratkan bahwa
perempuan haid tidak shalat dan tidak pula puasa telah ditetapkan berdasarkan
hukum syariat sebelum adanya kejadian ini.[62]
Menurut kaum feminis, Hadis di atas berhasil memposisikan perempuan
sebagai kebanyakan penghuni neraka, jika dilihat dari bunyi teks hadisnya. Alasannya karena mereka mengingkari dan menolak
kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya sekarang secara kapasitas penduduk bumi
ini lebih didominasi dan lebih banyak perempuan dari pada laki- laki. Dengan
demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa kebanyakan penduduk bumi
adalah calon ahli neraka.
Mereka menambahkan, jika hal itu adalah benar, tentu perintah Allah swt
yang disampaikan dalam al-Quran untuk
selalu berlomba-lomba dalam
kebaikan tidak lagi berlaku karena sudah dicap sebagai
penghuni neraka. Faktanya sekarang ini, perempuan baik sangat mudah ditemukan
dari pada perempuan yang tidak baik. Terlebih lagi sekarang ini, laki-laki yang
jahat sangat mudah ditemukan dibandingkan laki-laki yang baik. Apabila
ditemukan perempuan yang berlaku immoral, tentu salah satu faktornya
adalah karena laki- laki. Kasus PSK misalnya,
dapat diminimalisir bahkan dihapuskan apabila tidak ada laki- laki yang
berbuat nakal. Kasus KDRT juga dapat dihindari apabila pihak laki-laki dapat
menyadari tugas dan fungsinya sebagai suami atau seorang ayah. Oleh sebab itu,
perempuan tidak dapat disalahkan secara penuh, tentu ada pihak-pihak lain yang
menyebabkan mereka masuk neraka.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Santri Pondok Pesantren
Azzakariyah Terhadap Hadis-Hadis Misoginis
Pembahasan
hadits misoginis selalu diperbincangkan dan menjadi pembahasan yang unik
berbarengan dengan mencuatnya pembahasan tentang aktivitas gender dan hak asasi
manusia. Banyaknya hadits yang dinilai oleh penggiat feminis sebagai hadits
misoginis, terutama hadits terkait dengan posisi dan kehidupan perempuan yang
terdapat dalam hadits.
Dalam
pembahsan ini, penulis mencoba mengambil dua hadis
sebagai bahan untuk penelitian terhadap pemahaman
santri pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang
Desa Muaro Panco Timur Kecamatan Ranah Pembarab Kabupaten Merangin Provinsi
Jambi terhadap hadis-hadis misoginis.
1. Perempuan Tidak Boleh Menjadi Pemimpin
Hadis
perempuan menjadi seorang pemimpin masih menjadi sorotan tersendiri dikalangan
santri. Mungkin karena sudah menjadi doktrinasi yang sudah umum tentang
kelayakan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin harus dipertanyakan,
sehingga perempuan sering kali dilecehkan dan dianggap tidak mampu untuk mejadi
seorang pemimmpin.
Sebagai contoh hadis shahih Bukhari, Juz IV, no. 4163, 1610.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ
حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ
الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ
اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ
بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً
51
Menurut pemahaman para
ulama hadis, khususnya para pensyarah hadis, seperti Imam Ibnu Hajar
al-Asqalâni yang terkenal dengan kitab beliau Fath al-Bâri, mengatakan bahwa
hadis tersebut berkaitan dengan kerajaan Persia yang waktu terjadi perebutan
kekuasaan oleh anaknya. Namun, tidak lama memerintah ia pun meninggal dan
digantikan oleh anak perempuannya. Maka tidak lama kerajaan itu pun hancur.
Tentang masalah larangan perempuan menjadi pemimpin, menurut beliau itu hanya
pendapat jumhur ulama, Imam At-Thabari dan Abu Hanifah tidak sependapat dengan
hal itu.
Sementara dalam pandangan
santri pondok Azzakariyah Talang
Sengkuang mengenai hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan
tidak menjadi pemimpin karena perempuan lebih mengutamakan perasaan dari pada
akal[64].
Hasil wawancara penulis
dengan dengan santriwati kelas VI di pondok Azzakariyah
Talang Sengkuang bernama Yusmawati
mengatakan :
“Menurut kami bahwa seorang perempuan
tidak layak menjadi seorang pemimpin karena laki-laki lebih baik untuk menjadi
seorang pemimpin. Alasannya adalah karena perempuan lebih mengedepankan perasaan dari akalnya
sementara laki-laki lebih mengedepankan akalnya dari pada perasaanya”.[65]
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa santriwati di
atas sangatlah jelas bahwa mereka beranggapan bahwa perempuan tidaklah menjadi
proritas menjadi pemimpin.
Pendapat
lain dari wawancara penulis dengan santriwati yang lain yang bernama Indrawati
berpendapat :
“Menurut
kami perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin
diranah publik. Namun tidak untuk konteks di ranah rumah tangga karena alasan
perempuan lebih mengedepankan perasaan. Jadi perempuan bukan tidak boleh
menjadi pemimpin, hanya konteks dimana dan kapan perempuan itu bisa menjadi
pemimpin”[66].
