Jumat, 16 Agustus 2024

 




BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang  

      Peran bank dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat besar. Hampir di semua sektor usaha sangat membutuhkan bank sebagai mitra dalam melakukan transaksi keuangan.[1] Secara sederhan bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Sedangkan pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya.[2]

         Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan   yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

1

          Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) adalah salah satu lembaga keuangan yang salah satunya bergerak di bidang jasa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). BPR merupakan lembaga perbankan di bawah pengawasan Bank Indonesia. BPR tidak langsung berdiri begitu saja, tetapi melalui tahapan-tahapan selama bertahun-tahun. Berawal dari keinginan untuk membantu para petani, pegawai, dan buruh untuk melepaskan diri dari jerat rentenir yang memberikan kredit dengan bunga tinggi, sehingga lembaga perkreditan rakyat mulai didirikan.[3]

          Landasan hukum BPR adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Undang-Undang tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

           Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi. Dukungan konstitusi terhadap BPR terdapat di dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta  dengan  menjaga  keseimbangan  kemajuan  dan  kesatuan ekonomi nasional”.

          Beberapa daerah dapat ditemukan bank-bank yang ditunjuk dalam rangka untuk meningkatkan kemajuan daerah, utamanya disektor Perekonomian Daerah, baik yang didirikan oleh pihak swasta maupun Pemerintah Daerah setempat. Adapun tujuan utama dari pendirian Bank Perkreditan Rakyat adalah untuk membantu masyarakat, khususnya para pedagang atau pengusaha golongan ekonomi rendah (kurang memiliki modal), agar dapat memenuhi permodalan usahanya, dan tidak jatuh pada praktik renternir (lintah darat) karena praktik tersebut pada dasarnya sama sekali tidak membantu kegiatan usaha para pengusaha kecil, sebaliknya membuat usaha yang telah dijalankan pengusaha-pengusaha yang memiliki modal ini tidak dapat berjalan lancar. Pengoperasian Bank Perkreditan Rakyat memprioritaskan kegiatan usahanya, dengan memberikan kredit kepada pedagang dan pengusaha golongan ekonomi lemah serta mendukung usaha menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito.

 


           Bagi   masyarakat,   kredit   sangat   diperlukan  dalam   mendukung  dan mengembangkan usahanya, dimana dengan menggunakan dana kredit bisa digunakan untuk pengadaan atau peningkatan berbagai faktor produksi baik berupa tambahan modal kerja, bahan baku, perluasan pasar, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi dan lain sebagainya.

           Setiap penyaluran kredit oleh kreditur tentu mengandung resiko, karena adanya keterbatasan kemampuan manusia dalam memprediksi masa yang akan datang, untuk itu bank harus merencanakan sedemikian rupa dan berusaha untuk menekan resiko munculnya kredit bermasalah. Pihak bank juga perlu menilai kelayakan usaha dari debitur dan juga diperlukan adanya pengelolaan dan pengawasan, sehingga kesinambungan usaha perbankan tetap terjaga. Dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat tidak keseluruhan dana yang disalurkan tersebut dapat dikembalikan seluruhnya atau sebagaimana mestinya, maka hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya kredit bermasalah.

           Kredit  bermasalah  dapat  diartikan  sebagai  ketidak  sanggupan  debitur untuk melunasi pinjamannya kepada bank berupa angsuran pokok dari pinjaman beserta bunganya, serta biaya lain dimana mengalami kegagalan karena deviasi (penyimpangan) sehingga tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati yang akhirnya dapat membawa kerugian kepada PT. BPR Batanghari Kota Jambi.

           Kredit bermasalah timbul tidak dengan seketika melainkan secara bertahap dimana terjadi penurunan berbagai aspek yang dimiliki debitur yang berakhir dengan ketidak mampuan debitur membayar  kreditnya. Mencari penyebab kredit bermasalah adalah sulit karena banyak faktor yang mempengaruhi baik yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor  ekstern “berasal dari luar  perusahaan” seperti keadaan ekonomi, persaingan, bencana alam dan dari debitur itu sendiri. Sedangkan faktor intern “berasal dari dalam pihak perusahaan” seperti kesalahan penilaian dalam pemberian kredit atau minimnya pengawasan dan pembinaan terhadap kredit yang disalurkan. Kredit bermasalah merupakan disebabkan berbagai faktor yang berkaitan satu sama lainnya, untuk itu harus segera mungkin mendapatkan penyelesaian karena dapat menyebabkan terganggunya kondisi bank.

        Perkembangan sistem perbankan Indonesia telah berevolusi dalam lima tahap, yaitu: (1) tahap rehabilitasi dan perbaikan dari inflasi tinggi tahun 1967-1973, (2) tahap pemberlakuan pagu aktiva neto tahun 1974-1983, (3) tahap pertumbuhan dan tahap deregulasi tahun 1983-1988, (4) tahap percepatan tahun 1988-1991, dan (5) tahap konsolidasi tahun 1991-1997.4 Pada tahun 1998, krisis finansial di wilayah Asia Tenggara telah diikuti dengan krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Saat itu kondisi perekonomian sangat mengkhawatirkan yang di antaranya terlihat banyaknya bank-bank yang dilikuidasi, sehingga menimbulkan keresahan. Keresahan ini memicu krisis kepercayaan yang besar di tengah masyarakat atas stabilitas dunia perbankan. Dalam agenda pembangunan nasional  tahun  2004  sampai  dengan  2009,  secara  politis  dikatakan  bahwa kondisi perbankan dan lembaga keuangan lainya belum mantap. Lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap produk perbankan dan keuangan yang semakin bervariasi dan kompleks, serta mengantisipasi globalisasi perdagangan jasa   dan   inovasi   teknologi   informasi,   telah  meningkatkan   arus   transaksi

keuangan masuk keluar Indonesia.

       Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat. Untuk itu perlu diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Keberadaan suatu sistem penjaminan simpanan yang diatur secara tegas dan disusun secara lengkap dan meningkatkan   kepercayaan   pada   akhirnya   memperkuat   seluruh   sistem perbankan.[4]

          Pentingnya  kepercayaan  masyarakat  terhadap  bank  telah menciptakan hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya menjadi penting.  Hal  ini  terjadi  karena  bank  memiliki  status  yang  unik  ditengah masyarakat,  selain  bank  sebagai  sandaran  suatu  kepercayaan,  bank  juga

menempati posisi khusus sebagai tempat yang aman.[5]

          Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Untuk dapat menerapkan proses memantau resiko, maka pada tahap awal bank harus secara tepat mengidentifikasi resiko dengan cara mengenal dan memahami seluruh resiko yang sudah ada (inherent risks) maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank, termasuk resiko yang bersumber dari perusahaan terkait dan afiliasi lainnya. lainnya.  Dalam  rangka  mengatasi  krisis  dan  ancaman  kehancuran  sistem perbankan, Pemerintah Indonesia telah menghentikan sistem penjaminan berdasarkan blanket guarantee. Pelaksaan sistem penjaminan blanket guarantee ini telah membebani dan menimbulkan moral hazard, khususnya bagi pelaku perbankan. Sistem penjaminan blanket guarantee kemudian diakhiri dan diganti dengan  system  penjaminan  limited  guarantee  melalui  pembentukan  suatu lembaga penjaminan yang diberi nama Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).[6]

        Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah LPS, yang merupakan suatu lembaga independen yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004 (UU LPS). Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan   sehingga   pendirian   dan   operasional   LPS   dimulai   pada   22 September 2005. Sejatinya, urgensi LPS dirasakan oleh hampir semua negara. Pada  6  Mei  2002,  telah  terbentuk  The  International  Association  of  Deposit Insurers (IADI). IADI merupakan organisasi nirlaba yang didirkan berdasarkan hukum Swiss dan bermarkas di Basel, Swiss. IADI memiliki 114 participating organization (90 members, 10 associates, dan 14 partners) dalam rangka mendorong pengembangan penjaminan simpanan.[7]

       Bank Pengkriditan Rakyat (BPR) Batanghari kota Jambi merupakan Bank Pengkreditan Rakyat yang juga merupakan peserta dari Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS. Dalam pra survey yang telah dilakukan sebelumnya ternyata Lembaga Penjamin Simpanan  turut andil dalam terhadap penanganan dan penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah.

        Peneliti memilih BPR Batanghari kota Jambi sebagai tempat penelitian karena sebagian besar nasabah bank belum mengetahui apa itu Lembaga Penjamin Simpanan. Masyarakat terlihat masih awam dengan sistem perbankan terutama tentang adanya LPS yang berperan besar dalam menjamin dana nasabah penyimpan dana di bank.

         Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berfungsi sebagai badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, diharapkan mampu menjunjung modernisasi pedesaan dan memberikan pelayanan bagi golongan ekonomi lemah / pengusaha kecil. Manajemen perkreditan pada dasarnya adalah suatu proses yang terintegrasi antara sumber–sumber dana kredit, alokasi dana untuk dijadikan kredit. Untuk dapat melaksanakan fungsi dengan baik, maka kesinambungan usaha dan kesehatan Bank Perkreditan Rakyat perlu diupayakan sejak pendiriannya. Disamping itu untuk dapat berkembang secara lebih baik, Bank Perkreditan Rakyat perlu diberikan kesempatan yang lebih luas untuk tumbuh dan berkembang dengan tetap memperhatikan prinsip kehati–hatian.

       Berkenaan dengan adanya kredit bermasalah, Mahmoeddin (1995) menyatakan sebagai berikut: ”Angka kredit macet yang cukup tinggi, merupakan macetnya suatu produk bank. Jika macetnya produk bukan bank, maka hal ini akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan tersebut, yang memiliki para pemegang saham. Sedangkan pada bank, masalahnya akan lain. Karena kredit macet tidak saja akan merugikan para pemilik saham bank tersebut, tetapi juga akan merugikan para pemilik dana. Yang sebagian besar adalah anggota masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkat kehidupan, yang dapat meresahkan masyarakat bahkan merusak sendi perekonomian suatu Negara”.

        Ketatnya persaingan antara bank saat ini turut mendorong bank – bank di Indonesia untuk lebih giat dalam mengembangkan usahanya baik peningkatan kualitas pelayanan maupun kualitas jasa. Tawaran tawaran menggiurkan seperti hadiah uang atau barang sampai dengan bunga harian bukanlah suatu hal yang mengherankan, tujuan utama yaitu menarik dana masyarakat sebanyak–banyaknya kemudian menyalurkan kembali pada masyarakat luas dalam bentuk kredit, usaha – usaha ini tidak hanya dilakukan oleh bank umum, tetapi juga dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat dalam batas – batas kemampuannya dan peraturan yang ada.

        PT. BPR Batanghari kota Jambi merupakan salah satu lembaga keuangan bank milik Perusahaan Daerah kota Jambi yang dalam kegiatan operasionalnya memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, kredit modal kerja dan jenis kredit lain yang dapat dilayani dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat banyak.

         Pada dasarnya PT. BPR Batanghari kota Jambi menghimpun dana berupa simpanan yang dilakukan masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito. Hal ini dikarenakan adanya batasan pada usaha BPR itu sendiri dimana BPR tidak diizinkan menerima simpanan dalam bentuk giro sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan didalam UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992. Jumlah dana yang telah dihimpun dalam bentuk deposito dan tabungan bukan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaaan jumlah kredit, melainkan digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan operasional bank yang pastinya akan digunakan sebaik mungkin. Penyaluran dana berupa kredit merupakan salah satu bentuk kegiatan utama bank yang tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya risiko kerugian. Semakin besar jumlah kredit yang disalurkan, maka semakin besar risiko yang menyertainya.

        Risiko kredit perlu mendapat penanganan yang tepat. Hal ini ikarenakan

risiko kredit merupakan risiko yang memiliki dampak terbesar bagi bank. Risiko kredit ini berpotensi menjadikan sebuah kredit menjadi bermasalah atau lebih sering disebut NPL (non performing loan). NPL akan berakibat pada kerugian bank, yaitu kerugian karena tidak diterimanya kembali dana yang telah disalurkan maupun pendapatan bunga yang tidak dapat diterima. Seluruh jumlah kredit yang telah disalurkan kepada para debitur  diharapkan mampu menjadi pendapatan terbesar bagi PT. BPR Batanghari kota Jambi. Seluruh debitur diharapkan mampu mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama. Akan tetapi meskipun analisis kredit telah dilakukan oleh pihak bank, pada kenyataannya ketika kredit telah diberikan timbul berbagai macam persoalan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

         Persoalan yang timbul tersebut berpengaruh terhadap tingkat pengembalian/ kolektibilitas kredit sehingga dapat menyebabkan terjadinya kredit bermasalah. Kredit bermasalah dapat diukur dari tingkat kolektibilitasnya, merupakan persentase jumlah kredit bermasalah (dengan kriteria kurang lancar, diragukan dan macet) terhadap total kredit yang diberikan bank.

