BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran bank dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu negara sangat besar. Hampir di semua sektor usaha sangat membutuhkan bank
sebagai mitra dalam melakukan transaksi keuangan.[1]
Secara sederhan bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya
adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke
masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Sedangkan pengertian
lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana
atau kedua-duanya.[2]
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang dimaksud dengan bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
1 |
Landasan hukum BPR adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Undang-Undang tersebut secara tegas
disebutkan bahwa BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan
untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Bentuk
hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi.
Dukungan konstitusi terhadap BPR terdapat di dalam Pasal 33 ayat (4)
Undang-Undang Dasar bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan
asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”.
Beberapa daerah dapat ditemukan bank-bank
yang ditunjuk dalam rangka untuk meningkatkan kemajuan daerah, utamanya
disektor Perekonomian Daerah, baik yang didirikan oleh pihak swasta maupun
Pemerintah Daerah setempat. Adapun tujuan utama dari pendirian Bank Perkreditan
Rakyat adalah untuk membantu masyarakat, khususnya para pedagang atau pengusaha
golongan ekonomi rendah (kurang memiliki modal), agar dapat memenuhi permodalan
usahanya, dan tidak jatuh pada praktik renternir (lintah darat) karena praktik
tersebut pada dasarnya sama sekali tidak membantu kegiatan usaha para pengusaha
kecil, sebaliknya membuat usaha yang telah dijalankan pengusaha-pengusaha yang
memiliki modal ini tidak dapat berjalan lancar. Pengoperasian Bank Perkreditan
Rakyat memprioritaskan kegiatan usahanya, dengan memberikan kredit kepada
pedagang dan pengusaha golongan ekonomi lemah serta mendukung usaha menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito.
Bagi
masyarakat, kredit sangat
diperlukan dalam mendukung
dan mengembangkan usahanya, dimana dengan menggunakan dana kredit bisa
digunakan untuk pengadaan atau peningkatan berbagai faktor produksi baik berupa
tambahan modal kerja, bahan baku, perluasan pasar, peningkatan kemampuan sumber
daya manusia, sumber daya alam, teknologi dan lain sebagainya.
Setiap penyaluran kredit oleh kreditur
tentu mengandung resiko, karena adanya keterbatasan kemampuan manusia dalam
memprediksi masa yang akan datang, untuk itu bank harus merencanakan sedemikian
rupa dan berusaha untuk menekan resiko munculnya kredit bermasalah. Pihak bank
juga perlu menilai kelayakan usaha dari debitur dan juga diperlukan adanya
pengelolaan dan pengawasan, sehingga kesinambungan usaha perbankan tetap
terjaga. Dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat tidak keseluruhan dana yang
disalurkan tersebut dapat dikembalikan seluruhnya atau sebagaimana mestinya,
maka hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya kredit bermasalah.
Kredit
bermasalah dapat diartikan
sebagai ketidak sanggupan
debitur untuk melunasi pinjamannya kepada bank berupa angsuran pokok
dari pinjaman beserta bunganya, serta biaya lain dimana mengalami kegagalan
karena deviasi (penyimpangan) sehingga tidak sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati yang akhirnya dapat membawa kerugian kepada PT. BPR Batanghari
Kota Jambi.
Kredit bermasalah timbul tidak dengan
seketika melainkan secara bertahap dimana terjadi penurunan berbagai aspek yang
dimiliki debitur yang berakhir dengan ketidak mampuan debitur membayar kreditnya. Mencari penyebab kredit bermasalah
adalah sulit karena banyak faktor yang mempengaruhi baik yang bersifat intern
maupun ekstern. Faktor ekstern “berasal
dari luar perusahaan” seperti keadaan
ekonomi, persaingan, bencana alam dan dari debitur itu sendiri. Sedangkan
faktor intern “berasal dari dalam pihak perusahaan” seperti kesalahan penilaian
dalam pemberian kredit atau minimnya pengawasan dan pembinaan terhadap kredit
yang disalurkan. Kredit bermasalah merupakan disebabkan berbagai faktor yang
berkaitan satu sama lainnya, untuk itu harus segera mungkin mendapatkan
penyelesaian karena dapat menyebabkan terganggunya kondisi bank.
Perkembangan sistem perbankan Indonesia
telah berevolusi dalam lima tahap, yaitu: (1) tahap rehabilitasi dan perbaikan
dari inflasi tinggi tahun 1967-1973, (2) tahap pemberlakuan pagu aktiva neto
tahun 1974-1983, (3) tahap pertumbuhan dan tahap deregulasi tahun 1983-1988,
(4) tahap percepatan tahun 1988-1991, dan (5) tahap konsolidasi tahun
1991-1997.4 Pada tahun 1998, krisis finansial di wilayah Asia Tenggara telah
diikuti dengan krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Saat itu kondisi
perekonomian sangat mengkhawatirkan yang di antaranya terlihat banyaknya
bank-bank yang dilikuidasi, sehingga menimbulkan keresahan. Keresahan ini
memicu krisis kepercayaan yang besar di tengah masyarakat atas stabilitas dunia
perbankan. Dalam agenda pembangunan nasional
tahun 2004 sampai
dengan 2009, secara
politis dikatakan bahwa kondisi perbankan dan lembaga keuangan
lainya belum mantap. Lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap produk
perbankan dan keuangan yang semakin bervariasi dan kompleks, serta
mengantisipasi globalisasi perdagangan jasa
dan inovasi teknologi
informasi, telah meningkatkan
arus transaksi
keuangan masuk keluar Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat. Untuk itu
perlu diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Keberadaan suatu sistem
penjaminan simpanan yang diatur secara tegas dan disusun secara lengkap dan
meningkatkan kepercayaan pada
akhirnya memperkuat seluruh
sistem perbankan.[4]
Pentingnya
kepercayaan masyarakat terhadap
bank telah menciptakan hubungan
kepercayaan antara bank dengan nasabahnya menjadi penting. Hal
ini terjadi karena
bank memiliki status
yang unik ditengah masyarakat, selain
bank sebagai sandaran
suatu kepercayaan, bank
juga
menempati posisi khusus sebagai tempat yang aman.[5]
Resiko dalam konteks perbankan merupakan
suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated)
maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif
terhadap pendapatan dan permodalan bank. Untuk dapat menerapkan proses memantau
resiko, maka pada tahap awal bank harus secara tepat mengidentifikasi resiko
dengan cara mengenal dan memahami seluruh resiko yang sudah ada (inherent risks)
maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank, termasuk resiko yang
bersumber dari perusahaan terkait dan afiliasi lainnya. lainnya. Dalam
rangka mengatasi krisis
dan ancaman kehancuran
sistem perbankan, Pemerintah Indonesia telah menghentikan sistem
penjaminan berdasarkan blanket guarantee. Pelaksaan sistem penjaminan blanket
guarantee ini telah membebani dan menimbulkan moral hazard,
khususnya bagi pelaku perbankan. Sistem penjaminan blanket guarantee kemudian
diakhiri dan diganti dengan system penjaminan
limited guarantee melalui
pembentukan suatu lembaga
penjaminan yang diberi nama Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).[6]
Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah
LPS, yang merupakan suatu lembaga independen yang berfungsi untuk menjamin
simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang
Undang Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22
September 2004 (UU LPS). Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak
diundangkan sehingga pendirian
dan operasional LPS
dimulai pada 22 September 2005. Sejatinya, urgensi LPS
dirasakan oleh hampir semua negara. Pada
6 Mei 2002,
telah terbentuk The
International Association of
Deposit Insurers (IADI). IADI merupakan organisasi nirlaba yang
didirkan berdasarkan hukum Swiss dan bermarkas di Basel, Swiss. IADI memiliki
114 participating organization (90 members, 10 associates, dan 14 partners) dalam
rangka mendorong pengembangan penjaminan simpanan.[7]
Bank Pengkriditan Rakyat (BPR) Batanghari kota Jambi merupakan Bank Pengkreditan
Rakyat yang juga merupakan peserta dari Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS.