Lebih lanjut penulis
mewancarai Amelia Sartika salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah
beliau mengatakan :
“Menurut
saya untuk memahami hadis yang berkaitan dengan pendapat kita tidak boleh memahaminya secara tekstual, kita harus juga mehaminya secara kontekstual artinya mari kita telusuri sebab musabbab atau asbabul wurud dari turunnya hadis ini, menurut pendapt saya
hadis misoginis ini ialah peristiwa ketika raja persia kisra wafat dan dia tidak mempunyai
keturunan laki-laki karena anak-anaknya adalah perempuan dan ketika wafat yang
harus menggantikan harus keturunannya sehingga di ketahui oleh Rasulullah dan
keluarlah hadis ini karena nabi mengetahui kalau anak kisra tidak punya
kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin.”[67].
Lain
lagi halnya pendapat Salmawati seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah beliau
mengatakan :
“Boleh saja kita
memahami hadis ini dengan beda pendapat, menurut saya adanya banyak tafsir atau
penjelasan para ulama’ hadis mengenai hadis misonis ini, menurut saya bukan berarti
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hanya saja tempat dan masanya saja yang
harus dipahami, misalnya peremepuan bisa saja menjadi pemimpin dalam urusan PKK atau
usurusan majlis ta’lim pengajian ibu-ibu”.[68]
Pada
pendapat lain saat penulis mewawancari Murniwati seorang santriwati pondok
pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :
“Layak atau tidaknya
seorang perempuan menjadi pemimpin harus dilihat dulu dari kapasitas
kemampuannya, artinya perempuan juga boleh menjadi seoarang pemimpin asalkan
ada kapasitas kemampuannya. Namun tidak semua jabatan atau kepemimpinan, sebagai contoh menajdi imam
sholat, perempuan tidak boleh mengimami laki-laki, terkecuali menjadi imam
sesama perempuan”[69].
Menurut pengamatan penulis bahwa hadis
ini terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebleum menjadikannya sebagai
hukum untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Karena dari segi status hadis
yang ahad, keluarnya hadis 25 tahun setelah Nabi wafat dan saat konflik antara
Aisyah ra. dan Ali ra. dan hadis itu terkait konteks kerajaan Persia.
Hadit
tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk melarang perempuan menjadi pemimpin.
Karena yang penting dari seorang pemimpin adalah bersikap adil, memiliki ilmu
yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad, sehat jasmani, tidak cacat tubuh,
mampu mengatur, dan gagah berani. Jadi apabila memiliki sifat-sifat tersebut
baik laki-laki maupun perempuan, maka ia pantas untuk menjadi pemimpin.
Disamping itu hadis ini hanya dalam bentuk pemberitahuan tentang
kelanjutan dari kisah Raja Kisra yang menyobek-nyobek surat dari Nabi Muhammad
saw. yang kemudian kerajaan tersebut hancur karena dipimpin oleh anak
perempuannya. Sebagaimana do’a Nabi saw. melihat dari konteks sejarah tersebut,
maka hadis ini tidak dapat dijadikan legitimasi hukum untuk melarang
kepemimpinan perempuan. Karena terdapat banyak pemimpin perempuan yang sukses.
Imam
Al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Utsman bin Haitsam, yang
bersambung sampai sahabat Abu Bakrah yang bernama asli Nafi’ bin Al-Harits. Ada
juga jalur periwayatan yang dimuat oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Muhammad bin
Al-Mutsanna. Untuk redaksi matan hadis seperti di atas, mayoritas merujuk pada
Abu Bakrah.
Secara
status hadisnya sendiri, para ulama menyepakati bahwa ia berkualitas shahih.
Salah satu konsekuensi hadis yang dihukumi shahih adalah ia dapat menjadi dasar
hukum atau hujjah dalam syariat. Para ulama, kkhususnya ahli hadis dan ahli
fiqih tentang makna riwayat Abu Bakrah tersebut. Para muhadditsin sudah
menyepakati keshahihannya, salah satunya karena telah memenuhi standar Imam
Al-Bukhari. Imam At-Tirmidzi juga menyebutnya hadis hasan shahih.
Asbabul
wurud atau sebab dituturkannya hadis tersebut oleh Abu Bakrah adalah ketika
konflik politik meruncing antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abu
Thalib, yang menjadi pemicu Perang Jamal pada tahun 36 H. Posisi politik Abu
Bakrah sendiri disebutkan tidak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah, dan
mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi di atas.
Para
pensyarah hadis menjelaskan peristiwa apa yang menyebabkan Nabi berujar
demikian. Alkisah, negeri Kisra-salah satu bagian dari negeri-negeri
Persia-memiliki seorang raja yang terbunuh, buah dari konflik internal
kerajaan. Rupanya, pembunuh sang raja adalah anak lelakinya sendiri. Intrik
demi intrik terjadi dalam kerajaan, dan singkat cerita diputuskan untuk
mengangkat raja dari anak perempuan sang Kisra.
2. Kebanyakan
Perempuan Menjadi Ahli Neraka
Dalam tradisi Islam,
pemahaman teks-teks keagamaan biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki
otoritas keagamaan seperti ulama. Karena memiliki otoritas keagamaan, pemahaman
mereka kemudian dinilai sebagai pemahaman yang memang sudah semestinya dan
harus diterima sebagai pemahaman yang benar.