           Dibawah ini merupakan kolektibilitas kredit pada PT. BPR Batanghari kota Jambi dalam kurung waktu 3 tahun terakhir 2020 - 2022

 

 

Tabel 1

Kolektibilitas Kredit

PT. BPR Batanghari Kota Jambi

Tahun 2020 – 2022

 

No

Kolektibility

2020

%

2021

%

2022

%

1

Kredit Lancar

Rp.3.714.204.000

76,50

Rp.9.509.620.118

81,15

Rp.13.041.700.842

89,12

2

Kredit Kurang

Lancar

Rp.29.994.000

0,61

Rp.200.215.003

1,79

Rp.199.463.256

1,36

3

Kredit Diragukan

Rp.358.510.116

7,38

Rp.334.695.905

2,99

Rp.43.571.102

0,29

4

Kredit Macet

Rp.752.272.200

15,50

Rp.1.119.390.844

10,2

Rp.1.348.780.946

9,21

 

Total Kredit

RP.4.854.980.316

 

Rp.11.163.921.870

 

Rp.14.633.516.146

 

 

            Dari tabel 1, kredit lancar pada tahun 2022 sebesar Rp. 13.041.700.842,-, kredit kurang lancar sebesar Rp. 199.463.256,- , kredit diragukan sebesar Rp. 43.571.102,- dan kredit macet sebesar Rp. 1.348.780.946,-. Tabel 1 kolektibilitas kredit diatas dapat dilihat bahwa perubahan persentase kredit yang paling signifikan terjadi pada kredit kurang lancar, kredit diragukan yang meningkat dan kredit macet yang menurun. Oleh karena hal tersebut, PT. BPR Batanghari kota Jambi harus segera menyelesaikan kredit bermasalah guna untuk meminimalisir kerugian yang akan ditimbulkan. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari kota Jambi.

            Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai peran lembaga penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap penanganan dan penyelesaian Bank pengkriditan rakyat bermasalah dalam bentuk skripsi yang berjudul Peran Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR Batanghari di Kota Jambi)”.

 

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini penulis pokuskan pada bagaimana peran lembaga penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap penanganan dan penyelesaian bank pengkriditan rakyat bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi.

 

C. Batasan masalah

Agar permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tidak meluas maka batasan masalah dalam skripsi ini hanya pada peran lembaga penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap penanganan dan penyelesaian bank pengkriditan rakyat bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi.

 

D. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan sebelumnya, maka menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana analisis kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi?

2.      Apa saja kebijakan yang dilakukan pihak bank untuk mengatasi kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi?

 

 

E. Tujuan penelitian

Berdasarkan lingkup masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui analisis kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi

2. Untuk mengetahui kebijakan yang dilakukan pihak bank untuk mengatasi kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi

 

F. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah:

1.      Sebagai penambahan wawasan pengetahuan bagi peneliti tentang peran lembaga penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap penanganan dan penyelesaian bank pengkriditan rakyat bermasalah

2.      Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dalam bidang yang terkait dengan penelitian ini.

3.      Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah bahan referensi di perpustakaan Fakultas/Institut sebagai acuan dan referensi bagi peneliti yang akan datang, dan sekaligus memperkaya lebih jauh keilmuan di bidang perbankan Syariah

 

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini merupakan suatu pembahasan secara garis besar dari bab-bab yang akan dibahas. Sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan landasan formatif penelitian, yang berisi latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Landasan Teori Memuat tentang teori-teori yang relevan yang menjadi acuan dalam penulisan, yang memuat landasan teori mengenai Sejarah Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan, Tujuan Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, Tugas, Fungsi  Dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, Kepesertaan Bank Dalam Penjamin LPS, Manfaat Adanya LPS Terhadap Nasabah Dan Bank dan Kepercayaan Nasabah.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi Penelitian berisi tentang metode penelitian, waktu dan lokasi penelitian, jenis penelitian, subjek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data.

BAB IV: TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum bank Syariah Indonesia KC Jambi Gatot Subroto yang memuat sejarah singkat Bank Syariah Mandiri, struktur organisasi, serta produkproduk Bank mandiri Syariah dan pembahasan yang berisi deskripsi hasil penelitian.

 

BAB V : PENUTUP

Merupakan bagian penutup berisikan simpulan dan saran. Simpulan memberikan pemahaman secara komprehensif hasil penelitian yang dilakukan peneliti dan atas dasar tersebut maka akan melahirkan saran dan pengetahuan dari hasil peneliti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

A. Peran Lembaga Penjamin Simpanan

1. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntable dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS Pasal 2 ayat 3 Penjaminan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimalisir risiko yang membebani anggaran negara.[8]

Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan paada 22 September 2004. Undang-Undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan, sehingga pendirian dan operasional Lembaga Penjamin Simpanan dimulai pada 22 september 2005.[9]

 Sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah, LPS sangat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan bank baik secara individual maupun secara agregat. Untuk menjaga tingkat kesehatan bank baik secara individual (micro prudential) maupun secara agregat (macro prudential) diperlukan pengawasan perbankan yang efektif.[10]

13

 Keberadaan LPS dalam sistem perbankan di Indonesia ditegaskan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). LPS bertanggungjawab kepada presiden dan dalam kegiatannya merupakan lembaga independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, LPS tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun termasuk pemerintah kecuali atas hal-hal yang dinyatakan secara jelas di dalam Undang-Undang LPS. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 2 ayat 3

Jadi dapat disimpulkan bahwa LPS adalah lembaga independen, transparan, akuntable yang berperan menjamin simpanan nasabah penyimpan, bertanggung jawab kepada presiden dan menteri keuangan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya yang dalam kebijakannya tidak dapat dicampurtangani oleh pihak manapun.

Pendirian LPS pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap dua risiko, yaitu irrational run terhadap bank dan systemic risk. Dalam menjalankan usaha, bank biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara itu, bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar dengan segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah disalurkannya.[11]

Peranan LPS dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana di perbankan, antara lain:

1.    Memberikan jaminan secara eksplisit bagi nasabah penyimpan dana apabila bank dilikuidasi serta kedudukan nasabah tetap terjamin.

          Dengan adanya LPS, maka apabila terdapat bank yang mengalami kesulitan usaha, kemudian dicabut izin usahanya dan dilikuidasi, kedudukan nasabah tetap terjamin. Dengan kata lain, LPS merupakan bentuk nyata dari adanya penjaminan dan perlindungan terhadap dana simpanan masyarakat Keberadaan dan pembentukan LPS pada dasarnya berkaitan dengan penyelesaian dan penanganan bank gagal.

2.      Lebih mengutamakan kepentingan nasabah kecil penyimpan dana (small

depositors) sehingga terlebih dahulu terjamin keamanan dananya.

        Nilai yang dijamin diharapkan dapat melindungi seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan sebagian besar nasabah bank di Indonesia. Di sisi lain, pembentuk undang-undang juga memberikan ruang kepada pemerintah untuk mengatur besarnya nilai jaminan sesuai dengan perkembangan zaman.[12]

Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan dapat menimbulkan moral hazard, sehingga harus dilakukan dengan tepat dan hati-hati. LPS bukanlah “panacea” tetapi juga tidak ada pilihan lain yang dapat menyediakan “panacea.” Singkat kata, Lembaga Penjamin Simpanan merupakan sesuatu yang diperlukan tetapi tidak cukup (necessary but not enough) dalam memecahkan persoalanpersoalan perbankan. Pengawas bank harus berani bertindak tegas terhadap pengurus bank yang mengelola banknya secara sembrono. Fit and proper test terhadap pengurus dan eksekutif bank juga harus dilakukan dengan ketat agar mencegah masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam industri perbankan.