Dalam pra survey yang telah dilakukan sebelumnya ternyata Lembaga Penjamin
Simpanan turut andil dalam terhadap penanganan dan penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah.
Peneliti memilih BPR Batanghari kota Jambi
sebagai tempat penelitian karena sebagian besar nasabah bank belum mengetahui
apa itu Lembaga Penjamin Simpanan. Masyarakat terlihat masih awam dengan sistem
perbankan terutama tentang adanya LPS yang berperan besar dalam menjamin dana
nasabah penyimpan dana di bank.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang
berfungsi sebagai badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,
diharapkan mampu menjunjung modernisasi pedesaan dan memberikan pelayanan bagi golongan
ekonomi lemah / pengusaha kecil. Manajemen perkreditan pada dasarnya adalah
suatu proses yang terintegrasi antara sumber–sumber dana kredit, alokasi dana
untuk dijadikan kredit. Untuk dapat melaksanakan fungsi dengan baik, maka
kesinambungan usaha dan kesehatan Bank Perkreditan Rakyat perlu diupayakan
sejak pendiriannya. Disamping itu untuk dapat berkembang secara lebih baik,
Bank Perkreditan Rakyat perlu diberikan kesempatan yang lebih luas untuk tumbuh
dan berkembang dengan tetap memperhatikan prinsip kehati–hatian.
Berkenaan dengan adanya kredit bermasalah, Mahmoeddin (1995) menyatakan
sebagai berikut: ”Angka kredit macet yang cukup tinggi, merupakan macetnya
suatu produk bank. Jika macetnya produk bukan bank, maka hal ini akan mengancam
kelangsungan hidup perusahaan tersebut, yang memiliki para pemegang saham.
Sedangkan pada bank, masalahnya akan lain. Karena kredit macet tidak saja akan
merugikan para pemilik saham bank tersebut, tetapi juga akan merugikan para
pemilik dana. Yang sebagian besar adalah anggota masyarakat dari berbagai
lapisan dan tingkat kehidupan, yang dapat meresahkan masyarakat bahkan merusak
sendi perekonomian suatu Negara”.
Ketatnya persaingan antara bank saat ini
turut mendorong bank – bank di Indonesia untuk lebih giat dalam mengembangkan
usahanya baik peningkatan kualitas pelayanan maupun kualitas jasa. Tawaran
tawaran menggiurkan seperti hadiah uang atau barang sampai dengan bunga harian
bukanlah suatu hal yang mengherankan, tujuan utama yaitu menarik dana masyarakat
sebanyak–banyaknya kemudian menyalurkan kembali pada masyarakat luas dalam
bentuk kredit, usaha – usaha ini tidak hanya dilakukan oleh bank umum, tetapi
juga dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat dalam batas – batas kemampuannya
dan peraturan yang ada.
PT. BPR Batanghari kota Jambi merupakan
salah satu lembaga keuangan bank milik Perusahaan Daerah kota Jambi yang dalam
kegiatan operasionalnya memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat, pegawai
negeri sipil, pegawai swasta, kredit modal kerja dan jenis kredit lain yang
dapat dilayani dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat
banyak.
Pada dasarnya PT. BPR Batanghari kota Jambi
menghimpun dana berupa simpanan yang dilakukan masyarakat dalam bentuk tabungan
dan deposito. Hal ini dikarenakan adanya batasan pada usaha BPR itu sendiri
dimana BPR tidak diizinkan menerima simpanan dalam bentuk giro sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan didalam UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992. Jumlah
dana yang telah dihimpun dalam bentuk deposito dan tabungan bukan hanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaaan jumlah kredit, melainkan
digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan operasional bank yang pastinya akan
digunakan sebaik mungkin. Penyaluran dana berupa kredit merupakan salah satu bentuk
kegiatan utama bank yang tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya risiko
kerugian. Semakin besar jumlah kredit yang disalurkan, maka semakin besar
risiko yang menyertainya.
Risiko kredit perlu mendapat penanganan yang
tepat. Hal ini ikarenakan
risiko kredit merupakan risiko yang memiliki dampak terbesar bagi bank.
Risiko kredit ini berpotensi menjadikan sebuah kredit menjadi bermasalah atau
lebih sering disebut NPL (non performing loan). NPL akan berakibat pada
kerugian bank, yaitu kerugian karena tidak diterimanya kembali dana yang telah
disalurkan maupun pendapatan bunga yang tidak dapat diterima. Seluruh jumlah
kredit yang telah disalurkan kepada para debitur diharapkan mampu menjadi pendapatan terbesar
bagi PT. BPR Batanghari kota Jambi. Seluruh debitur diharapkan mampu
mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disetujui bersama. Akan tetapi meskipun analisis kredit telah dilakukan oleh
pihak bank, pada kenyataannya ketika kredit telah diberikan timbul berbagai
macam persoalan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal
maupun faktor eksternal.
Persoalan yang timbul tersebut berpengaruh
terhadap tingkat pengembalian/ kolektibilitas kredit sehingga dapat menyebabkan
terjadinya kredit bermasalah. Kredit bermasalah dapat diukur dari tingkat
kolektibilitasnya, merupakan persentase jumlah kredit bermasalah (dengan
kriteria kurang lancar, diragukan dan macet) terhadap total kredit yang
diberikan bank.
Dibawah ini merupakan kolektibilitas
kredit pada PT. BPR Batanghari kota Jambi dalam kurung waktu 3 tahun terakhir
2020 - 2022
Tabel 1
Kolektibilitas Kredit
PT. BPR Batanghari Kota Jambi
Tahun 2020 – 2022
No |
Kolektibility |
2020 |
% |
2021 |
% |
2022 |
% |
1 |
Kredit Lancar |
Rp.3.714.204.000 |
76,50 |
Rp.9.509.620.118 |
81,15 |
Rp.13.041.700.842 |
89,12 |
2 |
Kredit Kurang Lancar |
Rp.29.994.000 |
0,61 |
Rp.200.215.003 |
1,79 |
Rp.199.463.256 |
1,36 |
3 |
Kredit Diragukan |
Rp.358.510.116 |
7,38 |
Rp.334.695.905 |
2,99 |
Rp.43.571.102 |
0,29 |
4 |
Kredit Macet |
Rp.752.272.200 |
15,50 |
Rp.1.119.390.844 |
10,2 |
Rp.1.348.780.946 |
9,21 |
|
Total Kredit |
RP.4.854.980.316 |
|
Rp.11.163.921.870 |
|
Rp.14.633.516.146 |
|
Dari tabel 1, kredit lancar pada
tahun 2022 sebesar Rp. 13.041.700.842,-, kredit kurang lancar sebesar Rp. 199.463.256,-
, kredit diragukan sebesar Rp. 43.571.102,- dan kredit macet sebesar Rp.