Dari
berbagai macam hadis misoginis, penulis
ini lebih memfokuskan pembahasannya kepada hadits yang disinyalir paling
sering dikomentari kaum feminis, salah satunya adalah hadis yang menyatakan
bahwa perempuan adalah mayoritas penghuni neraka.
حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد
بن جعفر قال أخبرني زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال
خَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى أَوْ
فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَامَعْشَرَ
النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ
وَبِمَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ قاَلَ تُكْثِرْنَ الَّلعْنَ وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتٍ عَقْلِ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ
اْلحاَزِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا
يَارَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفُ
شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ
مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
Artinya:
Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata, Muhammad
bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia adalah
putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed
Al-Khudri, katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul
Adlha atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat,
beliau melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah
kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling
banyak menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?”
beliaupun menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian
suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih
cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai
Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun
menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian
laki-laki?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan
akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan
puasa?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[70]
Hadis di atas tentunya beragam pendapat dari sisi konteksnya.
Hadis di atas jika dipahami secara sempit jelaslah bahwa perempuan sangat
dirugikan, karena sudah barang tentu mereka beranggapan akan masuk neraka.
Namun jika dipahami lebih dalam, hadis tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan
perempuan masuk neraka tetntunya ada sebabnya.
Dalam pandangan santriwati di pondok
pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis diatas juga berbeda
pendapat. Karena menurut mereka memahami hadis tidak hanya secara tekstual
namun juga dipahami secara konteksual.[71]
Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan
santriwati yang bernama Yusmarni dan Hani’ah mereka mengatakan:
“Menurut
pendapat kami tentang banyaknya perempuan masuk neraka itu karena perempuan
yang tidak patuh kepada suaminya, disini tentu sangat jelas bahwa istri yang
tidak patuh atau taat kepada suaminya sudah pasti masuk neraka. Namun kita
harus pahami bahwa patuh atau taat kepada suami itu adalah dalam hal kebaikan
dan ketaatan kepada Allah, namun jika patuh dalam kezoliman atau keburukan,
kita sebagai istri wajib untuk tidak mentaatinya. Jadi konteks hadis ini adalah
sesorang istri wajib patuh kepada suami jika itu dalam kebaikan”[72].
Pada
sisi lain mengenai hadis diatas, dimana perempuan juga
dijelaskan sebagai makhluk yang kurang berakal dan sedikit pemahaman agamanya.
Alasan mereka mengatakan perempuan kurang akalnya adalah karena kesaksiannya
dinilai setengah daripada kesaksian laki-laki. Padahal Allah Swt. Telah
memberikan setiap manusia kelebihannya sendiri-sendiri.
Lain lagi
pendapat Irma salah seorang santriwati pondok pesantren
Azzakariyah beliau mengatakan :
“Perempuan
dianugerahi kelebihan dengan menonjolkan perasaan yang tinggi dan rasa iba yang
dalam serta rasa kasih sayang yang luar biasa. Sedangkan laki-laki diberi
kelebihan ketabahan dalam menghadapi kesulitan tanpa ada rasa ketakutan.
Bagaimana perempuan dapat dikatakan memiliki kekurangan akal, sedangkan pada
masa Nabi Saw. Hidup, perempuan lebih sering berperan dalam urusan rumah
tangganya dan mereka jarang sekali terlibat dalam urusan sosial masyarakat atau
publik, sehingga ingatan kaum perempuan menjadi lemah karena jarang digunakan
untuk memikirkan urusan sosial atau publik yang kompleksitas. Hal itu
dikarenakan urusan publik yang paling dominan saat itu adalah soal hutang-piutang
dan lebih banyak dilakukan oleh pihak laki-laki”[73].
Menurut
pandangan penulis, hadis di atas berhasil memposisikan perempuan sebagai
kebanyakan penghuni neraka, jika dilihat dari bunyi teks hadisnya. Alasannya
karena mereka mengingkari dan menolak kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya
sekarang secara kapasitas penduduk bumi ini lebih didominasi dan lebih banyak
perempuan dari pada lakilaki. Dengan demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa
kebanyakan penduduk bumi adalah calon ahli neraka.
Hadis di atas disampaikan oleh Nabi pada saat khutbah salat hari raya,
sebelumnya Nabi memerintahkan seluruh perempuan untuk pergi menuju lapangan
tempat melaksanakan salat id, Nabi berkata bahwa beliau akan memberikan nasihat
khusus untuk perempuan dan akan mengabarkan kabar gembira untuk mereka.
Abu Syaukah memberikan komentar
terhadap hadis ini, menurutnya hadis ini merupakan hadis
khusus yang tidak bisa digeneralisasikan. Hadis ini khusus di sampaikan oleh
Nabi kepada para perempuan ansor yang pandai berbicara. Abu syaukah juga
berpendapat bahwa hadis tersebut diucapkan oleh nabi dalam khutbah salat id.
Keadaan ini menyatakan bahwa pada saat itu nabi sedang berada pada posisi yang
tenang, dan tidak marah. Disamping itu Nabi juga merupakan seorang yang
penyayang terhadap istri- istri dan anak-anaknya.
Pada awalnya Nabi memerintahkan
perempuan untuk bersedekah, hal ini dikarenakan perempuan pada masa Nabi lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak- anaknya, sehingga tidak
memungkinkan mereka untuk bersedekah. oleh karena itu Nabi memerintahkan
seluruh wanita baik yang sedang haid ataupun suci untuk berkumpul di lapangan
agar dapat bersedekah dan dapat mendengarkan fatwa Nabi.