Sebagai ilustrasi, perkara Stanley R. Hendrickson v. Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) dapat dijadikan pedoman mengenai ketegasan yang harus dimiliki pengawas bank. Dalam perkara ini, FDIC digugat oleh pengurus bank yang diberhentikannya. Permasalahannya berkaitan dengan Ps. 6050I Internal Revenue Code yang mewajibkan setiap pelaku usaha (businesses) mengisi dokumen yang dikenal dengan Form 8300 apabila menerima uang tunai lebih dari USD 10.000 untuk satu transaksi. Pada tahun 1993, Stanley Hendrickson, Presiden Randolph County Bank of Winchester Indiana (Bank) dinyatakan bersalah karena dengan sengaja tidak mengisi form 8300 pada waktu berkerja di perusahaan saudaranya, Silver Towne. Pada tahun 1992, Hendrickson berhenti bekerja pada Silver Towne dan menjadi presiden Bank, tempat dimana Hendrickson sebelumnya bekerja yaitu dari tahun 1962 sampai tahun 1985.

Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industry perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.[13]

Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditanda tangani dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada system perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajibab pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum Dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 Tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.[14]

Dalam pelaksanaannya, blanked guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industry perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.[15]

Selain itu, dalam blanket guarantee, terdapat tiga permasalahan utama yag akan dihadapi sistem perbankan, pertama, adalah ketidakjelasan tentang siapa yang dilindungi masyarakat deposan atau bankir? Kedua, akan selalu muncul ketidakjelasan profesionalan dalam pengelolaan bank, tanggung jawab manajemen bank cenderung rendah serta yang ketiga, resiko kerugian Negara akan cenderung tinggi. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah secepatnya meninggalkan system blanket guarantee ini dan menggantikannya dengan merealisasikan Lembaga Penjamin Simpanan, yang di Negara lain seperti Amerika , Kanada, Filipina Korea, Jepang dan Taiwan disebut sebagai Deposit Insurance Coorporation atau di Inggris disebut sebagai Departemen Protection Fund, sedangkan di India disebut sebagai Deposit Insurance and Credit Guarantee Coorporation.[16]

Realisasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Tersebut sesuai dengan amanat Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi :

1.    Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan

2.    untuk menjamin simapanan masyarakat pada bank, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.[17]

Penjelasan ayat (2), menyebutkan Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Dalam menyelenggrakan penjaminan simpanan dana masyarakat pada bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan: (a) skim dana bersama, (b) skim asuransi, dan (c) skim lain yang disetujui Bank Indonesia.[18]

Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpanan serta menjaga stabilitas system perbsnksn, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan system penjaminan yang terbatas. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbakan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.

   Kebijakan ini meberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada nasabah penyimpan (deposan) dan kreditor dalam dan luar negeri. Tujuannya, untuk mencegah kehancuran system perbankan akibat terjadinya rush yang dipicu oleh dilikuidasinya 16 bank pada November 1997. Likuidasi 16 bank yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industry bank, ternyata justru mengakibatkan keadaan yang sebaliknya. Kekhawatiran akan terjadinya likuidasi bank berikutnya dan tidak adanya program penjaminan simpanan telah menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dana nya di perbankan. Kondisi ini, meneybabkan kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional runruh.[19]

   Terjadinya rush ini ditandai dengan meningkatnya jumlah uang kartal yang dipegang masyarakat. Berdasarkan data Bank Indonesia uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp.24,9 triliun pada akhir Oktober 1997 menjadi Rp.37,5 triliun pada akhir Januari 1998, dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998, sehingga mencapai Rp45,5 triliun. Ada beberapa hal positif yang dapat di capai dengan dihapuskannya program blanket guarantee. Pertama, mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah.[20]

 Kedua, meminimalkan moral hazard (aji mumpung) bagi pemilik dan pengelola bank, dan ketiga, eningkatkan disiplin pasar. Negatifnya adalah ketiadaan program ini dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Lemahnya kepercayaan masyarakat akan mudah memicu terjadinya rush, suatu situasi yang sangat menakutkan industry perbankan dan otoritas moneter.[21]

Sebagai pengganti program blanket guarantee pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan Kepada DPR. Melalui Rancangan Undang-Undang ini akan di bentuk suatu lembaga independen yang disebut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berfungsi menjamin simpanan masyarakat yang ada pada industry perbankan. Secara konsep, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah program penjaminan mirip dengan yang dilakukan oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) yang berlaku di Amerika Serikat. [22]

Terhadap dua perbedaan mendasar antara jaminan yang diberikan oleh program blanket guarantee dan jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pertama, dalam hal cakupan. Kedua, besarnya jumlah yang dijamin. Blanket guarantee menjamin hampir seluruh kewajiban bank dengan jumlah jaminan tanpa batas (the sky is the limits). Adapun jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya mencakup simpanan masyarakat pada bank (deposan) dengan jumlah maksimal tertentu. Secara retorika yang dijamin adalah nasabah kecil dengan alasan memberikan jaminan kepada nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggung jawab dipandang merupakan suatu pendekatan yang adil dan tepat. Dalam rancanga Undang-Undang, diusulkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin simapanan maksimal sampai jumlah Rp2miliar.[23]

Alasan memberikan jaminan kepada nasabah penyimpan dana nasabah adalah mengingat menyimpan dana dibank dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat luas dalam upaya pembangunan. Akan tetapi, seringkali posisi penyimpanan dana terutama penyimpanan yang kecil terhadap bank agak lemah. Penyimpanan dana seringkali kurang memperhatikan perjanjian atau syarat-syarat simpanan uang pada bank,tetapi lebih sering memperhatikan tingkat suku bunga atau undian-undian yang ditawarkan oleh bank. Khusus tabungan, umumnya masyarakat yang berpenghasilan rendah, dalam memperjuangkan haknya sering kurang berhasil dengan baik. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah dalam menyelesaikan hak-hak penyimpan dana pada suatu bank yang dilikuidasi seringkali tidak memuaskan. Uang milik penyimpan telah dibawa lari oleh pengurus bank, sedangkan sisa kekayaan bank tidak cukup untuk mengembalikan dana nasabah yang telah dilarikan pengurus dana atau pemilik bank tersebut. Tambahan pula, proses pengembalian dana nasabah juga memakan waktu yang cukup lama karena menunggu dapat dicairkannya asset bank yang dilikuidasi. [24]

    Secara teoritis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan menggantikan blanket guarantee adalah salah satu komponen financial safety net. Financial safety net umumnya terdiri atas peraturan kehati-hatian (prudential regulation), pengawasan, lender of last resort, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap industry perbankan dan bertujuan untuk: Pertama, menurunkan kemungkinan terjadinya rush; Kedua, melindungi nasabah penyimpanan kecil yang secara sosial dan politil tidak dapat menanggung akibat kebangkrutan bank; dan Ketiga, menyediakan jalan agar biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat diminimalkan. Singkat kata, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan mekanisme untuk mempermudah bank bermasalah dilikuidasi.[25]