1.348.780.946,-. Tabel 1 kolektibilitas kredit diatas dapat dilihat bahwa
perubahan persentase kredit yang paling signifikan terjadi pada kredit kurang
lancar, kredit diragukan yang meningkat dan kredit macet yang menurun. Oleh
karena hal tersebut, PT. BPR Batanghari kota Jambi harus segera menyelesaikan
kredit bermasalah guna untuk meminimalisir kerugian yang akan ditimbulkan.
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari kota Jambi.
Berdasarkan latar belakang tersebut
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai peran lembaga penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap
penanganan dan penyelesaian Bank pengkriditan rakyat bermasalah dalam
bentuk skripsi yang berjudul “Peran Lembaga Penjamin Simpanan dan
Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan dan Penyelesaian Bank Pengkriditan
Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR
Batanghari di Kota Jambi)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah
dalam penelitian ini penulis pokuskan pada bagaimana peran lembaga penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap
penanganan dan penyelesaian bank pengkriditan rakyat bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi.
C. Batasan masalah
Agar permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tidak
meluas maka batasan masalah dalam skripsi ini hanya pada peran lembaga penjamin simpanan
dan otoritas jasa keuangan terhadap penanganan dan penyelesaian bank
pengkriditan rakyat bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi.
D. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan
sebelumnya, maka menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana analisis kredit bermasalah
pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi?
2.
Apa saja kebijakan yang dilakukan pihak
bank untuk mengatasi kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi?
E. Tujuan penelitian
Berdasarkan lingkup masalah yang telah disebutkan di atas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui analisis kredit bermasalah pada PT. BPR Batanghari di kota Jambi
2. Untuk mengetahui kebijakan yang dilakukan pihak bank untuk
mengatasi kredit bermasalah pada PT.
BPR Batanghari di kota Jambi
F. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah:
1.
Sebagai penambahan wawasan pengetahuan
bagi peneliti tentang peran lembaga
penjamin simpanan dan otoritas jasa keuangan terhadap penanganan dan
penyelesaian bank pengkriditan rakyat bermasalah
2.
Sebagai bahan referensi bagi peneliti
selanjutnya yang tertarik dalam bidang yang terkait dengan penelitian ini.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu
menambah bahan referensi di perpustakaan Fakultas/Institut sebagai acuan dan
referensi bagi peneliti yang akan datang, dan sekaligus memperkaya lebih jauh
keilmuan di bidang perbankan Syariah
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini merupakan suatu pembahasan secara
garis besar dari bab-bab yang akan dibahas. Sistematika penulisan skripsi ini
adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan
landasan formatif penelitian, yang berisi latar belakang, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Landasan Teori Memuat tentang
teori-teori yang relevan yang menjadi acuan dalam penulisan, yang memuat
landasan teori mengenai Sejarah Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan,
Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan, Tujuan Pembentukan Lembaga Penjamin
Simpanan, Tugas, Fungsi Dan Wewenang
Lembaga Penjamin Simpanan, Kepesertaan Bank Dalam Penjamin LPS, Manfaat Adanya
LPS Terhadap Nasabah Dan Bank dan Kepercayaan Nasabah.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi
Penelitian berisi tentang metode penelitian, waktu dan lokasi penelitian, jenis
penelitian, subjek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data.
BAB IV: TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan
hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum bank Syariah Indonesia KC
Jambi Gatot Subroto yang memuat sejarah singkat Bank Syariah Mandiri, struktur
organisasi, serta produkproduk Bank mandiri Syariah dan pembahasan yang berisi
deskripsi hasil penelitian.
BAB V : PENUTUP
Merupakan
bagian penutup berisikan simpulan dan saran. Simpulan memberikan pemahaman
secara komprehensif hasil penelitian yang dilakukan peneliti dan atas dasar
tersebut maka akan melahirkan saran dan pengetahuan dari hasil peneliti.
|
LANDASAN TEORI
A. Peran Lembaga Penjamin Simpanan
1. Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS)
Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen,
transparan, dan akuntable dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS Pasal 2 ayat 3 Penjaminan nasabah
bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri
perbankan dan dapat meminimalisir risiko yang membebani anggaran negara.[8]
Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga independen yang
berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan yang ditetapkan paada 22 September 2004. Undang-Undang ini mulai
berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan, sehingga pendirian dan operasional
Lembaga Penjamin Simpanan dimulai pada 22 september 2005.[9]
Sebagai lembaga yang
menjamin simpanan nasabah, LPS sangat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan
bank baik secara individual maupun secara agregat. Untuk menjaga tingkat
kesehatan bank baik secara individual (micro prudential) maupun secara agregat
(macro prudential) diperlukan pengawasan perbankan yang efektif.[10]
13 |
Jadi dapat disimpulkan bahwa LPS adalah lembaga independen,
transparan, akuntable yang berperan menjamin simpanan nasabah penyimpan,
bertanggung jawab kepada presiden dan menteri keuangan serta turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya yang dalam
kebijakannya tidak dapat dicampurtangani oleh pihak manapun.
Pendirian LPS pada dasarnya dilakukan
sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap dua risiko, yaitu irrational
run terhadap bank dan systemic risk. Dalam menjalankan usaha, bank
biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk
berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara itu, bagian
terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan
ini menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar
dengan segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan
secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash
ini adalah karena bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah
disalurkannya.[11]
Peranan LPS dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah
penyimpan dana di perbankan, antara lain:
1.
Memberikan jaminan secara eksplisit bagi
nasabah penyimpan dana apabila bank dilikuidasi serta kedudukan nasabah tetap
terjamin.
Dengan adanya LPS, maka apabila
terdapat bank yang mengalami kesulitan usaha, kemudian dicabut izin usahanya
dan dilikuidasi, kedudukan nasabah tetap terjamin. Dengan kata lain, LPS
merupakan bentuk nyata dari adanya penjaminan dan perlindungan terhadap dana
simpanan masyarakat Keberadaan dan pembentukan LPS pada dasarnya berkaitan
dengan penyelesaian dan penanganan bank gagal.
2.
Lebih mengutamakan kepentingan nasabah
kecil penyimpan dana (small
depositors) sehingga terlebih dahulu
terjamin keamanan dananya.
Nilai yang dijamin diharapkan dapat
melindungi seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan
sebagian besar nasabah bank di Indonesia. Di sisi lain, pembentuk undang-undang
juga memberikan ruang kepada pemerintah untuk mengatur besarnya nilai jaminan
sesuai dengan perkembangan zaman.[12]
Pembentukan
Lembaga Penjamin Simpanan dapat menimbulkan moral hazard, sehingga harus
dilakukan dengan tepat dan hati-hati. LPS bukanlah “panacea” tetapi juga
tidak ada pilihan lain yang dapat menyediakan “panacea.” Singkat kata,
Lembaga Penjamin Simpanan merupakan sesuatu yang diperlukan tetapi tidak cukup
(necessary but not enough) dalam memecahkan persoalanpersoalan perbankan.