Dalam teks hadis di atas disebutkan
bahwa penyebab wanita menjadi penghuni neraka adalah karena tidak mensyukuri
harta suaminya. Dalam tradisi arab, seorang istri menjadi ratu dalam rumahnya,
sedangkan suami bertanggung jawab atas segala kebutuhan dan urusan dalam rumah
tangga. Posisi perempuan yang menjadi ratu di rumah menuntut mereka untuk taat
kepada suami. Sehingga nabi sangat marah saat perempuan melaknat suaminya.
Bahkan nabi pernah berkeinginan untuk memerintahkan perempuan bersujud kepada
suaminya. Hal ini dikarenakan betapa sangat besar peran yang ditanggung oleh
suami terhadap istri kala itu.
Dalam hadis di atas juga disebutkan
bahwa perempuan memliki akal yang kurang, yaitu dalam persaksian. Demikian juga
dengan tidak layak jika wanita dianggap kurang agamanya hanya
karena mereka nifas saat melahirkan dan sering menstruasi tiap bulannya. Mereka
mengalami rutinitas seperti itu karena sudah menjadi garis alam dan tidak dapat
dihindari. Tidak etis dikatakan orang yang berdosa perempuan yang mengalami
nifas atau haid, sehingga disebut sebagai penghuni neraka. Tentu Allah SWT Maha
Pemurah dan Maha Penyayang sehingga perempuan mendapat keringanan dari Allah
untuk tidak selalu melaksanakan shalat pada masa haidnya, dan Allah tidak akan
mengingkari ketentuan tersebut.
Melihat relevansi hadis dengan
situasi munculnya saat itu atau asbābu al-nuzūlnya, pernyataan
ini dikemukakan oleh Rasulullah saw dalam hadits tersebut beliau memperingatkan
kaum perempuan pada saat hari raya. Audien yang diajak berdiskusi saat itu
adalah perempuan penduduk Madinah yang mayoritas dari golongan kaum Anshar.
Saat itu perempuan-perempuan Anshar mendominasi terhadap laki-laki, sedangkan
perempuan Muhajirin saat itu tidak lebih mendominasi dari kaum laki-laki.
Jadi maksud Hadis tentang perempuan
yang kurang akal dan agama menurut Ulama Hadis yang menyebabkan perempuan
banyak menjadi penghuni neraka dikarenakan banyak melaknat, ingkar tehadap
suami dan kekurangan pada diri mereka yaitu kekurangan akal dan agama. Maksud
penyebutan kekurangan perempuan bukan untuk mencela akan tetapi memberi
peringatan agar sesorang tidak terfitnah oleh mereka. Sehingga azab tidak
terkait dengan kekurangan mereka akan tetapi atas pengingkaran mereka.
Sebaliknya juga, kekurangan akal dan
agama pada perempuan tidak bisa dijadikan alasan untuk merendahkan perempuan,
karena banyak para perawi hadis dari kalangan perempuan seperti Aisyah dan
sebagainya. Letak kekurangan akal itu hanya pada persaksian, sedangkan pada hal
lain mungkin saja perempuan lebih unggul dan letak kekurangan agama adalah
tidak shalat dan puasanya perempuan pada saat haid. Hal ini merupakan ketaatan
kepada aturan agama dan haid atau nifas tidak terjadi sepanjang hidup sehingga
tidak dapat dijadikan alasan kekurangan agama pada perempuan.
B.
Konstruksi Hadis Misoginis Terhadap
Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
Pesantren
adalah gudang ilmu agama, dimana tempat para santri mencari ilmu. Namun,
terkadang ada beberapa permasalahan dalam metode pembelajaran yang
digunakannya. Misalnya, dalam mengajarkan hadits, banyak para ustadz atau
ustadzah dalam mengajarkan kitab-kitab hadis dengan metode ceramah, tanpa
mementingkan penjelasan secara mendalam tentang maksud dari hadits tersebut.
Sehingga kadang dalam pemikiran santri masih timbul pertanyaan tentang tafsir
hadits yang masih berbau misoginis.
Hadis
seakan menjadi sarapan utama para santri setelah al-qur’an, karena hadits
adalah sumber hukum kedua dalam islam setelah al-qur’an. Hadis banyak terbagi
menjadi bermacam-macam, dari segi kualitas saja hadis terbagi menjadi tiga,
yakni hadis shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Ada banyak hadits yang
dipelajari dalam pondok pesantren, kadang matannya jelas sehingga memebaca
secara tekstual saja sudah bisa memahami maksud dari hadits tersebut, namun
terkadang ada pula yang secara tekstual tidak sesuai dengan maknanya. Misalnya
hadis-hadis misoginis yang secara tekstual seakan-akan memojokkan kaum
perempuan, sehingga banyak dari para santri yang menerima hadits tersebut
secara mentah-mentah karena masih belum terlalu faham maksud sebenarnya dari
hadis tersebut.