    Satu hal yang penting diperhatikan adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bukan panacea. System ini juga memiliki kelemahan sendiri. Presiden Franklin Delano Roosevelt pada saat pendirian Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mengingatkan: The minute the government starts to do that…the government runs into probable loss. Beliau kemudian menambahkan: we do not wish to make the United States government liable for mitakes and errors of individual banks, and put a premium on unsound banking in the future. Untuk itu system ini harus didampingi dengan tiga pilar, yaitu pengawasan, internal governance, dan disiplin pasar. [26]

Pengawasan yang dilakukan oleh bank sentral harus dilengkapi dengan disiplin internal dari perbankan dan disiplin eksternal (pasar). Tanpa disiplin tersebut, pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrument konsumen keuangan. Dengan melibatkan internal governance, berarti perbakan sendiri harus merupakan tempat terbaik dalam mengatur dan memelihara praktik manajemen yang sehat.

Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas system perbankan sesuai dengan kewenangannya. Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut Lembaga Penjamin Simpanan resmi beroperasi.[27]

2. Tujuan Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan

Dibentuknya lembaga penjamin simpanan bertujuan untuk menumbuhkan kembali rasa aman masyarakat untuk bertransaksi dengan bank dalam hal simpanan sehingga muncul kembali rasa kepercayaan mereka terhadap bank. Maksud dan tujuan dibentuknya LPS menurud UU No.24/2004 adalah untuk menyempurnakan program penjamin simpanan nasabah bank dalam rangka mendukung system perbankan yang sehat dan stabil guna menunjamg terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan tangguh.[28]

Krisis moneter dan perbankan yang menghantam indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan nasabah pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi pemerintah mengeluarkan bebrapa kebijakan diantaranya memberikan kebijakan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat.

Hal ini ditetapkan pada keputusan presiden nomor 26 tahun 1998 tentang “jaminan terhadap pembayaran perkreditan rakyat” Dibentuknya lembaga penjamin simpanan bertujuan untuk menumbuhkan kembali rasa aman masyarakat untuk bertransaksi dengan bank sehingga dapat kembali meningkatkan kepercayaan masyarakt tentang bank pengkreditan rakyat maupun bank-bank lain.

Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam keputusan presiden nomor 26 tahun 1998 tentang jaminan terhadap kewajiban Pembayaran Bank Umum dan keputusan Presiden nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.[29]

Realisasi pendiri Lembaga Penjamin Simpanan tersebut sesuai dengan amanat Pasal 37B Undang-Undng Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi:

a.       Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.

b.      Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.[30]

  Akhirnya setelah satu dekade, pada tanggal 22 September 2004, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga penjamin Simpanan. Undang-Undang ini mulai berlaku efektif sejak Tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) resmi beroperasi.

Realisasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan tersebut bertujuan untuk menjamin simpanan masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan dan untuk memberikan kepercayaan serta rasa aman masyarakat pada bank sesuai dengan amanat Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Syarat-syarat suatu pinjaman dapat di jamin oleh lembaga penjamin simpanan. Selain memenuhi besaran nilai simpanan yang dijamin, nasabah juga perlu memenuhi syarat-syarat sebagi berikut

a.        Simpanan nasabah tercatat dalam pembukuan bank

b.        Nasabah tidak memperoleh bunga simpanan yang melebihi timgkat bunga wajar yang di tetapkan oleh LPS dan nasabah tidak menerima yang tidak wajar dari bank; dan

c.        Nasabah tidak melakukan tindakan yang merungikan bank, misalnya memiliki kredit macet dibank tersebut.[31]

 

3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

               Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 1, Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undangundang tersebut. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan pada UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintregasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.[32]

                OJK adalah institusi yang bukan hanya menyandang independen, berdiri sendiri, namun wewenangnya juga berbeda dengan wewenang lembaga sebelumnya yakni Bank Indonesia yang selama ini tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, namun OJK memiliknya. Selain hal tersebut, OJK juga memiliki kewenangan untuk memungut fee dari lembaga keuangan yang diawasinya. Fee tersebut akan digunakan sebagai biaya operasional lembaga yang baru lahir tersebut. Dalam masa transisi ini, pada tanggal 1 Januari 2013 OjK akan mulai dengan tugasnya untuk mengawasi lembaga keuangan non bank dan baru mulai 1 Januari 2014 akan memulai tugas untuk mengawasi perbankan di Indonesia.Pada tahun 2013 anggaran operasional akan dialokasikan dari APBN, baru mulai 1 Januari 2014 biaya operasional lembaga tersebut akan dipungut dari lembaga keuangan yang diawasinya. Sungguh suatu hal yang menarik, sebuah lembaga yang dikatakan independen menarik fee (iuran) dari lembaga yang diawasinya. Selama ini pengawasan perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia dengan anggaran untuk keperluan tersebut seluruhnya atas beban Bank Indonesia tanpa memungut dari lembaga perbankan dan juga tidak dialokasikan dari APBN.

       Sehubungan dengan sistem baru kinerja institusi keuangan di Indonesia yang nota bene adalah salah satu pilar sistem keuangan dan perekonomian bangsa yang harus dijaga dan tegak berdiri agar tidak menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Halhal yang perlu dicermati terkait dengan lahirnya lembaga baru tersebut khususnya pada masa transisi penyerahan tugas-tugas tersebut antara lain terkait: wewenang penyidikan, pungutan(fee), sarana dan prasarana, acuan sistem kerja (best practise) lembaga tersebut dengan lembaga-lembaga yang ada di negara lain.[33]

       Secara umum, dapat dikatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Sebelum ada OJK, pengawasan industri keuangan berjalan secara terpisah dibawah dua regulator, yakni Bank Indonesia dan Bapepam-LK yang mengawasi pasar modal dan industri keuangan non-bank. Tugas pengawasan industri keuangan nonbank dan pasar modal yang dulu di Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK secara resmi beralih ke OJK pada tanggal 31 Desember 2012.Sedangkan pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada tanggal 31 Desember 2013 dan Lembaga Keuangan Mikro pada tahun 2015.

 

       Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun maysrakat. Dengan pembentukan OJK, maka lembaga ini diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan daya saing perekonomian. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelolayang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).[34]

4. Penyelesaian Bank Bermasalah

a. Kredit Bermasalah (Non Performing Loan)

         Kredit bermasalah pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan atau bunganya telah lewat sembilan puluh hari lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit bermasalah atau non performing loan dapat diartikan juga sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan debitur yang dapat di ukur dari kolektibilitasnya. Kolektibilitas merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga pinjaman serta tingkat kemungkinan di terimanya kembali dana yang di tanam dalam surat-surat berharga.