Pengawas bank harus berani bertindak tegas terhadap pengurus bank yang
mengelola banknya secara sembrono. Fit and proper test terhadap pengurus
dan eksekutif bank juga harus dilakukan dengan ketat agar mencegah masuknya
individu yang tidak bermutu ke dalam industri perbankan.
Sebagai
ilustrasi, perkara Stanley R. Hendrickson v. Federal Deposit Insurance
Corporation (FDIC) dapat dijadikan pedoman mengenai ketegasan yang harus
dimiliki pengawas bank. Dalam perkara ini, FDIC digugat oleh pengurus bank yang diberhentikannya. Permasalahannya
berkaitan dengan Ps. 6050I Internal Revenue Code yang mewajibkan setiap pelaku
usaha (businesses) mengisi dokumen yang dikenal dengan Form 8300 apabila
menerima uang tunai lebih dari USD 10.000 untuk satu transaksi. Pada tahun
1993, Stanley Hendrickson, Presiden Randolph County Bank of Winchester
Indiana (Bank) dinyatakan bersalah karena dengan sengaja tidak mengisi form
8300 pada waktu berkerja di perusahaan saudaranya, Silver Towne. Pada tahun
1992, Hendrickson berhenti bekerja pada Silver Towne dan menjadi presiden Bank,
tempat dimana Hendrickson sebelumnya bekerja yaitu dari tahun 1962 sampai tahun
1985.
Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat
penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industry perbankan sangat mempengaruhi
stabilitas perekonomian secara keseluruhan.[13]
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam
Indonesia, yang ditanda tangani dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan
menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada system perbankan. Untuk
mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan
diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajibab pembayaran bank, termasuk
simpanan masyarakat (blanket guarantee).
Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum Dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun
1998 Tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.[14]
Dalam pelaksanaannya, blanked
guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap
industry perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas
menyebabkan timbulnya moral hazard baik
dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.[15]
Selain itu, dalam blanket
guarantee, terdapat tiga permasalahan utama yag akan dihadapi sistem
perbankan, pertama, adalah ketidakjelasan
tentang siapa yang dilindungi masyarakat deposan atau bankir? Kedua, akan selalu muncul ketidakjelasan
profesionalan dalam pengelolaan bank, tanggung jawab manajemen bank cenderung
rendah serta yang ketiga, resiko
kerugian Negara akan cenderung tinggi. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah
secepatnya meninggalkan system blanket
guarantee ini dan menggantikannya dengan merealisasikan Lembaga Penjamin
Simpanan, yang di Negara lain seperti Amerika , Kanada, Filipina Korea, Jepang
dan Taiwan disebut sebagai Deposit Insurance Coorporation atau di Inggris
disebut sebagai Departemen Protection
Fund, sedangkan di India disebut sebagai Deposit Insurance and Credit Guarantee Coorporation.[16]
Realisasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Tersebut sesuai
dengan amanat Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi :
1.
Setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan
2.
untuk menjamin simapanan masyarakat pada
bank, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.[17]
Penjelasan ayat (2), menyebutkan Pembentukan Lembaga Penjamin
Simpanan diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah sekaligus
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Dalam menyelenggrakan
penjaminan simpanan dana masyarakat pada bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat
menggunakan: (a) skim dana bersama,
(b) skim asuransi, dan (c) skim lain yang disetujui Bank Indonesia.[18]
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa
aman bagi nasabah penyimpanan serta menjaga stabilitas system perbsnksn,
program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan
system penjaminan yang terbatas. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 Tentang Perbakan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan
sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Kebijakan ini
meberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada nasabah
penyimpan (deposan) dan kreditor dalam dan luar negeri. Tujuannya, untuk
mencegah kehancuran system perbankan akibat terjadinya rush yang dipicu oleh dilikuidasinya 16 bank pada November 1997.
Likuidasi 16 bank yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap industry bank, ternyata justru mengakibatkan keadaan yang
sebaliknya. Kekhawatiran akan terjadinya likuidasi bank berikutnya dan tidak
adanya program penjaminan simpanan telah menyebabkan kepanikan masyarakat atas
keamanan dana nya di perbankan. Kondisi ini, meneybabkan kepercayaan masyarakat
pada bank-bank nasional runruh.[19]
Terjadinya rush ini ditandai dengan meningkatnya
jumlah uang kartal yang dipegang masyarakat. Berdasarkan data Bank Indonesia
uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp.24,9 triliun pada
akhir Oktober 1997 menjadi Rp.37,5 triliun pada akhir Januari 1998, dan jumlah
ini terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998, sehingga
mencapai Rp45,5 triliun. Ada beberapa hal positif yang dapat di capai dengan
dihapuskannya program blanket guarantee.
Pertama, mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah.[20]
Kedua,
meminimalkan moral hazard (aji mumpung) bagi pemilik
dan pengelola bank, dan ketiga, eningkatkan disiplin pasar. Negatifnya adalah
ketiadaan program ini dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap industri
perbankan. Lemahnya kepercayaan masyarakat akan mudah memicu terjadinya rush, suatu situasi yang sangat
menakutkan industry perbankan dan otoritas moneter.[21]
Sebagai pengganti program blanket
guarantee pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang
Lembaga Penjamin Simpanan Kepada DPR. Melalui Rancangan Undang-Undang ini akan
di bentuk suatu lembaga independen yang disebut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
yang berfungsi menjamin simpanan masyarakat yang ada pada industry perbankan.
Secara konsep, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah program penjaminan mirip
dengan yang dilakukan oleh Federal
Deposit Insurance Corporation (FDIC) yang berlaku di Amerika Serikat. [22]
Terhadap dua perbedaan mendasar antara jaminan yang diberikan
oleh program blanket guarantee dan
jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pertama, dalam hal cakupan. Kedua,
besarnya jumlah yang dijamin. Blanket
guarantee menjamin hampir seluruh kewajiban bank dengan jumlah jaminan
tanpa batas (the sky is the limits). Adapun
jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya mencakup simpanan
masyarakat pada bank (deposan) dengan jumlah maksimal tertentu. Secara retorika
yang dijamin adalah nasabah kecil dengan alasan memberikan jaminan kepada
nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggung jawab dipandang merupakan
suatu pendekatan yang adil dan tepat. Dalam rancanga Undang-Undang, diusulkan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin simapanan maksimal sampai jumlah
Rp2miliar.[23]
Alasan memberikan jaminan kepada nasabah penyimpan dana
nasabah adalah mengingat menyimpan dana dibank dapat dikatakan merupakan salah
satu bentuk partisipasi masyarakat luas dalam upaya pembangunan. Akan tetapi,
seringkali posisi penyimpanan dana terutama penyimpanan yang kecil terhadap
bank agak lemah. Penyimpanan dana seringkali kurang memperhatikan perjanjian
atau syarat-syarat simpanan uang pada bank,tetapi lebih sering memperhatikan
tingkat suku bunga atau undian-undian yang ditawarkan oleh bank. Khusus
tabungan, umumnya masyarakat yang berpenghasilan rendah, dalam memperjuangkan
haknya sering kurang berhasil dengan baik. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah
dalam menyelesaikan hak-hak penyimpan dana pada suatu bank yang dilikuidasi
seringkali tidak memuaskan. Uang milik penyimpan telah dibawa lari oleh
pengurus bank, sedangkan sisa kekayaan bank tidak cukup untuk mengembalikan
dana nasabah yang telah dilarikan pengurus dana atau pemilik bank tersebut.