Adapun konstruksi hadis
misoginis terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah adalah sebagai berikut :
1. Memahami hadis secara kontekstual.
Dalam
proses kontruksi hadis ini, penulis mengamati proses eksternalisasi terjadi
pada metode pembelajaran hadis yang digunakan ustadz atau ustazah dalam
menyampaikan hadis misoginis yaitu metode membaca dan presentasi. Dengan dua
metode ini, proses ekternalisasi terjadi antara satu individu dengan individu
yang lain. Dengan dua metode pembelajaran tersebut, penulis mengamati masih
terlalu banyak kekurangan dalam memahami hadis, termasuk memahami hadis-hadis
misoginis yang pastinya membutuhkan pemaknaan atau interpretasi.[74]
Wawancara penulis dengan beberapa santriwati
kelas VI di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mereka adalah Risma,
Yolanda dan Intan mengatakan :
“Metode yang
digunakan ustaz dalam mengajarkan hadis di pondok pesantren Azzakariyah Talang
Sengkuang ini adalah metode membaca dan metode presentasi. Akan tetapi
keterbatasan waktu dan kurang kondusifnya pemebelajaran, seringkali ustadz
hanya membacakan hadis tanpa memberikan interpretasi yang jelas terhadap makna
hadis tersebut. Dari sinilah banyak terjadi pemaknaan yang berbeda dalam
memahami hadis-hadis mosoginis, sehingga menjadikan tindakan praktis dalam
kehidupan kesehariannya yang selalu memandang laki-laki lebih superioritas dari
pada perempuan dalam segala hal”[75].
Dari hasil
wawancara penulis di atas, tentunya pemahaman santri terhadapat pemahaman
hadis menjadi berbeda-beda, karena penggunaan metode yang kurang pas dalam mempelajari
hadis sering menimbulkan interpretasi yang salah dalam memahami hadis
terhadap pemahaman santri. Pemahaman-pemahan seperti ini dapat mengakibatkan
lahirnya sifat atau gender stereotype yang dapat menimbulkan adanya bias gender
di pesantren.
2. Pandangan santri terhadap hadis-hadis misoginis
Pada proses pemahaman
mengenai hadis-hadis misoginis, para santri berbeda pendapat
dalam memahami hadis-hadis misoginis tersebut. Hal
tersebut adaya anggapan sebahagian santri bahwa perlu adanya penjelasan lebih
mendalam dari para ulama’ atau ustaz yang mengajar untuk lebih lebih mendetail
menganai syarah hadis-hadis misogini.[76]
Lebih lanjut
hasil wawancara penulis dengan Darmala salah seorang santriwati pondok
pesantren Azzakariyah mengatakan :
“Mengenai hadis-hadis
misoginis tentunya kita harus banyak bertanya dan berdiskusi dengan para guru
atau membaca buku-buku syarah hadisnya. Menurut pendapat saya jika kita kurangnya memahami konteks hadis itu dapat menjadi pemicu terjadinya bias gender
dikalangan pondok pesantren, hal ini diakibatkan adanya kesalahan interpretasi dari makna hadis yang
sebenarnya”[77]
Lain
hal nya pendapat Istiqomah santriwati pondok pesantren Azzakariyah mengatakan :
“Menurut pendapat
saya, dimana dalam memahami hadis misginis terutama dalam interkasi
sosial tentu adanya muncul pikiran dan konsep diri aktor yang merupakan bagian esensi dalam
tindakan sosial, sehingga mereka saling mempengaruhi, menyesuaikan diri dan
saling mencocokkan tindakan mereka. Interaksi sosial dalam pandangan
interaksionisme simbolik tersusun atas tiga entitas, anatra lain tindakan
sosial bersama, bersifat simbolik, dan
melibatkan pengambilan peran”[78].
Dari hasil wawancara
penulis diatas sangatlah jelas bahwa pemahaman hadis-hadis misoginis tersebut
akan mengalami internalisasi pada pikiran dan konsep diri para santri pondok
pesantren Azzakariyah. Karana komunikasi santri terus menerus akan menggunakan
simbol. Ketika santri berinteraksi dengan lawan jenis maka akan
menginterpretasi simbol-simbol yang mereka lihat dari individual lain.
Berujuk
pada pemahaman santri yang cenderung kontekstual dalam memahami hadis-hadis
misoginis, maka menurut hemat penelis tidak salah jika
dalam pondok pesantren Azzakariyah masih terjadi bias gender, misalnya saja
dalam pendidikan yakni tenaga pengajar yang tidak sama dimana jumlah ustadz
lebih unggul dari pada jumlah ustadzah yakni dari jumlah 27
orang guru yang mengajar di pondok pesantren Azzakariyah hanya 9 orang guru
perempuan.
C.
Dampak Hadis Misoginis Terhadap
Terhadap Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
Dalam proses kontruksi sosial ini, dampak hadis misogonis terhdap kehidupan santri
di pondoke pesantren Azzakariyah, penulis mengamati bahwa proses eksternalisasi terjadi pada metode pembelajaran hadis yang
digunakan ustadz dalam menyampaikan hadis misoginis yaitu metode membaca dan
presentasi.
Dengan dua metode ini, proses ekternalisasi terjadi antara satu individu
dengan individu yang lain. Dengan dua metode pembelajaran tersebut, penulis
mengamati masih terlalu banyak kekurangan dalam memahami hadis, termasuk
memahami hadis-hadis misoginis yang pastinya membutuhkan pemaknaan atau
interpretasi yang jelas agar para santri tidak salah dalam
memahami maksud dari hadis-hadis tersebut.