         Menurut Leon dan Ericson, (2007:95) Non Performing Loan adalah kredit yang kategori kolektibilitasnya di luar kolektibilitas kredit lancar dan kredit dalam perhatian khusus. Berarti kredit bermasalah mencakup kredit kurang lancar, diragukan dan macet.[35]

 

 

          Pentingnya penyelesaian bank bermasalah didasarkan pada alasan bahwa bank yang berada dalam keadaan insolven dan bila dibiarkan terus beroperasi berpeluang melakukan kegiatan berisiko tinggi dengan maksud memperoleh keuntungan besar. Tindakan seperti itu dapat mengakibatkan kerugian bagi nasabah penyimpan dan kreditor bank lainnya. Namun beberapa pertanyaan mendasar akan dikemukakan terlebih dahulu sebagai bagian dari pembahasan topik ini, yakni:

1). Apakah industri perbankan telah melakukan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) serta pengawasan dan pembinaan sehingga tidak terjadi moral hazard?

2). Krisis Moneter di Indonesia tahun 1997 melahirkan “blanket guarantee” (penjaminan pemerintah) untuk para nasabah, yang sekarang menjadi program penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (limited guarantee). Bagaimana pengaruh Lembaga Penjamin Simpanan dalam meningkatkan rasa aman terhadap dana nasabah penyimpanan dibandingkan dengan era blanket guarantee? Dan bagaimana mengefektifkannya?

3). Bagaimana pengaruh perkembangan ekonomi global dan pasar bebas terhadap keberadaan industri perbankan Indonesia umunya dan Lembaga Penjamin Simpanan khususnya?

                 Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kredit macet.

1). Karakter Nasabah

        Karakter merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari orang-orang yang akan di berikan kredit benar-benar harus dapat di percaya. Untuk membaca watak atau sifat dari calon debitur dapat di lihat dari latar belakang nasabah, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi. Dari sifat dan watak ini dapat di jadikan suatu ukuran tentang “kemauan” nasabah untuk membayar.

 

 

2). Jangka Waktu Pinjaman

        Pada umumnya jangka waktu kredit merupakan cerminan dari resiko kredit yang mungkin muncul. Jangka waktu pinjaman adalah waktu yang di berikan oleh pihak bank kepada debitur untuk mengembalikan pokok dan bunga pinjaman. Makin panjang jangka waktu kredit, makin tinggi resiko yang mungkin muncul, maka bank pun akan membebankan bunga yang lebih tinggi di bandingkan dengan kredit jangka pendek.[36]

b. Kemampuan Mengelola Kredit

         Menurut Kasmir dalam bukunya Dasar-Dasar Perbankan (2008:101), dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya “percaya”. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan analisis kredit.[37]

       Kredit menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam mengelola hutang atau kredit dari untuk kegiatan usahanya setiap nasabah memiliki kemampuan mengelola yang berbeda-beda. Yang di maksud dengan kemampuan mengelola kredit di sini adalah kemampuan dalam mengelola usahanya setelah mendapatkan dana pinjaman. Dengan jangka waktu pinjaman yang berbeda-beda maka akan menyebabkan adanya perbedaan pendapatan yang di peroleh dalam kegiatan usahanya.

      Semakin baik kemampuan dalam mengelola usahanya maka akan menghasilkan pendapatan yang besar dari usahanya sehingga kemampuan nasabah dalam membayar angsuran akan berjalan dengan lancar dan sebaliknya jika semakin buruk kemampuan dalam mengelola usahanya maka kemampuan nasabah dalam membayar angsuran tidak bisa berjalan dengan lancer karena pendapatan yang di hasilkan dari usahanya akan mengalami pasang surut atau tidak bisa di pastikan.

   Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Tujuan pemberian kredit juga tidak akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan.  menurut H. Rachmat Firdaus dalam bukunya Manajemen Perkreditan (2004:5) adalah pemenuhan jasa melayani kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan taraf hidup rakyat banyak.[38]

 

B. Studi Relevan

       Sebagai peneliti untuk mengetahui posisi penelitian yang dilakukan penulis, berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu:

No

Judul

Hasil

Perbedaan

1

Peran Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas jasa Keuangan Terhadap Penanganan dan Penyelesaian Bank Perkreditan Rakyat Bermasalah

Hasil penelitian menunjukan bahwa peran penjamin simpan dan otoritas keuangan terhadap nasabah kantor OJK Bandar Lampung pada Penyelesaian Bank Perkreditan Rakyat Bermasalah dapat teratasi dengan baik dengan memberikan kenyamanan simpan pinjam serta merpbaiki sistem yang ada pada kebijakan kantor OJK Bandar Lampung 

 

Pada penelitian ini terdapat perbedaan dan juga persamaan. perbedaannya yaitu tempat penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu di Kantor OJK  Bandar Lampung sedangkan peneliti meneliti di BPR Batanghari kota Jambi. Selain itu peneliti terdahulu meneliti Peran LPS dalam penyelesaian kredit bermasalah sedangkan peneliti meneliti berfokus pada Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan

2

Analisis Pengaruh Kepercayaan Terhadap Kesetiaan Nasabah Perbankan Syariah di Jakarta

Hasil penelitian menunjukan bahwa nasabah banyak yang belum memahami

secara lebih mendalam tentang LPS, karena kurangnya sosialisasi secara lisan dari

pihak Perbankan Syariah di Jakarta sehingga LPS belum berberan dalam meningkatkan

kepercayaan nasabah.

 

Pada penelitian ini perbedaan terletak pada tempat penelitian yaitu pada penelitian terdahulu dilakukan di Jakarta, sedangkan peneliti di BPR Batanghari kota Jambi. Selain itu peneliti terdahulu meneliti terkait Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah

3

Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal

Hasil penelitian menunjukan bahwa penanganan dan penyelamatan kantor LPS pusat dilaksanakan oleh LPS dengan  melakukan penyertaan

modal sementara. Pada tahap akhir proses penyelamatan, LPS melakukan divestasi atas saham kantor LPS pusat selaku investor potensial melalui pembuatan perjanjian jual beli saham bersyarat.