Tambahan pula, proses pengembalian dana nasabah juga memakan waktu yang cukup
lama karena menunggu dapat dicairkannya asset bank yang dilikuidasi. [24]
Secara teoritis
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan menggantikan blanket guarantee adalah salah satu komponen financial safety net. Financial
safety net umumnya terdiri atas peraturan kehati-hatian (prudential regulation), pengawasan, lender of last resort, dan Lembaga
Penjamin Simpanan. Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dimaksudkan untuk
meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap industry perbankan dan bertujuan
untuk: Pertama, menurunkan
kemungkinan terjadinya rush; Kedua, melindungi nasabah penyimpanan
kecil yang secara sosial dan politil tidak dapat menanggung akibat kebangkrutan
bank; dan Ketiga, menyediakan jalan
agar biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat diminimalkan.
Singkat kata, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan mekanisme untuk
mempermudah bank bermasalah dilikuidasi.[25]
Satu hal yang
penting diperhatikan adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bukan panacea. System ini juga memiliki
kelemahan sendiri. Presiden Franklin Delano Roosevelt pada saat pendirian Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC)
mengingatkan: The minute the government starts
to do that…the government runs into probable loss. Beliau kemudian
menambahkan: we do not wish to make the
United States government liable for mitakes and errors of individual banks, and
put a premium on unsound banking in the future. Untuk itu system ini harus
didampingi dengan tiga pilar, yaitu pengawasan, internal governance, dan disiplin pasar. [26]
Pengawasan yang dilakukan oleh bank sentral harus dilengkapi
dengan disiplin internal dari perbankan dan disiplin eksternal (pasar). Tanpa
disiplin tersebut, pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan
liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrument konsumen
keuangan. Dengan melibatkan internal governance,
berarti perbakan sendiri harus merupakan tempat terbaik dalam mengatur dan
memelihara praktik manajemen yang sehat.
Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah mensahkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan, suatu lembaga
independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
dalam memelihara stabilitas system perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak
tanggal tersebut Lembaga Penjamin Simpanan resmi beroperasi.[27]
2. Tujuan Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan
Dibentuknya lembaga penjamin simpanan
bertujuan untuk menumbuhkan kembali rasa aman masyarakat untuk bertransaksi
dengan bank dalam hal simpanan sehingga muncul kembali rasa kepercayaan mereka
terhadap bank. Maksud dan tujuan dibentuknya LPS menurud UU No.24/2004 adalah
untuk menyempurnakan program penjamin simpanan nasabah bank dalam rangka
mendukung system perbankan yang sehat dan stabil guna menunjamg terwujudnya
perekonomian nasional yang stabil dan tangguh.[28]
Krisis moneter dan perbankan yang
menghantam indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank
yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan nasabah pada sistem
perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi pemerintah mengeluarkan bebrapa
kebijakan diantaranya memberikan kebijakan jaminan atas seluruh kewajiban
pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat.
Hal ini ditetapkan pada keputusan presiden nomor 26 tahun
1998 tentang “jaminan terhadap pembayaran perkreditan rakyat” Dibentuknya
lembaga penjamin simpanan bertujuan untuk menumbuhkan kembali rasa aman
masyarakat untuk bertransaksi dengan bank sehingga dapat kembali meningkatkan
kepercayaan masyarakt tentang bank pengkreditan rakyat maupun bank-bank lain.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam
Indonesia, ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya
tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis
yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan
jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat
(blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam keputusan presiden nomor 26 tahun
1998 tentang jaminan terhadap kewajiban Pembayaran Bank Umum dan keputusan
Presiden nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Perkreditan Rakyat. Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.[29]
Realisasi pendiri Lembaga Penjamin Simpanan tersebut sesuai
dengan amanat Pasal 37B Undang-Undng Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
a.
Setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
b.
Untuk menjamin simpanan masyarakat pada
bank, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.[30]
Akhirnya setelah satu
dekade, pada tanggal 22 September 2004, pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga penjamin Simpanan.
Undang-Undang ini mulai berlaku efektif sejak Tanggal 22 September 2005, dan
sejak tanggal tersebut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) resmi beroperasi.
Realisasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan tersebut
bertujuan untuk menjamin simpanan masyarakat yang disimpan pada bank yang
bersangkutan dan untuk memberikan kepercayaan serta rasa aman masyarakat pada
bank sesuai dengan amanat Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Syarat-syarat suatu pinjaman dapat di
jamin oleh lembaga penjamin simpanan. Selain memenuhi besaran nilai simpanan yang
dijamin, nasabah juga perlu memenuhi syarat-syarat sebagi berikut
a.
Simpanan nasabah tercatat dalam
pembukuan bank
b.
Nasabah tidak memperoleh bunga simpanan
yang melebihi timgkat bunga wajar yang di tetapkan oleh LPS dan nasabah tidak
menerima yang tidak wajar dari bank; dan
c.
Nasabah tidak melakukan tindakan yang
merungikan bank, misalnya memiliki kredit macet dibank tersebut.[31]
3. Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat
1, Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam undangundang tersebut. Otoritas Jasa Keuangan adalah
lembaga negara yang dibentuk berdasarkan pada UU Nomor 21 Tahun 2011 yang
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintregasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.[32]
OJK adalah institusi yang bukan hanya menyandang independen, berdiri
sendiri, namun wewenangnya juga berbeda dengan wewenang lembaga sebelumnya
yakni Bank Indonesia yang selama ini tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
penyidikan, namun OJK memiliknya. Selain hal tersebut, OJK juga
memiliki kewenangan untuk memungut fee dari lembaga keuangan yang diawasinya.
Fee tersebut akan digunakan sebagai biaya operasional lembaga yang baru lahir
tersebut. Dalam masa transisi ini, pada tanggal 1 Januari 2013 OjK akan mulai
dengan tugasnya untuk mengawasi lembaga keuangan non bank dan baru mulai 1
Januari 2014 akan memulai tugas untuk mengawasi perbankan di Indonesia.Pada
tahun 2013 anggaran operasional akan dialokasikan dari APBN, baru mulai 1
Januari 2014 biaya operasional lembaga tersebut akan dipungut dari lembaga
keuangan yang diawasinya. Sungguh suatu hal yang menarik, sebuah lembaga yang
dikatakan independen menarik fee (iuran) dari lembaga yang diawasinya. Selama
ini pengawasan perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia dengan anggaran untuk
keperluan tersebut seluruhnya atas beban Bank Indonesia tanpa memungut dari
lembaga perbankan dan juga tidak dialokasikan dari APBN.