Pengamatan penulis di pondok pesantren
Azzakariyah Talang Sengkuang menemukan bahwa proses kontruksi sosial dalam
kehidupan santri dalam fase ekternalisasi ini terjadi pada metode pembelajaran
hadis yang digunakan, sehingga menyebabkan adanya kesalahan
interpretasi dalam pemahaman hadis.[79]
Pada kehidupan seahari-hari para santriwati di
pondok pesantren Azzakariyah, misalnya dalam contoh rapat OSIS yang di
laksanakan oleh santri putra dan putri, dimana dalam proses interaksi tersebut
ada proses eksternalisasi tentang pengambilan peran dan superioritas santri
putra terhadap santri putri. Para santri putri masih terlalu takut dalam
mengambul keputusan dan ada kecenderungan untuk selalu bergantung pada
kuputusan santri putra. Begitu juga contoh lain dalam kebijakan utusan
perlombaan yang di delegasikan, bahwa santri putri masih memiliki peran yang
sangat kurang dan cenderung mengutamakan santri putra.
Wawancara penulis dengan Juwita Wulandari santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan
:
“Menurut saya bahwa identitas kepribadian seorang perempuan akan benar-benar terbentuk tentang anggapan kelayakan perempuan menjadi
seorang pemimpin, karena perempuan itu adalah makhluk yang lemah, perempuan adalah sumber
fitnah dan banyak anggapan lain nya yang cenderung pada arah deskriminalisasi
yang menuju pada proses terjadinya bias gender di pesantren”[80].
Lain halnya pendapat
Intan Nur Aini santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :
“Kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin perlu adanya kajian yang
mendalam, sebagai contoh rapat OSIS yang di laksanakan oleh santri
putra dan putri, dimana dalam proses interaksi tersebut ada proses
eksternalisasi tentang pengambilan peran dan superioritas santri putra terhadap
santri putri. Para santri putri masih terlalu takut dalam mengambul keputusan
dan ada kecenderungan untuk selalu bergantung pada kuputusan santri putra”[81].
Pendapat lain menurut Zahrah santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau
mengatakan :
“Memahami hadis
mengenai toleransi
dengan struktur pemikiran yang berpusat
pada teks
(bayani), interpretai (burhani), dan
penyingkapan terhadap segala
rahasia Allah
(irfani), dapat memberikan
dampak yang
signifikan terhadap pemahaman mengenai pendidikan santri. Dampak tersebut dapat dilihat pada beragam
pendapat mengenai hadis misoginis”.[82]
Hasil wawancara penulis
diatas menunjukkan bahwa pemahaman santri tentang hadis-hadis misoginis
akan berlanjut pada proses internalisasi yang pada fase sebelumnya mengalami
ekternalisasi. Hal ini akan mengalami alur yang pajang dan akan terus
berkelanjutan hingga terciptanya fase obyektifasi.
Disamping itu pemahaman para santriwati yang
terlalu tekstual dalam memahami hadis-hadis misoginis, sehingga aktivitas para
santri adalah legitimasi pranata sosial yang akhirnya mencapai generalitas yang
disebut pandangan hidup.
Ideologi santriwati dengan menganggap perempuan hanyalah sekedar makhluk
yang lemah tidak bisa terbantahkan. Kontruksi hadis misoginis terhadap kehidupan
santriwati tentang gender mengakibatkan lahirnya sifat stereotype.
Dari tiga fase tersebut akan lahir sebuah kontruksi tentang hadis
misoginis terhadap kehidupan para santri. Lahirnya sifat konservatif,
subbordinatif, stereotype, dan ketidaksetaraan akan terjadi pada kehidupan
santri. Santri putra akan selalu merasa superior dari pada santri putri, hal
ini terbukti pada jumlah tenaga pengajar di Pondok Pesantren Azzakariyah yang
mayoritas diakuisi oleh laki-laki, sistem pengambilan kebijakan ketika
pendelegasi lomba, pengambilan keuputusan rapat OSIS maupun sarana prasarana.
PENUTUP
D.
Kesimpulan
Dari
pembahasan pada bab diatas mengenai Kajian Living Hadis Pemahaman Santri
Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok
Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin) dapat penulis
mengambil kesimpul sebagai berikut :
1. Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap
Hadis-Hadis Misoginis dimana penulis
mengambil dua hadis sebagai bahan untuk penelitian pertama
yaitu hadis tentang Perempuan
Tidak Boleh Menjadi Pemimpin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
pandangan santri pondok Azzakariyah Talang
Sengkuang mengenai hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan
tidak menjadi pemimpin karena perempuan lebih mengutamakan perasaan dari pada akal
kedua hadis tentang Kebanyakan Perempuan Menjadi Ahli Neraka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan
santriwati di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis
diatas juga berbeda pendapat. Karena menurut mereka memahami hadis tidak hanya
secara tekstual namun juga dipahami secara konteksual.
65
3. Adapun dampak hadis misoginis terhadap terhadap kehidupan
santri pondok pesantren Azzakariyah adalah pemahaman para santriwati yang terlalu tekstual dalam
memahami hadis-hadis misoginis, sehingga aktivitas para santri adalah
legitimasi pranata sosial yang akhirnya mencapai generalitas yang disebut
pandangan hidup.