Perbedaan terletak pada tempat penelitian yaitu pada penelitian sebelumnya dilakukan di kantor LPS pusat, sedangkan peneliti berfokus pada BPR Batanghari kota Jambi. Selain itu peneliti terdahulu meneliti terkait peran LPS dalam memberikan penanganan dan penyelamatan pada bank gagal sedangkan peneliti tentang Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah

4

Pengaruh Pemahaman Nasabah mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Suku Bunga Simpanan terhadap Minat Nasabah dalam Menyimpan Dananya pada Bank Mandiri Yogyakarta Cabang Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil dari penelitian adalah keseluruhan variabel bebas yang terdiri dari Pemahaman Nasabah mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pemahaman Nasabah mengenai Suku Bunga Simpanan memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap Minat Nasabah dalam Menyimpan Dananya pada Bank Mandiri Yogyakarta Cabang Universitas Negeri Yogyakarta

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan penelitian tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).Sedangakan perbedaannya adalah dimana penulis memfokuskan pada Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah, sedangkan penelitian terdahulu memfokus pada Minat Nasabah dalam Menyimpan Dananya pada Bank Mandiri

5

Pengaruh Pemahaman Nasabah tentang Tingkat Suku Bunga, Promosi, dan Kualitas Pelayanan terhadap Minat Menabung Nasabah

Hasil penelitian adalah keseluruhan variabel bebas yang terdiri dari Tingkat Suku Bunga, Promosi, dan Kualitas Pelayanan memberikan pengaruh signifikan terhadap Minat Menabung Nasabah pada Bank BRI Cabang Sleman

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan penelitian tentang layanan Bank. Sedangkan perbedaannya adalah pada minat nasabah dalam menabung

 

 


 

BAB III

METODE PENELITIAN

 

 

A.   Jenis Penelitian

          Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif  dengan alasan dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan serta sebagai upaya untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang telah dibentangkan, karena sifatnya menggunakan penekatan analisis deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan pada kondisi objek yang alamiah, dan peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive sample, yaitu pengambilan sampel dengan cara memberikan ciri khusus yang sesuai tujuan penelitian.

          Penelitian ini mendeskripsikan mengenai Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah.

 

B.   Sumber Data

Adapun sumber data digunakan penelitian ini ada 2 yaitu: primer dan skunder

1.      Data primer

            Data primer adalah data pokok yang digunakan dalam penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber manapun dari lokasi objek penelitian, atau keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan. 

31

            Data primer adalah informasi yang dikumpulkan secara pribadi untuk tujuan tertentu, sehingga bentuk data ini diperoleh melalui observasi, survei, wawancara, dan lain-lain. Adapun jenis data primer yang penulis butuhkan dan yang diusahakan di lapangan adalah mengenai Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR Batanghari di Kota Jambi).

2.      Data sekunder

    Data sekunder adalah data atau sejumlah keterangan yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui perantara. Data ini bisa diperoleh dengan mengutip dari artiker atau sumber lain. Pada data sekunder, data-data diperoleh dari literatur-literatur atau bacaan yang relevan dengan penelitian ini. Dan juga beberapa buku di perpustakaan, jurnal dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang di teliti pada skripsi.

 

C.     Teknik Pengumpulan

Data Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang akan dibutuhkan dari lapangan dengan menggunakan instumen-intrumen seperti wawancara, disamping menggunakan instrumen dapat pula dilakukan dengan mempelajari dokumentasi-dokumentasi atau catatan-catatan yang menunjang penelitian.

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini maka teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.    Wawancara

Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Peneliti mewawancarai orang-orang yang akan diwawancari seperti nasabah bank dan pihak BPR Batanghari di Kota Jambi. Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpulan data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Setiap responden diberi pertanyaan yang sama.

2. Dokumentasi

Dokumentasi sebagai salah satu cara mencari data mengurai hal-hal atau variabel-variabel yang merupakan catatan manuskrif, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, prasasti, legger agenda dan sebagainya. Metode dokumentasi adalah pengampulan data melalui data peninggalan tertulis seperti, arsip, dan termasuk buku-buku tentang pendapat, teori, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian yaitu tentang Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR Batanghari di Kota Jambi)

3. Metode Angket (Kuesioner)

        Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawabnya, dapat diberikan secara langsung atau melalui pos atau internet. Jenis angket ada dua, yaitu tertutup dan terbuka. Kuesioner yang digunakan dalam hal ini adalah kuesioner tertutup yakni kuesioner yang sudah disediakan jawabannya, sehingga responden tinggal memilih dan menjawab secara langsung.

         Kuesioner ini ditujukan kepada nasabah BPR Batanghari di Kota Jambi untuk mengetahui Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah.

.      Untuk mendapat jawaban kuesioner terhadap Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR Batanghari di Kota Jambi), peneliti menyebarkan beberapa angket yang berisikan sejumlah butir pertanyaan untuk dijawan responden.

 

 

D.   Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

                 Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif dalam bentuk deskriptif. Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Dalam eksplorasi subjektif, tampilan informasi harus dimungkinkan sebagai tabel, bagan, diagram lingkaran, pictogram, dan semacamnya. Melalui pengenalan informasi, cenderung terkoordinasi, terorganisir dalam desain hubungan, sehingga akan lebih jelas. Terlebih lagi, tampilan informasi harus dimungkinkan sebagai penggambaran singkat, grafik, hubungan antara klasifikasi, diagram alur dan semacamnya.

2. Analisis Data

                 Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif yang bertujuan untuk memberikan data dari variabel yang diperoleh sekelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Setelah mendapatkan informasi yang diperoleh dalam pemeriksaan ini, tahapan selanjutnya adalah menangani informasi yang terkumpul dengan cara memecah informasi, menggambarkan informasi, dan membuat kesimpulan. Untuk menguji informasi yang telah diperoleh analis menggunakan strategi penyelidikan informasi subjektif, karena informasi yang didapat merupakan kumpulan data. Langkah investigasi informasi dimulai dengan menyiapkan semua informasi yang dapat diakses dari berbagai sumber, khususnya melalui pemahaman, pertemuan, dan dokumentasi.

                  Adapun langkah-langkah analisis data yaitu sebagai berikut:

a). Data Reduction (Reduksi Data)

            Mereduksi data berarti mengurangi informasi berarti menyimpulkan, memilih hal-hal utama, memusatkan perhatian pada hal-hal penting, mencari topik dan contoh. Oleh karena itu, informasi yang telah dikurangi memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memudahkan analis untuk memimpin pengumpulan informasi lebih lanjut dan mencarinya saat diperlukan. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang terpenting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

b). Data Display (Penyajian Data)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

c). Conclusion Drawing (Verifikasi)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Tujuan yang diangkat pada tahap dasar didukung oleh bukti yang substansial dan dapat diandalkan ketika spesialis kembali ke lapangan untuk mengumpulkan informasi, sehingga tujuan tersebut valid, mengingat fakta bahwa seperti yang telah diungkapkan bahwa definisi yang sulit dalam pemeriksaan subjektif adalah masih bersifat sementara dan akan tercipta setelah eksplorasi di lapangan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, (Jakarta: Sinar Grafika 2010)

 

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)

 

Agus Santoso, “Karakter Khusus Ketentuan Hukum Dalam Sistem Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 1, Jakarta :Renika Cipta, 2003)

 

Andi Kurniawan, “Peran Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas jasa Keuangan Terhadap Penanganan dan Penyelesaian Bank Perkreditan Rakyat Bermasalah”, skripsi Universitas Lampung, Fakultas Hukum, Tahun 2017

 

Annisa Vini Cahyati, “Jurnal ilmiah: Analisis Pengaruh Kepercayaan Terhadap Kesetiaan Nasabah Perbankan Syariah” No 2 / 2015

 

Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI. (Jakarta : Toha Putra, 2013)

 

Anwar, Manajemen aktiva pasiva bank non devisa. (Jakarta: Grasindo, 2013)

 

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Penelitian. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006)

 

Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)

 

Edward L. Symons, Jr. “The Bank-Customer Relation: Part I The Relevance of Contract Doctrine”, Banking Law Journal: 224.