Sehubungan dengan sistem baru kinerja institusi keuangan di
Indonesia yang nota bene adalah salah satu pilar sistem keuangan dan
perekonomian bangsa yang harus dijaga dan tegak berdiri agar tidak menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Halhal yang perlu dicermati
terkait dengan lahirnya lembaga baru tersebut khususnya pada masa transisi
penyerahan tugas-tugas tersebut antara lain terkait: wewenang penyidikan,
pungutan(fee), sarana dan prasarana, acuan sistem kerja (best practise)
lembaga tersebut dengan lembaga-lembaga yang ada di negara lain.[33]
Secara umum, dapat dikatakan
bahwa Otoritas Jasa Keuangan didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK
untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap lembaga keuangan seperti
perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan
asuransi. Sebelum ada OJK, pengawasan industri keuangan berjalan secara
terpisah dibawah dua regulator, yakni Bank Indonesia dan Bapepam-LK yang mengawasi
pasar modal dan industri keuangan non-bank. Tugas pengawasan industri keuangan
nonbank dan pasar modal yang dulu di Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK secara
resmi beralih ke OJK pada tanggal 31 Desember 2012.Sedangkan pengawasan di
sektor perbankan beralih ke OJK pada tanggal 31 Desember 2013 dan Lembaga
Keuangan Mikro pada tahun 2015.
Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011
tentang OJK menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun
maysrakat. Dengan pembentukan OJK, maka lembaga ini diharapkan dapat mendukung
kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan
daya saing perekonomian. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan
nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian,
dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek
positif globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata
kelolayang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
transparansi, dan kewajaran (fairness).[34]
4. Penyelesaian Bank Bermasalah
a. Kredit Bermasalah (Non Performing Loan)
Kredit bermasalah pada umumnya merupakan
kredit yang pembayaran angsuran pokok dan atau bunganya telah lewat sembilan puluh
hari lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat
waktu sangat diragukan. Kredit bermasalah atau non performing loan dapat
diartikan juga sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat
adanya faktor kesengajaan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan
debitur yang dapat di ukur dari kolektibilitasnya. Kolektibilitas
merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga pinjaman serta tingkat
kemungkinan di terimanya kembali dana yang di tanam dalam surat-surat berharga.
Menurut Leon dan Ericson, (2007:95) Non Performing Loan
adalah kredit yang kategori kolektibilitasnya di luar kolektibilitas kredit
lancar dan kredit dalam perhatian khusus. Berarti kredit bermasalah mencakup
kredit kurang lancar, diragukan dan macet.[35]
Pentingnya penyelesaian bank
bermasalah didasarkan pada alasan bahwa bank yang berada dalam keadaan insolven
dan bila dibiarkan terus beroperasi berpeluang melakukan kegiatan berisiko
tinggi dengan maksud memperoleh keuntungan besar. Tindakan seperti itu dapat
mengakibatkan kerugian bagi nasabah penyimpan dan kreditor bank lainnya. Namun
beberapa pertanyaan mendasar akan dikemukakan terlebih dahulu sebagai bagian
dari pembahasan topik ini, yakni:
1). Apakah industri perbankan telah melakukan tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance) serta pengawasan dan pembinaan
sehingga tidak terjadi moral hazard?
2). Krisis Moneter di Indonesia tahun 1997 melahirkan “blanket
guarantee” (penjaminan pemerintah) untuk para nasabah, yang sekarang menjadi
program penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (limited guarantee).
Bagaimana pengaruh Lembaga Penjamin Simpanan dalam meningkatkan rasa aman
terhadap dana nasabah penyimpanan dibandingkan dengan era blanket guarantee?
Dan bagaimana mengefektifkannya?
3). Bagaimana pengaruh perkembangan ekonomi global dan pasar
bebas terhadap keberadaan industri perbankan Indonesia umunya dan Lembaga
Penjamin Simpanan khususnya?
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kredit macet.
1). Karakter Nasabah
Karakter merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari
orang-orang yang akan di berikan kredit benar-benar harus dapat di percaya.
Untuk membaca watak atau sifat dari calon debitur dapat di lihat dari latar belakang
nasabah, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat
pribadi. Dari sifat dan watak ini dapat di jadikan suatu ukuran tentang
“kemauan” nasabah untuk membayar.
2). Jangka Waktu Pinjaman
Pada umumnya jangka waktu kredit merupakan cerminan dari resiko kredit
yang mungkin muncul. Jangka waktu pinjaman adalah waktu yang di berikan oleh
pihak bank kepada debitur untuk mengembalikan pokok dan bunga pinjaman. Makin
panjang jangka waktu kredit, makin tinggi resiko yang mungkin muncul, maka
bank pun akan membebankan bunga yang lebih tinggi di bandingkan dengan kredit
jangka pendek.[36]
b. Kemampuan Mengelola Kredit
Menurut Kasmir dalam bukunya Dasar-Dasar
Perbankan (2008:101), dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya
“percaya”. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit bahwa
kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan
bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban
untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh
karena itu, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya,
maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan analisis kredit.[37]
Kredit menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga. Dalam mengelola hutang atau kredit
dari untuk kegiatan usahanya setiap nasabah memiliki kemampuan mengelola yang
berbeda-beda. Yang di maksud dengan kemampuan mengelola kredit di sini adalah kemampuan
dalam mengelola usahanya setelah mendapatkan dana pinjaman. Dengan jangka waktu
pinjaman yang berbeda-beda maka akan menyebabkan adanya perbedaan pendapatan
yang di peroleh dalam kegiatan usahanya.
Semakin baik kemampuan dalam mengelola usahanya maka akan menghasilkan
pendapatan yang besar dari usahanya sehingga kemampuan nasabah dalam membayar
angsuran akan berjalan dengan lancar dan sebaliknya jika semakin buruk
kemampuan dalam mengelola usahanya maka kemampuan nasabah dalam membayar angsuran
tidak bisa berjalan dengan lancer karena pendapatan yang di hasilkan dari
usahanya akan mengalami pasang surut atau tidak bisa di pastikan.