B. Saran
Dari
pembahasan dan hasil temuan penulis dilapangan, penulis ingin menyampaikan
saran sebagai berikut :
1.
Bagi guru ustaz dan ustazah khususnya
yang mengajar hadis kiranya dapat mengajarkan hadis kepada santri dan
santriwati dengan memberikan pemahaman yang tidak menimbulkan pemahaman
negatif, apalagi hadis yang menyangkut misogonis sehingga tidak menimbul
pemahaman yang berbeda-beda.
2.
Bagi santri dan santriwati khususnya
yang belajar ilmu hadis hendaklah kalian pahami betul apa yang diajarkan ustaz
dan ustazah. Jika ada yang belum mengertia apa yang disampaikan guru hendaklah
kalian mengajukan pertanyaan sehingga tidak ada lagi ada perbedaan pendapat
dalam memahami sebuah hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, cet. 10, (Jakarta: Amzah, 2010)
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik
Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011)
Ahmad Fudhaili, Pemahaman
Misoginis dalam Hadis, (Fudhaili Online Blogspot ,2010), diakses pada:
http://kritikhadits.com, tanggal 13 Desember 2021)
Amina Wadud, Qur’an and Women,
(New York: Oxford University Press, 1999)
Fudhaili, Ahmad. Perempuan
Di Lembaran Suci; Kritik atas Hadis-hadis Shahih. (Jakarta: Kementran Agama
RI, 2012)
Hadis, Shahih Bukhari, Juz
IV, no. 4163, 1610
Hadis, Sunan Abu Dawud,
Bab: Kitab Al-Libas, Juz IV, no. 4104, 62
Husein Muhammad, Fiqh
Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara, 2001)
Irawan Soehartono, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja
Rosda Karya: 2011)
Khaled Abu el-Fadl, The
Great Theft: Wrestling Islam from The Extremists, Los Angeles: Perfect Bound,
2005)
Lexy J Moleong, Methodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung:Rosda Karya, 2004)
London School Beyond
Borders: Communication Modernit & History, (Jakarta, STIKOM The London
School of Public Relations, The First LSPR Communication Research
Conference 2010)
M. Syuhudi Ismail, Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003)
Moh Soehadha, Metode
Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama, (Bandung:Rosda Karya, 2004)
Mohd. Arifullah et. al., Panduan Penulisan Karya Ilmiah: Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Muh. Syamsuddin, “ Dampak
Hadis Misogini Terhadap Pemahaman Santri ( Studi kasus tentang pemahaman
gender di Pesantren Salafiyah darussalam Sumber Sari Pare Kediri)”, Jurnal Studi Islam, 2 (Desember 2017)
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VI, (Dar Tawq al-Najah.)
Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskripstif
Kualitatif, (Jakarta: GP Press Group, 2013)
Muqtada, R. (2014). Kritik Nalar Hadis Misoginis. Jurnal Musawa, 13, 2,
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode
Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007)
Nur Jannah Ismail, Perempuan
dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta, Lkis, 2003)
Ouzon, Zakaria. Jinayat
al-Bukhari; Inqadz al-Din min Imam al-Muhadditsin, bab al-Bukhari waal-mar’ah.
Beirut: Riad El-Rayyes Book, 2004
Riffat Hasan, “Teologi
Perempuan dalam tradisi Islam, sejajar di Hadapan Allah” Dalam Jurnal Ulumul
Qur’an No.4, (Jakarta: Paramadina, 1990)
Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi
dan Tesis, Jakarta: PPM, 2007)
Sahiron Syamsuddin,
Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 355,
dikutip dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Siti Fauziah, “Pembacaan al-Qur’an Surat-Surat Pilihan Di
Pondok Pesantren Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus”, Skripsi
(Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014)
Sunarto, Televisi,
Kekerasan, dan Perempuan, Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2009)
Wilaela, “Perempuan-perempuan Haremku
(Telaah Pengalaman Perempuan oleh Perempuan dengan Pendekatan
Sejarah Peradaban Islam)”, Marwah, Volume 4, Nomor 8, (Juli, 2005)
[1]
Mufidah, Gender di Pesantren Salaf, Why Not?: Menelusuri Jejak Kontruksi Sosial
Pengarustamaan Gender di Kalangan Elit Santri ( Malang : UIN-Maliki
Press,2010), 2
[2] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), 12
[3] Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih
al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158
[4] Husein Muhammad, Fiqh
Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara, 2001), 201-203.
[5] Sahiron Syamsuddin,
Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 355,
dikutip dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996),
314.
[6]
Faqihuddin Abdul Kodir, 60 Hadis Hak-Hak Perempuan Dalam Islam (Teks Dan Interpretasi) (Yogyakarta: Sinau Mubadalah, AMAN Indonesia, 2017), hal. vi.
[7] Muh. Syamsuddin, “ Dampak
Hadis Misogini Terhadap Pemahaman Santri ( Studi kasus tentang pemahaman
gender di Pesantren Salafiyah darussalam Sumber Sari Pare Kediri)”, Jurnal Studi Islam, 2 (Desember 2017),
h. 258.
[9] Riffat Hasan, “Teologi
Perempuan dalam tradisi Islam, sejajar di Hadapan Allah?” Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No.4,
(Jakarta: Paramadina, 1990), 55
[10]Nana Syaodih
Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2007), 60.