 

Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan, dalam www.lps.go.id/in/web/, diunduh pada tanggal tanggal 25 maret 2022, pukul 13.00 WIB

 

Inda Rahadiyan, “Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal Berdampak Sistemik”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1 (23): 23. 2016

 

Irfan Fahmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada, 2014)

 

 

Ismail, Manajemen Perbankan – Dari Teori Menuju Aplikasi (Kencana Media Group 2010)

 

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan – Edisi Revisi 2014, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2014:3) DPP Perabrindo, ‘Sejarah Singkat Bank Perkreditan Rakyat BPR’ <http://www.perbarindo. or.id/sejarah-singkat-bank-perkreditan-rakyat-bpr/, 16 Maret 2017>accessed 9 Februari 2023.

 

Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara Independen, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2019)

 

M. Bahran, Buku Giro dan Bilyet Perbankan Indonesia (Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 2005)

 

Muhammad Zulfikar, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Disekitar Obyekwisata Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Universitas Lampung, 2016)

 

Peraturan Perundang-undangan NO. 66 Tahun 2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan dan Penjelasanya.

 

PERPU NO. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 dan Penjelasanya.

 

Pilar, 2004, Perbankan Tanpa Blanket Guarantee, No.VI/22-28 Desember 2003

 

Sahroni. Oni, Adiwarman A Karim, Maqashid Bisnis Dan Keuangan Islam Sintesis Fikih Dan Ekonomi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015)

 

Samsu Adi Nugroho, LPS, http://www.lps.go.id/web/guest/berita-dan-peristiwa, (22 Januari 2023)

 

Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi. Edisi Revisi, (Jambi:syari’ah Press IAIN STS,2014)

 

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Maju, 2012)

 

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015)

 

Tri Budiyono, “Penjamin Simpanan dari waktu ke waktu (Studi Penjaminan Simpanan di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, 3 (2): 130-131. 2019

 

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS Pasal 5

 

Undang-Undang Perbankan dan LPS, (Jakarta: Asa Mandiri, 2006)

 

Undang-Undang Perbankan, Jakarta: Asa Mandiri, 2006

 

Undang-Undang RI No. 24 tahun 2004, pasal 5 ayat (1) dan (2)

 

Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7. Sinar Grafika: 2007.

 

Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7. Sinar Grafika: 2007

 

Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Bandung: Citra Umbara, 2005

 

Utari, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta :Gramedia Pustaka, 1997)

 

Zaini, Zulfi Diane. Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, (Bandung: CV Keni Media, 2012)

 

Zulfi Diane Zaini, Independensi Bank Indonesia Dan Penyelesaian Bank Bermasalah, (Bandung: CV. Keni Media, 2012)

 

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002)

 

 

 

 

 

 



                [1] Ismail, Manajemen Perbankan – Dari Teori Menuju Aplikasi (Kencana Media Group 2010:2).

                [2] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan – Edisi Revisi 2014, (Raja Grafindo Persada 2014:3)

                [3]DPP Perabrindo, ‘Sejarah Singkat Bank Perkreditan Rakyat BPR’ <http://www.perbarindo. or.id/sejarah-singkat-bank-perkreditan-rakyat-bpr/, 16 Maret 2017>accessed 9 Februari 2023.

 

                [4]Zulkarnain Sitompul. 2002. Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 140

                [5] Edward L. Symons, Jr. “The Bank-Customer Relation: Part I The Relevance of Contract

Doctrine”, Banking Law Journal: 224.

[6] Inda Rahadiyan. 2016. “Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal Berdampak Sistemik”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1 (23): 23

                [7] Tri Budiyono. 2019. “Penjamin Simpanan dari waktu ke waktu (Studi Penjaminan Simpanan di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, 3 (2): 130-131

                [8] Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.. 23

[9] Adrian Sutedi, ibid. h.. 23

[10] Ibid. h.. 23

 

                [11] Adrian Sutedi. 2007. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 116

                [12] Sentosa Sembiring. 2012. Hukum Perbankan, Bandung: Mandar Maju, hlm. 253-254.

                [13] Samsu Adi Nugroho, LPS, http://www.lps.go.id/web/guest/berita-dan-peristiwa, (22 Juni 2016)

[14] Adrian Sutedi, Aspek Hukum., (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h..5

                [15] Adrian Sutedi, Ibid, 2010), h..6

                [16] Undang-Undang Perbankan dan LPS, (Jakarta: Asa Mandiri, 2006), h. 16

                 [17] Undang-Undang RI No. 24 tahun 2004, pasal 5 ayat (1) dan (2)…, h. 6

                 [18] Ibid, h.7

                [19] Ibid, h.20

[20]Pilar, 2004, Perbankan Tanpa Blanket Guarantee, No.VI/22-28 Desember 2003, h. 1

[21] aini, Zulfi Diane. Ibid, h. 201

                [22] Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Bandung: Citra Umbara, 2005, h.12

                [23] Ibid, h.13

                [24] Undang-Undang Perbankan, Jakarta: Asa Mandiri, 2006. h,3

                [25]Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Bandung: Citra Umbara, 2005. h.15

                [26] Ibid, h.16

                [27] Ibid, h.16

                [28] Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Bandung: Citra Umbara, 2005. h.15

[29] Adrian Sutedi, Aspek Hukum., (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h..5

                [30] Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7. Sinar Grafika: 2007. h.7

                [31] Peraturan Perundang-undangan NO. 66 Tahun 2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan dan Penjelasanya, h.23

                [32] Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara Independen, Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2019, h. 187.

                [33]Irfan Fahmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Alfabeta, 2014, h. 47.

                [34] Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, h.178.

                [35] Anwar, Manajemen aktiva pasiva bank non devisa. Jakarta: Grasindo, h.23

                [36] Utari, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka. Utama,. Jakarta, 1997.h.138

                [37] Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada, 2008, h.101

                [38] Manajemen Perkreditan Bank Umum. Penerbit Alfabet. Bandung, 2004, h.5





0 $type={blogger}:

Postingan Populer

Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Kota Jambi, Indonesia

Putra Muaro Bungo

Putra Muaro Bungo
Jadilah Diri Sendiri Tanpa Berharap Kepada Manusia

Simpel Aja

Simpel Aja

PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)

My Famili

SELAMAT DATANG DI

BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN

Arsip Blog

Pengikut

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Total Tayangan Halaman

TERIM KASIH

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG KAMI SEMOGA BERMANFAAT