Pemberian suatu
fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai yang tentunya
tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Tujuan pemberian kredit juga tidak
akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan. menurut H. Rachmat Firdaus dalam bukunya
Manajemen Perkreditan (2004:5) adalah pemenuhan jasa melayani kebutuhan
masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dan melancarkan
perdagangan, produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada
akhirnya ditujukan untuk menaikkan taraf hidup rakyat banyak.[38]
B. Studi Relevan
Sebagai
peneliti untuk mengetahui posisi penelitian yang dilakukan penulis, berikut ini
adalah beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu:
No |
Judul |
Hasil |
Perbedaan |
1 |
Peran Lembaga Penjamin Simpanan dan
Otoritas jasa Keuangan Terhadap Penanganan dan Penyelesaian Bank Perkreditan
Rakyat Bermasalah |
Hasil penelitian menunjukan bahwa
peran penjamin simpan dan otoritas keuangan terhadap nasabah kantor OJK
Bandar Lampung pada Penyelesaian Bank Perkreditan Rakyat Bermasalah dapat
teratasi dengan baik dengan memberikan kenyamanan simpan pinjam serta
merpbaiki sistem yang ada pada kebijakan kantor OJK Bandar Lampung |
Pada penelitian ini terdapat perbedaan
dan juga persamaan. perbedaannya yaitu tempat penelitian yang dilakukan oleh
peneliti terdahulu yaitu di Kantor OJK
Bandar Lampung sedangkan peneliti meneliti di BPR Batanghari kota Jambi. Selain itu peneliti terdahulu
meneliti Peran LPS dalam penyelesaian kredit bermasalah sedangkan peneliti meneliti
berfokus pada Peran Lembaga Penjamin
Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan |
2 |
Analisis Pengaruh Kepercayaan Terhadap
Kesetiaan Nasabah Perbankan Syariah di Jakarta |
Hasil penelitian menunjukan bahwa
nasabah banyak yang belum memahami secara lebih mendalam tentang LPS,
karena kurangnya sosialisasi secara lisan dari pihak Perbankan Syariah di Jakarta
sehingga LPS belum berberan dalam meningkatkan kepercayaan nasabah. |
Pada penelitian ini perbedaan terletak
pada tempat penelitian yaitu pada penelitian terdahulu dilakukan di Jakarta,
sedangkan peneliti di BPR Batanghari
kota Jambi. Selain itu peneliti terdahulu meneliti terkait Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas
Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat
Bermasalah |
3 |
Peran dan Tanggung Jawab Lembaga
Penjamin Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal |
Hasil penelitian menunjukan bahwa
penanganan dan penyelamatan kantor LPS pusat dilaksanakan oleh LPS
dengan melakukan penyertaan modal sementara. Pada tahap akhir
proses penyelamatan, LPS melakukan divestasi atas saham kantor LPS pusat
selaku investor potensial melalui pembuatan perjanjian jual beli saham
bersyarat. |
Perbedaan terletak pada tempat
penelitian yaitu pada penelitian sebelumnya dilakukan di kantor LPS pusat,
sedangkan peneliti berfokus pada BPR
Batanghari kota Jambi. Selain itu peneliti terdahulu meneliti terkait
peran LPS dalam memberikan penanganan dan penyelamatan pada bank gagal
sedangkan peneliti tentang Peran
Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan
Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah |
4 |
Pengaruh Pemahaman Nasabah mengenai Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) dan Suku Bunga Simpanan terhadap Minat Nasabah dalam Menyimpan Dananya
pada Bank Mandiri Yogyakarta Cabang Universitas Negeri Yogyakarta |
Hasil dari penelitian adalah keseluruhan
variabel bebas yang terdiri dari Pemahaman Nasabah mengenai Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) dan Pemahaman Nasabah mengenai Suku Bunga Simpanan memberikan
pengaruh tidak signifikan terhadap Minat Nasabah dalam Menyimpan Dananya pada
Bank Mandiri Yogyakarta Cabang Universitas Negeri Yogyakarta |
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah
sama-sama melakukan penelitian tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).Sedangakan perbedaannya adalah dimana
penulis memfokuskan pada Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan
Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah, sedangkan penelitian
terdahulu memfokus pada Minat Nasabah dalam Menyimpan Dananya pada Bank Mandiri |
5 |
Pengaruh Pemahaman Nasabah tentang Tingkat Suku Bunga, Promosi,
dan Kualitas Pelayanan terhadap Minat Menabung Nasabah |
Hasil penelitian adalah keseluruhan variabel bebas yang terdiri
dari Tingkat Suku Bunga, Promosi, dan Kualitas Pelayanan memberikan pengaruh
signifikan terhadap Minat Menabung Nasabah pada Bank BRI Cabang Sleman |
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah
sama-sama melakukan penelitian tentang layanan Bank. Sedangkan perbedaannya adalah pada minat nasabah dalam
menabung |
|
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan alasan dimana metode ini dapat
digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena
yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan
serta sebagai upaya untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang telah dibentangkan,
karena sifatnya menggunakan penekatan analisis deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan pada kondisi objek yang alamiah, dan
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data
dilakukan secara purposive sample, yaitu pengambilan sampel dengan cara
memberikan ciri khusus yang sesuai tujuan penelitian.
Penelitian ini mendeskripsikan mengenai Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas
Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat
Bermasalah.
B.
Sumber Data
Adapun sumber data digunakan penelitian ini ada 2 yaitu:
primer dan skunder
1.
Data primer
Data
primer adalah data pokok yang digunakan dalam penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber manapun dari lokasi objek penelitian, atau keseluruhan
data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan.
31 |
2.
Data sekunder
Data sekunder adalah data
atau sejumlah keterangan yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui
perantara. Data ini bisa diperoleh dengan mengutip dari artiker atau sumber
lain. Pada data
sekunder, data-data diperoleh dari literatur-literatur atau bacaan yang relevan
dengan penelitian ini. Dan juga beberapa buku di perpustakaan, jurnal dan
perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang di teliti pada
skripsi.
C.
Teknik
Pengumpulan
Data Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data
yang akan dibutuhkan dari lapangan dengan menggunakan instumen-intrumen seperti
wawancara, disamping menggunakan instrumen dapat pula dilakukan dengan
mempelajari dokumentasi-dokumentasi atau catatan-catatan yang menunjang
penelitian.
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini maka
teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1.
Wawancara
Wawancara adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara.
Peneliti mewawancarai orang-orang yang akan diwawancari seperti nasabah bank
dan pihak BPR Batanghari di Kota Jambi.
Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur.
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti
atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang
akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpulan data
telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis
yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Setiap responden diberi
pertanyaan yang sama.
2.
Dokumentasi
Dokumentasi sebagai salah satu cara mencari data mengurai hal-hal atau
variabel-variabel yang merupakan catatan manuskrif, buku, surat kabar, majalah,
notulen rapat, prasasti, legger agenda dan sebagainya. Metode dokumentasi adalah
pengampulan data melalui data peninggalan tertulis seperti, arsip, dan termasuk
buku-buku tentang pendapat, teori, dan lain-lain yang berhubungan dengan
penelitian
yaitu tentang Peran
Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan
Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR Batanghari di Kota Jambi)
3. Metode Angket (Kuesioner)
Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada
responden untuk dijawabnya, dapat diberikan secara langsung atau melalui pos
atau internet. Jenis angket ada dua, yaitu tertutup dan terbuka. Kuesioner yang
digunakan dalam hal ini adalah kuesioner tertutup yakni kuesioner yang sudah
disediakan jawabannya, sehingga responden tinggal memilih dan menjawab secara
langsung.
Kuesioner ini ditujukan kepada nasabah BPR Batanghari
di Kota Jambi untuk mengetahui Peran Lembaga Penjamin Simpanan
Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan Penyelesaian Bank
Pengkriditan Rakyat Bermasalah.
. Untuk
mendapat jawaban kuesioner terhadap Peran
Lembaga Penjamin Simpanan Dan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Penanganan Dan
Penyelesaian Bank Pengkriditan Rakyat Bermasalah (Studi PT. BPR Batanghari di
Kota Jambi), peneliti menyebarkan beberapa angket yang berisikan
sejumlah butir pertanyaan untuk dijawan responden.
D.
Teknik
Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Teknik
pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif dalam bentuk deskriptif. Penelitian deskriptif dilakukan dengan
tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik
objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Dalam eksplorasi subjektif, tampilan informasi harus dimungkinkan
sebagai tabel, bagan, diagram lingkaran, pictogram, dan semacamnya. Melalui
pengenalan informasi, cenderung terkoordinasi, terorganisir dalam desain
hubungan, sehingga akan lebih jelas. Terlebih lagi, tampilan informasi harus
dimungkinkan sebagai penggambaran singkat, grafik, hubungan antara klasifikasi,
diagram alur dan semacamnya.