[15]Moh Soehadha, Metode
Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama, Bandung:Rosda Karya, 2004),
112.
[16]Siti Fauziah, “Pembacaan al-Qur’an Surat-Surat Pilihan Di
Pondok Pesantren Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus”, Skripsi
(Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), 26.
[18]Abdurrahman
Fathoni, Metodologi Penelitian &
Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 112.
[21]Mohd. Arifullah et.
al., Panduan Penulisan Karya Ilmiah:
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 66.
[22] Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik
Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 67.
[23] Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik
Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 68.
[24]Muh Syamudin, Dampak Hadis
Misoginis Terhadap Pemahaman Santri (
Studi kasus tentang Pemahaman Gender di
Pesantren Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri ) jurnal studi islam 2 ( Desember, 2017),258.
[25] Filda
Fadilah,
“Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Santri”, Jurnal IAIN Syekh
Nurjati Cirebon, 1 (Maret,2017),h. 15
[26] Abd Hannan, Gender dan Fenomena Patriarki Dalam Sosial Pendidikan Pesantren
(Jurnal : 2016), 233
[27] Muhammad Rofiq,
Memahami Hadis Misoginis
Perspektif Maqasid Syari‘ah, Jurnal Skripsi IAIN Cirebon,
(2018), h. 7
[28] Muzakka, kesetaraan gender dalam sastra pesantren (kajian terhadap
kitab syi’ir laki rabi)” Syari‘ah, Jurnal Skripsi IAIN Cirebon, (2013), h.9
[29] Jamilah, Marriage And The Independency Of
Women (A Case Study On Early Marriage In Local Area In Madura) Jurnal,2013 h.21
[38]Ahmad
‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis (Tangerang: Yayasan
Wakaf Darus-sunnah, 2019), 22.
[40] Subhi Salih, “Ulum
Al-Hadis wa-Musthalahu” (Beirut” Dar a;-Ilm Lil-Malayin, 1988), 3-5.
[41] Ibid, 193.
[42] Ahmad ‘Ubaydi
Hasbillah, 330.
[43]Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah,
331.
[44] Ahmad
Warson Munawwir, Almunawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 261
[45]
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 17.
[46] Khaled Abu el-Fadl, The Great
Theft: Wrestling Islam from The Extremists, Los Angeles: Perfect Bound,
2005,142-143
[47] Jujun
S. Suriasumantri dalam pengantar Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: YOI, 1991),h.ii
[48]
Syamsul Hadi Untung, and Achmad Idris. “Telaah Kritis terhadap Hadis
Misoginis,” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam 11, no. 1 (Maret 2013): 39.
[50]
Al-Jabiri, Madkhal ila Falsafat al-‘Ulum (Beirut: Markaz Dirasat
alWahdah al-‘Arabiyyah, 2002), h. 18-19 dan 22-23
[51]
Khanafie Al-Jauharie, Imam. 2010. Filsafat Islam Pendekatan Tematik,
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, h.4
[52] Wilaela, “Perempuan-perempuan Haremku
(Telaah Pengalaman Perempuan oleh Perempuan dengan Pendekatan
Sejarah Peradaban Islam)”, Marwah, Volume 4, Nomor 8, (Juli, 2005), 22.
[53] Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar
al-Fikr. 1401 H-1981M), IV. h.84
[54] Nur Jannah Ismail, Perempuan
dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran Yogyakarta, Lkis, 2003
[55] London School Beyond Borders: Communication
Modernit & History, (Jakarta, STIKOM The London School of Public
Relations, The First LSPR Communication Research Conference 2010), hal. 14
[56] Sunarto, Televisi,
Kekerasan, dan Perempuan, Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2009), 49
[57] Ouzon, Zakaria. Jinayat
al-Bukhari; Inqadz al-Din min Imam al-Muhadditsin, bab al-Bukhari
waal-mar’ah. Beirut: Riad El-Rayyes Book, 2004. H. 91-92
[58]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih
al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158.
[59] Ibn
Hajar Al-Asqâlani, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 21,
terj. Aminuddin, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), h.435. Lihat Juga. Abi al-‘Aly
Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, vol. 6, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 541
[60]
Jalâl al-Din al-Suyûthî, Sunan al-Nasâi bi Syarhal-Hafiz Jalal al-Din
al-Suyuthi, vol. 7-8, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1348 H/1930 M), h. 227
[61] Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn ‘Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh:
Maktabah al-
Ma’ârif, 1417 H), h. 661
[63]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih
al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158.
[67] Wawancara penulis dengan Amelia Sartika salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022
[68] Wawancara penulis dengan Salmawati salah seorang
santriwati di pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022
[69] Wawancara penulis dengan Murniwati
santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022
[70] Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn ‘Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh:
Maktabah al-
Ma’ârif, 1417 H), h. 661
[72] Wawancara penulis dengan Yusmarni dan
Hani’ah santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 11 Maret 2022
[73] Wawancara penulis dengan Irma salah seorang
santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 15 Maret 2022
[75] Wawancara penulis dengan Risma, Yolanda dan Intan santriwati pondok
pesantren Azzakariyah tanggal 16 Maret 2022
[78] Wawancara penulis dengan Istiqomah
santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 22 Maret 2022
[80] Wawancara penulis dengan Juwita Wulandari Santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 23 Maret 2022
0 $type={blogger}:
Posting Komentar