2. Analisis Data
Analisis
data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif yang
bertujuan untuk memberikan data dari variabel yang diperoleh sekelompok subjek
yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Setelah
mendapatkan informasi yang diperoleh dalam pemeriksaan ini, tahapan selanjutnya
adalah menangani informasi yang terkumpul dengan cara memecah informasi,
menggambarkan informasi, dan membuat kesimpulan. Untuk menguji informasi yang
telah diperoleh analis menggunakan strategi penyelidikan informasi subjektif,
karena informasi yang didapat merupakan kumpulan data. Langkah investigasi
informasi dimulai dengan menyiapkan semua informasi yang dapat diakses dari
berbagai sumber, khususnya melalui pemahaman, pertemuan, dan dokumentasi.
Adapun
langkah-langkah analisis data yaitu sebagai berikut:
a). Data Reduction (Reduksi Data)
Mereduksi data berarti mengurangi
informasi berarti menyimpulkan, memilih hal-hal utama, memusatkan perhatian
pada hal-hal penting, mencari topik dan contoh. Oleh karena itu, informasi yang
telah dikurangi memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memudahkan analis
untuk memimpin pengumpulan informasi lebih lanjut dan mencarinya saat
diperlukan. Mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang terpenting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya
bila diperlukan.
b). Data Display (Penyajian Data)
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori, flowchart dan
sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan teks bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka
akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
c). Conclusion
Drawing (Verifikasi)
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Tujuan yang diangkat pada tahap dasar didukung
oleh bukti yang substansial dan dapat diandalkan ketika spesialis kembali ke
lapangan untuk mengumpulkan informasi, sehingga tujuan tersebut valid,
mengingat fakta bahwa seperti yang telah diungkapkan bahwa definisi yang sulit
dalam pemeriksaan subjektif adalah masih bersifat sementara dan akan tercipta
setelah eksplorasi di lapangan.
Adrian Sutedi, Aspek Hukum
Lembaga Penjamin Simpanan, (Jakarta: Sinar Grafika 2010)
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan
Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Agus Santoso, “Karakter
Khusus Ketentuan Hukum Dalam Sistem Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan,
Vol. 1, Jakarta :Renika Cipta, 2003)
Andi Kurniawan, “Peran Lembaga
Penjamin Simpanan dan Otoritas jasa Keuangan Terhadap Penanganan dan Penyelesaian
Bank Perkreditan Rakyat Bermasalah”, skripsi Universitas Lampung, Fakultas Hukum,
Tahun 2017
Annisa Vini Cahyati, “Jurnal ilmiah:
Analisis Pengaruh Kepercayaan Terhadap Kesetiaan Nasabah Perbankan Syariah” No 2 / 2015
Anonim, Al-Qur’an dan
Terjemahan, Depag RI. (Jakarta : Toha Putra, 2013)
Anwar, Manajemen
aktiva pasiva bank non devisa. (Jakarta: Grasindo, 2013)
Arikunto, Suharsimi, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Penelitian. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006)
Chatamarrasjid Ais, Hukum
Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
Edward L. Symons, Jr. “The
Bank-Customer Relation: Part I The Relevance of Contract Doctrine”, Banking Law Journal: 224.
Fungsi Lembaga Penjamin
Simpanan, dalam www.lps.go.id/in/web/, diunduh pada tanggal tanggal 25 maret
2022, pukul 13.00 WIB
Inda Rahadiyan, “Peran dan Tanggung Jawab Lembaga
Penjamin Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal Berdampak
Sistemik”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1 (23): 23. 2016
Irfan Fahmi, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada, 2014)
|
Kasmir, Dasar-Dasar
Perbankan – Edisi Revisi 2014, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2014:3) DPP Perabrindo, ‘Sejarah Singkat Bank
Perkreditan Rakyat BPR’ <http://www.perbarindo. or.id/sejarah-singkat-bank-perkreditan-rakyat-bpr/, 16 Maret 2017>accessed 9 Februari 2023.
Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga
Negara Independen, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2019)
Muhammad Zulfikar, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Disekitar Obyekwisata Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan. Universitas
Lampung, 2016)
Peraturan Perundang-undangan NO.
66 Tahun 2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan dan Penjelasanya.
PERPU NO. 3 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 dan Penjelasanya.
Pilar, 2004, Perbankan Tanpa Blanket Guarantee,
No.VI/22-28 Desember 2003
Sahroni. Oni, Adiwarman A
Karim, Maqashid Bisnis Dan Keuangan Islam Sintesis Fikih Dan Ekonomi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015)
Samsu Adi Nugroho, LPS, http://www.lps.go.id/web/guest/berita-dan-peristiwa,
(22 Januari 2023)
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi. Edisi Revisi,
(Jambi:syari’ah Press IAIN STS,2014)
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar
Maju, 2012)
Sugiyono, Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015)
Tri Budiyono, “Penjamin Simpanan dari waktu ke
waktu (Studi Penjaminan Simpanan di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, 3 (2): 130-131. 2019
Undang-Undang Nomor 24 tahun
2004 tentang LPS Pasal 5
Undang-Undang Perbankan dan LPS,
(Jakarta: Asa Mandiri, 2006)
|
Undang-Undang RI No. 24 tahun 2004,
pasal 5 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998
Tentang Perubahan UU No. 7. Sinar Grafika: 2007.
Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998
Tentang Perubahan UU No. 7. Sinar Grafika: 2007
Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Bandung: Citra Umbara, 2005
Utari, Dasar-Dasar
Perkreditan, (Jakarta :Gramedia Pustaka, 1997)
Zaini, Zulfi Diane. Independensi
Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, (Bandung: CV
Keni Media, 2012)
Zulfi Diane Zaini, Independensi Bank Indonesia Dan Penyelesaian
Bank Bermasalah, (Bandung: CV. Keni Media, 2012)
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, (Jakarta:
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2002)
[3]DPP Perabrindo, ‘Sejarah Singkat Bank Perkreditan Rakyat BPR’ <http://www.perbarindo. or.id/sejarah-singkat-bank-perkreditan-rakyat-bpr/, 16 Maret 2017>accessed 9 Februari 2023.
[4]Zulkarnain
Sitompul. 2002. Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 140
[5] Edward
L. Symons, Jr. “The Bank-Customer Relation: Part I The Relevance of Contract
Doctrine”,
Banking Law Journal: 224.
[6] Inda Rahadiyan. 2016. “Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal Berdampak Sistemik”,
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1 (23): 23
[7] Tri
Budiyono. 2019. “Penjamin Simpanan dari waktu ke waktu (Studi Penjaminan Simpanan di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, 3 (2): 130-131
[9] Adrian Sutedi, ibid. h.. 23
[10] Ibid. h.. 23
[11]
Adrian Sutedi. 2007. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 116
[14] Adrian Sutedi, Aspek Hukum.,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h..5
[20]Pilar, 2004, Perbankan Tanpa Blanket Guarantee, No.VI/22-28 Desember 2003, h. 1
[21]
aini, Zulfi Diane. Ibid, h. 201
[22]
Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Bandung: Citra Umbara, 2005, h.12
[25]Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Bandung: Citra Umbara, 2005. h.15
[28] Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Bandung: Citra Umbara, 2005. h.15
[29] Adrian Sutedi, Aspek Hukum.,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h..5
[31] Peraturan Perundang-undangan NO. 66 Tahun
2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan dan Penjelasanya, h.23
[32]
Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara Independen, Yogyakarta: CV. Budi
Utama, 2019, h. 187.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar