BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pondok pesantren adalah sistem
pendidikan Islam yang lahir sejak awal kedatangan Islam di Nusantara. Dalam
babakan sejarahnya, pesantren telah banyak menjadi objek penelitian para
cendekiawan yang ingin mempelajari Islam di wilayah ini, yaitu sejak Brumund
menuliskan buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun 1857.[1]
Pondok
pesantren merupakan pusat pendidikan Islam, dakwah dan pengabdian masyarakat
yang tertua di Indonesia. Lembaga Pondok Pesantren dikenal memiliki sistem
pendidikan dengan ciri-ciri dan karakteristik yang khas. Keberadaannya sampai
sekarang masih berdiri kokoh di tengah-tengah masyarakat dan terus berkembang,
dengan menampakkan kebhinekaan dan kemandirian. Seiring dengan proses
Islamisasi di Indonesia menyisakan beberapa problem mendasar, salah satunya
yaitu terkait isu kesetaraan gender.
Hal
ini sering terlihat pada adanya kesenjangan akses, partisipasi, peran dan
tanggungjawab yang dimiliki pelajar (santri) putra dan putri, baik pada aspek
pengambilan kebijakan, sistem manajerial, pembelajaran, bahan ajar, maupun
pemanfaatan fasilitas yang tersedia. Akibatnya, output santri putra memiliki
potensi lebih besar untuk memainkan peran publik di tengah tengah masyarakat.
Kesenjangan tersebut juga berdampak pada kelangkaan ulama perempuan yang
kontribusinya sangat dibutuhkan, terutama dalam hal upaya peningkatan
pemberdayaan perempuan untuk mencapai Milenium Development Goals (MDGs) dan
mengatasi adanya isu-isu gender khususnya di kalangan masyarakat Muslim. Seiring
dengan perkembangan zaman sehingga menyebabkan terjadinya perdebatan di
kalangan ulama klasik mengenai konsep sunnah dan hadis, para pakar hadis modern
juga memperdebatkan antara konsep living sunnah (living tradition) dan living
hadis (living hadith).
Muhammad
Mushthofa Azami mendefinisikan living sunnah adalah kesepakatan kaum muslimin
tentang praktik keagamaan. Living hadis adalah kajian atau penelitian ilmiah
tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran atau keberadaan
hadis di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari sana, maka akan terlihat respon
sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan menghidup-hidupkan
teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan.
Living
hadis dapat dimaknai juga sebagai gejala yang nampak di masyarakat berupa
pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW. Pola-pola
perilaku di sini merupakan bagian dari respons umat Islam dalam interaksi
mereka dengan hadis-hadis Nabi.
Modern ini, pendidikan banyak yang
mempunyai pandangan
berbeda tentang
pemahaman ajaran-ajaran yang mengakar di masyarakat
dalam beberapa dekade, semua itu tidak lain karena perkembangan zaman
yang ada. Relevansi pendidikan terhadap perkembangan zaman
harus
representatif, karena jika tidak dilakukan inovasi semua pendidikan yang
mapan tersebut terkesan monoton dan kurang tepat guna bagi para peserta didik yang mempelajari ajaran yang disediakan
oleh instansi terkait.
Salah satu pendidikan yang
disoroti akhir-akhir ini adalah tentang
penyetaraan perempuan dalam hak
dan peran sosial.
Patriarki kaum Adam dan subordinasi kaum Hawa merupakan contohnya, tidak memandang
sejauh mana kemajuan peradaban di zaman serba sentuhan
tangan ini.[2]
Potret pendidikan Islam
di
Indonesia juga tidak luput dengan
pendidikan yang
mendiskreditkan kaum Hawa, seperti adanya hadis yang ditafsirkan secara misoginis, sehingga banyak di antara perempuan yang enggan untuk meneruskan pendidikan
lebih tinggi, dengan
anggapan
sumbangsih pendidikan bagi mereka
kurang penting. Di sisi lain orang tua
yang kurang
berpendidikan juga
mengajarkan
secara turun-temurun tentang posisi
perempuan dalam sebuah keluarga dan tugas-tugas yang
harus dilakukannya. Perempuan, menurut para orang tua tidaklah lebih
dari sekedar pelayan laki-laki di
dalam menjalankan roda
keluarga, sehingga kontribusi ide-idenya kurang penting.
Pondok pesantren
sebagai landasan pendidikan
agama, merupakan lembaga pendidikan yang syarat ajarannya dengan al-Qur’an dan al-Hadis, sehingga ada indikasi
pembelajaran hadis yang ditafsirkan secara misoginis. Akan
tetapi ada juga beberapa pondok pesantren yang mencoba untuk melestarikan hadis-hadis yang
dulunya berbau misoginis, salah satunya
yaitu Pondok Pesantren Azzakariyah, di situ
para santri mengkaji dan mereinterpretasi hadis yang
ditafsirkan secara misoginis, karena menurut al-Ghazali hadis bisa berubah
statusnya sesuai dengan kedudukannya.[3]
Salah satu kitab yang
dikaji untuk mendalami
permasalahan tersebut adalah kitab عقود اللجين. Kitab tersebut
memang mempunyai kelebihan dalam membahas hiruk pikuk rumah tangga, tauhid dan
yang lainnya, akan tetapi kitab tersebut mengandung beberapa hadis yang dianggap
misoginis, isinya selain menomor duakan perempuan dalam urusan rumah tangga, di situ juga tidak
pernah menjelaskan peran perempuan dalam strata sosial masyarakat yang
seharusnya perempuan mempunyai segudang potensi dalam berperan memajukan sosial
masyarakat menjadi terhambat,
karena dengan adanya
tafsir yang mengarah ke misoginis, seperti
pembatasan bagi perempuan untuk ke luar rumah, perempuan melakukan
kebaikan atau bahkan
beribadah sunah harus ijin suami,
dan perempuan harus siap melayani suami kapanpun dan di manapun dia berada. Santri-santri mencoba untuk mereinterpretasikan hadis-hadis tersebut dalam kajian kitab عقود اللجين dengan harapan agar antara laki-laki
dan perempuan
memahami
bahwa mereka
mempunyai hak yang
sama
dalam menjadi subjek keputusan segala hal
yang memang melibatkan kemaslahatan bersama, sesuai dengan prinsip al-Qur’an yang mengutamakan kesetaraan.
Namun,
akhir-akhir ini reputasi pondok pesantren sedikit dipertanyakan oleh sebagian
masyarakat muslim di Indonesia. Mayoritas pondok pesantren pada saat ini
terkesan jauh dari realitas sosial yang ada. Problem sosialisasi dan
aktualisasi dalam permasalahan gender yang sering dipandang sebelah mata oleh
kaum santri salafi di satu sisi dan dipandang wajar-wajar saja oleh sisi yang
lain,
sehingga menyebabkan sering terjadinya bias gender di kalangan pondok pesantren
yang
mana, sistem pengajaran di pondok pesantren salafi yang menekankan kajian
kitab-kitab kuning klasik tidak terlepas dari adanya hadis-hadis dalam tanda
kutip hadis misogonis yang diajarkan pada santri putra dan putri.
Hadis
merupakan segala sesuatu yang ada pada diri Nabi Muhammad saw meliputi
perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Bagi umat Islam hadis dijadikan
suri tauladan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga hadis menjadi salah satu
dari sumber utama ajaran Islam.[4]
Fungsi
hadis yang begitu kompleks dalam Islam, maka perhatian terhadap hadis sangat
diperlukan oleh umat Islam. Akan tetapi, hadis tidak bisa kita pahami semuanya
dengan jelas hanya dengan melihat pada tekstual hadis tersebut. Hal ini
dikarenakan sebagian hadis ada memiliki makna yang tersirat dan juga tersurat,
sehingga diperlukan juga pemahaman terhadap kontekstual hadis tersebut.[5]
Salah
satu hadis yang tidak bisa dipahami hanya dengan tekstual hadis tersebut adalah
tentang masalah gender
atau kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Misalnya hadis tentang
kepemimpinan perempuan. Kebanyakan orang hanya melihat pada teks hadis ini
pasti akan langsung melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Untuk itu perlu
adanya pemahaman pada kontekstual hadis yang menyangkut sejarah dari keluarnya
hadis ini.
Sistem pengajarannya yang mayoritas
dengan menggunakan sistem maknani saja, atau sistem lain seperti contoh ustadz
membacakan hadis kepada para santri tanpa dideskripsikan dengan interpretasi
yang cukup jelas, sedangkan para santri menuliskannya
tanpa ada keterangan yang lebih lanjut dari seorang ustadz ataupun ustadzah.
Tentu saja apa yang didengarkan oleh para santri seolah-olah benar dan begitu
adanya tanpa berfikir tentang tafsir atau interpretasi yang sesungguhnya dari
hadis yang disampaikan.
Padahal hadis-hadis yang berbau
misoginis sangat perlu untuk ditafsirkan dan dijelaskan konteks situasi saat
itu, sehingga santri bisa memikirkan
bagaimana sebenarnya hadis itu difungsikan sebagai salah satu sumber ajaran
Islam, hadis-hadis nabi yang secara tekstual kadang menunjukkan diskriminasi gender, sehingga
keberadaan hadits-hadits tersebut harus diperhatikan dalam proses interpretasi
maknanya agar tidak ada kesalahpahaman dalam memahami hadis-hadis tersebut.
Adanya sikap demikian timbul dari
interpretasi yang berkembang atas hadis misoginis yang dipahami secara tekstual
dan tidak imbang, pemahaman dengan model demikian berimplikasi terhadap
kepemimpinan perempuan pada ruang publik. Sebagai contoh hadis tersebut berikut ini:
Artinya: Usamah bin Haitsan
menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia
mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut terlibat
dalam peristiwa perang
Jamal (Unta). Yaitu ketika
disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa
Persia telah mengangkat
anak perempuan Kisra sebagai penguasa
(Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan pernah
beruntung bangsa yang diperintah perempuan.[6]
Menurut Husain, bahwa
hadis ini diungkapkan dalam bentuk kerangka
pemberitahuan atau informasi bukan dalam bentuk legitimasi hukum, maka hadis ini tidak bisa dipahami apa adanya, akan tetapi harus dipahami
dari esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus karena hadis itu
bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia yang kala itu pola kepemimpinannya
bersifat sentralistik, tiranik dan otokratik. Padahal pertimbangan mendasar
dalam kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal itu saat ini
dapat dimiliki oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan.[7]
Dalam pengamatan Sahiron Syamsuddin bahwa hadis ini hanya berlaku untuk
kasus tersebut bukan bagi kasus lain karena itu hadis di atas tidak cukup
dipahami secara tekstual, tetapi harus dimaknai
secara kontekstual. Atas
dasar itu, Quraish
Shihab dengan tegas menulis;
“Jadi sekali lagi hadis
tersebut di atas ditujukan kepada
masyarakat Persia ketika
itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua
urusan”.[8]
Eksistensi bias gender dan konservatisme
tidak bisa lepas dari pola penafsiran teks-teks
agama,
dalam hal
ini,
Islam yang
cenderung parsial, tidak holistik, dan tidak komprehensif, akibatnya perempuan sering dimarginalkan atau
didiskriminasikan dalam ragam dimensi haknya, baik secara personal maupun
kolektif. Beberapa narasi yang digunakan untuk mendukung premis tersebut yaitu,
seperti, penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki- laki yang bengkok, pesona
perempuan yang menjerumuskan laki-laki, perempuan sebagai penghuni mayoritas di
neraka, kewajiban keluar rumah dengan mahram, wajibnya Salāt secara tersembunyi, kewajiban mutlak taat pada suami,
hingga pelaknatan bagi perempuan yang enggan melayani suami.[9]
Sejumlah rentetan diskriminasi terhadap perempuan tidak saja didukung oleh
intrepretasi teks keagamaan oleh para mufassir, tapi juga disokong penuh
oleh konstruksi sosial yang
melegetimasi perempuan sebagai perhiasan dunia yang tugasnya hanya
menghiasi dunia laki-laki. Sementara itu, agama seringkali dijadikan sebagai
dalih pembenaran atas berbagai klaim
yang diusung dan
menjadi sebuah fenomena global.
Secara terminologis, gender bisa
didefinisikan sebagai harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Gender
dipandang sebagai suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran,
perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat. Dipahami bahwa gender merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku,
mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Karena pada dasarnya dalam perihal gender, baik di dalam
al-Qur’an maupun hadis sesungguhnya telah menempatkan perempuan pada posisi
yang sama terhormatnya dengan kaum laki-laki, namun dikarenakan adanya
pemahaman terhadap doktrin-doktrin Islam secara parsial dan mengabaikan
semangatnya sebagai agama pembebas mengakibatkan kesan seperti adanya
diskriminalisasi dalam ajaran agama Islam yang menempatkan perempuan pada
posisi marjinal dan subordinatif.[10]
Istilah misoginis berawal dari adanya mitos tentang
penciptaan wanita dan keluarnya Adam dari surga ke bumi. Menjadi sebab
munculnya banyak perlakuan kasar dan
negatif terhadap wanita.
Cerita tersebut menggambarkan
bahwa wanita diciptakan menjadi makhluk yang bertujuan melengkapi hasrat
Adam, dan sebab jatuhnya Adam ke bumi
karena godaan Hawa. Cerita ini melahirkan faham misoginis (pembencian wanita
oleh pria). Faham yang berasal dari ajaran Yahudi-Kristen ini berpengaruh cukup
luas di dalam dunia Arab melalui berbagai media, bahkan dalam kita tafsir dan
fikih pun tak terlewatkan.
Salah satu Pondok Pesantren yang ada di Kabupaten
Merangin, tepatnya di Kecamatan Renah Pembarap yakni Pondok pesantren
Azzakariyah.
Penulis mengambil lokasi penelitian ini di Pondok Pesantren Azzakariyah dengan
alasan bahwa dimana Pondok Pesantren ini mengajarkan kitab hadis yeng
bertapatan dengan masalah kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, dimana
terhitung jumlah ustadz lebih unggul dari pada jumlah ustadzah. Entah disengaja atau memang tidak ada
perempuan yang cakap untuk mengajar. Selain masalah tenaga pengajar juga ada
doktrin dari orang tua atau keluarga agar tidak usah belajar mata pelajaran
umum karena hanya keilmuan agama yang berguna. Namun sangat disayangkan sekali,
jika ternyata masih banyak pesantren yang memiliki pemikiran seperti ini.
Selain memeberikan ruang gerak yang sempit kepada santri putri, hal demikian
juga akan memelihara dominasi laki-laki atas perempuan.
Dengan berbagai alasan perempuan
hanya akan kembali kepada tugas domesktinya saja. Kalaupun ada di perkirakan
pemahaman-pemahaman tersebut masih memilih hubungan dengan hadis nabi yang tidak ditelusuri lebih
lanjut, seperti hadis berikut:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضيَ الَّلُه عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الَّلهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
اِسْتَوْصُوْآ بِالنِّسَاءِ فَاِنَّ اْلمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ
ضَلْعٍ وَاِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٌ فِي الضَّلْعِ أَعْلاَهُ, فَاِنْ زَهَبَتْ
تَقِيْمُهُ كَسُرَتْهُ وَإِنْ تَرْكُهُ لَمْ يَزَلْ اَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْ
ابِالنِّسَاءِ. )رواه البخاري(
Artinya :
Dari Abu Khurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda “Berwasiatlah kalian
kepada perempuan, karena perempuan diciptakan dari
tulang rusukdan dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah
yang paling atas. Apabila kamu bermaksud untuk meluruskan nya, maka kamu
mematahkannya, dan jika kamu biarkan maka
ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah kepada perempuan”
(HR.al-Bukhari).[11]
Hadis di atas menjelaskan tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk laki-laki, sangat ditentang
oleh feminis muslim karena dinilai
diskriminatif dan membenci perempuan. Riffat mengkritik hadis tersebut dari dua sisi, yaitu: sanad
hadis dan matan hadis. Dari sanad hadis, Riffat mengkritik
tiga hal, yaitu pertama, menyatakan bahwa semua hadis tersebut diriwayatkan dari
Abu Hurairah, sahabat Nabi SAW yang dianggap kontroversial oleh banyak
ilmuwan Islam pada masanya, salah satunya Imam Abu Hanifah. Kedua, semua hadis
tersebut gharîb (terlemah dalam klasifikasi hadis) karena terdapat beberapa
perawi yang merupakan perawi tunggal. Ketiga, hadis-hadis tersebut dinyatakan
dha’îf, karena dalam pandangannya sanad hadis tersebut terdapat beberapa perawi
yang dianggap tidak tsiqah.[12]
Pemahaman ulama hadis
terdapat perbedaan dengan pemahaman Feminis Muslim Indonesia. Lalu, bagaimana
dengan hadis-hadis lain yang juga bernada misoginis, mungkinkah juga terjadi
perbedaan pemahaman. Walaupun demikian, penciptaan wanita (Hawa) dari tulang rusuk Adam bukan berarti bahwa wanita lebih rendah martabatnya
dari
pada lelaki, tetapi merupakan simbol hubungan keduamya
yang rapat dan saling melengkapi. Sehingga tidak mungkin salah satunya bisa hidup seimbang tanpa yang lain.
Adanya berbagai alasan perempuan hanya
akan kembali pada pekerjaan yang sifatnya domestik. Oleh karena itu dalam
penelitian ini bertujuan membahas tentang bagaimana pemahaman santri pondok
pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis dan apa pengaruh hadis
misoginis terhadap perilaku para santri. Sehingga perlu kami untuk melakukan
penelitian ini karena selain menambah wawasan pengetahuan yang mungkin para
santri masih buta akan istilah misoginis dan juga agar mencegah terjadinya bias
gender antara santri putra dan putri. Maka dari latar belakang di atas, peneliti mengambil judul “Kajian Living Hadis
Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis
(Studi Pada Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
Merangin)”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, setelah penulis mengadakan studi awal penelitian di
Pondok Pesantren Azzakariyah mengenai kajian living hadis terhadap pemahaman
santri dalam memahami hadis misoginis, maka penulis mengambil rumusan msalah
dalam penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimana pemahaman santri pondok Pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis
misoginis?
2.
Bagaimana hadis misoginis terhadap
kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah ?
3.
Apa saja dampak hadis misoginis
terhadap terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah ?
C. Batasan Masalah
Berdasrkan
latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi
permasalahan ini yaitu terpokus pada Kajian Living Hadis
Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis
(Studi Pada Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
Merangin)
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan gambaran tentang arah yang akan
ditujudalam melaksanakan penelitian. Hal ini sangat berguna bagi peneliti
untukmenemukan, mengembangkan, maupun mengoreksi terhadap ilmu pengetahuan yang
ada di masyarakat.
Adapun tujuan dari penelitian ini
antara lain sebagai berikut :
a. Untuk mengetaui pemahaman santri
pondok pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis.
b. Untuk mengetahui hadis misoginis
terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah
c. Untuk mengetahui dampak hadis
misoginis terhadap terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah
2. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian yang
sudah diteliti oleh setiap manusia, pasti ada nilai sisi baiknya dan mempunyai
manfaat yang baik. Penulis mengharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan nila-nilai
yang positif dan bermanfaat bagi semua
orang, baik kegunaan itu bersifat teoritis dan kegunaan praktis, seperti
kegunaan bagi penulis, instansi dan masyarakat.
Adapun manfaat dari hasil
Penelitian ini, antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini agar dapat memberikan kontribusi pengetahuan
bagi mahasiswa UIN Jambi, masyarakat, khususnya bagi Fakultas Ushuluddin
tentang dampak hadis misoginis terhadap pemahaman santri pondok pesantren
Azzakariah.
b. Manfaat Praktis
a.
Bagi penulis
Dengan mengkaji
permasalahan ini maka akan menambah motivasi pengetahuan, dan menambah wawasan
dan pengetahuan Dalam studi tentang pemahaman santri terhadap hadis-hadis
misoginis di pondok pesantren Azzakariyah.
b.
Bagi Santri
Dapat
memberikan kontribusi pemikiran dan wawasan dalam memahami isi kandungan hadis
sehingga dapat bermanfaat dan isi kandungan hadis sehingga dapat bermanfaat dan
memicu kesemangatan dalam mengamalkan isi dari pada hadis, dengan begitu hadis
tidaklah lagi di katakan sebagai teks yang bisu melainkan mampu memberikan
manfaat kandungannya.
c.
Bagi pondok
pesantren
Dapat memberikan kontribusi dalam
segi pengembangan keilmuan dan wawasan terutama dalam masalah gender agar tidak
terjadi bias gender di pesantren dan adanya kesetaraan antara hak dan kewajiban
bagi para santri putra dan santri putri.
E. Kerangka Teori
1. Pengertian Hadis
Secara bahasa (lughah), hadis
ialah baharu (حديث)
atau juga disebut khabar (خبر).Menurut Ahmad Warson Munawwir, dalam Kamus Arab-Indonesia, kalimat hadis diambil
berasal dari (حدث-يحدث-حديث) artinya baharu.[13]
Secara istilah Hadis ialah: (ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او
تقريرا وغيرها)
yakni apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir ataupun lain sebagainya. Istilah hadis berarti segala
perbuatan, perkataan atau persetujuan Nabi (Hadîts Marfû’) sahabat Nabi (Hadîts
Mauqûf) tabi‟in (Hadîts Maqthû’). Ada sebagian penulis yang menyamakan antara
hadis dengan sunnah, meskipun keduanya memiliki definisi yang berbeda. Sunnah
adalah sebutan bagi ‘amaliyah yang mutawâtir, yakni cara Rasul melaksanakan
ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan ‘amaliyah yang mutawâtir pula.[14]
Hadis merupakan riwayat yang bertujuan untuk mengutip Nabi dalam segala hal
baik dalam perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Hadis merupakan riwayat yang
bertujuan untuk mengutip Nabi dalam segala hal baik dalam perkataan, perbuatan,
dan persetujuan.[15]
Jika hadis
memiliki berbagai kualitas
yang perlu untuk diteliti, maka sunnah sebatas pada
perbuatan yang sudah pasti dilakukan Nabi. Ilmu hadis dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ilmu hadis riwâyah dan ilmu hadis dirâyah. Ilmu
hadis riwâyah adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan,
dan sifat-sifat Nabi, periwayatannya, pencatatanya, dan
penelitian lafal-lafalnya. Sedangkan
ilmu hadis dirâyah adalah
kumpulan dari kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan
matn hadis. Ilmu
hadis dirâyah adalah
ukuran bagi hadis riwâyah sebanding
ushûl bagi ilmu fiqh, manthiq
bagi ilmu tauhid, balâghah bagi bahasa Arab.
Ilmu hadis,
sebagaimana didefinisikan oleh
para scolar klasik adalah ilmu yang membahas cara
memahami hadis. Jika dilihat dari makna perkata maka ilmu dapat diartikan
sebagai pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dianggap metode
keilmuan.[16]
Metode keilmuan yang penulis maksud tidak harus sebuah pertemuan yang bersifat
resmi, karena pemerolehan pengetahuan bisa dengan pelbagai cara. Pengetahuan
yang dibawa sejak lahir, pengetahuan yang diperoleh dari budi, pengetahuan yang
berasal dari indra-indra khusus, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman dan
rabaan dan pengetahuan yang berasal dari penghayatan langsung, ilham. Cara
pemerolehan pengetahuan tersebut menegaskan bahwa ilmu
adalah hasil dari kerja berpikir manusia, dan tidak menganut
kebenaran secara mutlak. Artinya ilmu dapat berubah dan berganti dengan rumusan
ilmu-ilmu yang baru.
Living Hadis
dapat didefenisikan sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang praktik Hadis.
dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang Hadis dari sebuah realita, bukan
dari sebuah ide yang muncul dari penafsiran teks Hadis. kajian living Hadis
bersifat praktik ke teks, bukan sebaliknya dari teks ke praktik pada saat yang
sama, ilmu ini juga dapat di defenisikan sebagai cabang Hadis yang mengkaji
gejala-gejala Hadis dimasyarakat.
Objek yang dikaji ialah gejala-gejala hadis bukan teks
Hadis. ia tetap mengkaji al-hadis namun dari segi sisi gejala bukan dari
teksnya, gejala tersebut bisa berupa benda, perilaku, nilai, budaya, tradisi
dan rasa. Dengan demikian kajian living Hadis dapat diartikan sebagai upaya
untuk memperoleh pengetahuan yang kokoh dan meyakinkan dari suatu budaya,
praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau perilaku hidup dimasyarakat yang
diinspirasi dari sebuah ayat Hadis.[17]
Secara bahasa living hadis adalah “ Hadis yang
hidup” sedangkan menurut istilah living hadis adalah kajian atau penelitis
ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran atau keberadaan
Hadis disebuah komunitas muslim tertentu. Dari sini maka akan tampak respon
sosial komunitas muslim untuk menghidupkan dan mengaplikasikan teks agama
melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa living
Hadis ialah gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang
bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW atau respon umat Islam dalam interaksi
mereka dengan hadis-Hadis Nabi. Menurut Sahiron Syamsudin living hadis adalah
sunnah Nabi yang secara bebass ditafsirkan oleh para ulama, hadis, penguasa,
hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.
Penjelasasn di atas dapatj disimpulkan bahwa
living hadis adalah sebuah penelitian ilmiah tentang keberadaan hadis yang
hidup di masyarakat atau komunitas Islam yang tertentu, yang dilaksanakan
melalui praktek, tradisi, atau ritual. Namun harus dipastikan bahwa praktek itu
berasal dari teks Hadis. Hadis Nabi sampai saat ini sangat menarik untuk
dikaji, karena factor-faktor utama yang menjadi pemiciu adalah masalah
oitentitas hadis, maupun rentan waktuj yang cukup panjang antara Nabi dalam
realitas kehidupan sampai masa kodifikasi kedalam teks Hadis.
Sementara objek materi living hadis
ialah perwujudannya dalam bentuknya non-teks. Bisa berupa gambar, multimedia,
atau karya budaya, maupun berbentuk pemikiran yang kemudia yang berwujud lelaku
dan perilaku manusia. Inilah perbedaannya dengan ilmu Hadis yang
konvensiial-normatif. Jika kita baca berbagai literature ilmu Hadis , nyaris
belum kita temukan salah satu fann atau naw’ atau bab yang menjelaskanj tentang
wujud firman Sabds Nabi dalam bentuk yang bukan teks (nashsh).[18]
2. Makna Living Hadis
Ada perbedaan di kalangan ulama hadis menegnai istilah
penegrtian sunnah dan hadis., khususnya di antara ulama mutaqaddimin, dan ulama
muta’akhirin. Menurut ulama mutaqadddimin, hadis adalah segalal perkataan,
perbuatan dan ketetapan, yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad pasca kenabian,
sementara sunah adalah segala sesuatu ynag
diambil dari nabi Saw tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama muta’akhirin, berpendapat bahwa hadis
dan sunnah memiliki penegrtian yang sama, yaitu segala ucapan, perbuatan atau
ketetapan Nabi.[19]
Setelah Nabi wafat, sunnah Nabi tetap merupakakn sebuah
ideal yang hendak diikuti oleh generasi muslim sesudahnya, dngan menafsirkan
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi yang baru pula.
Penafsiran yang kontinu dan progresif ini, di daerah yang berbeda-beda misalnya
antara hijaz, Mesir dan Irak disebut
sebagai “sunnah yang masih hidup” atau living Sunnah.
Sunnah di sini dalam penegrtian sebagai sebuah praktek
yang di sepakati secara bersama (living Sunnah). Sebenarnya Sunnah relative
identik dengan ijma’ kaum muslimin dan ke dalamannya termasuk pula ijtihad dari para ulama generasi awal
yang ahli dan tokoh-tokoh politik di dalam aktivitasnya. Dengan demikian,
“sunnah yang hidup” adalah sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para
ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.[20]
3. Kode Etik
Riset Living Hadis
Secara umum kode etik keilmuan Living
Qur’an dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
Empiris
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ilmu living
Hadis adlah bagian dari ilmu sosiologi antropologi yang memiliki syarat utama,
yaitu harus empiris, penelitian ini harus didasarkan kepada pengamatan dan
penalaran sosial. Ia berdasarkan kepada wahyu. Hasil kajiannya pun harus
terukur dan terbukti, tidak boleh spekulatif atau sekedar asumsi belaka. Asumsi
hanya boleh dibawa pada tahap awal mula melakukan penelitian saja, yaitu untuk
membantu dan mengidentifikasi masalah, merumuskannya, hingga kemudian menggali
data lapangan. Sebatas itu saja, wilayah asumsi dalam ilmu living Hadis peran
tambahannya adalah asumsi masih dapat digunakan untuk menetapkan “hifotesis”
dan variabel-variabel yang diperlukan. Ia tidak boleh memasuki ranah pengolahan
data, pembuktian, pengujian, dan
penyimpulan.
b.
Teoritis
Ini juga dapat disebut dengan abstraktif. Artinya, penelitian
Living Hadis harus mampu merangkum pengamatan-pengamatan yang rumit di lapangan
untuk kemudian diabstraksikan menjadi satu teori atau kaidah. Ia juga harus
dapat diterapkan dalam dalil-dalil yang abstrak yang relevan dan logis. Karena
itu, kajian living Hadis juga harus bersifat rasional. Ia juga perlu
menerangkan hubungan kausatif dari serangkaian masalah yang dikaji.[21]
c.
Komulatif
Kajian living Hadis bukanlah kajian yang benar-benar mandiri
dan bertujuan untuk sekedar mendeskripsikan gejala-gejala Hadis saja, harus ada
nilai yang dihasilkan dari kegiatan deskriptif tersebut. Oleh karena itu kajian
lving Hadis harus menerapkan teori-teori ilmiah yang dibangun di atas
teori-teori lainnya yang telah mapan. Meskipun kajian living Hadis itu nantinya
adalah menghasilkan teori baru, namun ia harus dibangun di atas teori-teori
lain agar dapat teruji dengan baik. Ia dapat dapat berupa koreksi terhadap
teori yang ada, menguatkan, memperluas, atau menyempurnakan teori yang sudah
ada.
d.
Emis
Artinya, data dan kebenaran yang
diperoleh mengacu kepada subjek yang diteliti atau narasumber, bukan kepada
peneliti. Ia tidak boleh bersifat etis, yaitu kebenaran mengacu kepada
peneliti. Dengan demikian, penelitian living Hadis tidak bertujuan untuk
mencari apakah objek yang dikaji itu benar atau salah, baik atau buruk, sunah
atau bid’ah, kufur atau fasik, dan sejenis. Kajian ilmu living Hadis juga tidak
boleh stereotipikal. Tugas utama kajian living Hadis hanya menjelaskan
tindakan-tindakan sosial yang dikajinya. Jadi, meskipun yang dikaji
adalahHadis, tetap harus dipandang sebagai realitas, bukan sebagai dogma atau
norma semata.[22]
4. Misoginis
a). Misiginis secara etimologi
Istilah misoginis secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yakni Misogyny
yang berarti kebencian terhadap kaum perempuan[23]
Pendapat lain juga mengatakan bahwa istilah misogini berasal dari bahasa Yunani
misogynia yang terdiri dari kata miso (benci) dan gyne (perempuan). Sedangkan
suatu ideologi yang membenci kaum perempuan disebut sebagai misoginisme. Jadi,
secara harfiah dapat disimpulkan bahwa hadis misoginis merupakan perkataan,
perbuatan dan ikrar Nabi yang disinyalir mendeskriminasi kaum perempuan.
Hadis-hadis misoginis banyak termaktub
dalam kitab-kitab hadis termasuk kitab Uqud al-Lujain. Kitab kuning
berjudul Uqud al-Lujain sering digunakan oleh kebanyakan pondok
pesantren yang berbasis salaf. Dalam kitab tersebut ditemukan beberapa hadis
misoginis yang mendiskreditkan perempuan. Kitab karangan Syaikh
Nawawi bin Umar
al-Bantani ini terdiri
dari 89 hadis
dan kualitas hadisnyapun bermacam-macam. Kitab yang secara khusus
membahas tentang kehidupan rumah tangga tersebut dalam keterangannya ada yang
membahas tentang hak dan kewajiban suami-istri secara setara dan ada pula yang
terkesan timpang dan tidak seimbang.[24]
b). Misoginis Secara Epistemologi
Sementara
misoginis secara epistemologi adalah mengkaji
ilmu dan pengetahuan dari berbagai aspek, salah satunya adalah aspek metodenya.
Ketika epitemologi mengkaji metode ilmu terjadi pertemuan dengan metodologi,
namun sifat kajian epistemologi berbeda dengan sifat kajian metodologi tentang
metode karena epistemologi mengkaji metode ilmu secara kritis dengan
mempertanyakan hakikatnya dan basis epistemiknya.[25]
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti
teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori
tentang pengetahuan (theory of knowledge). Sedangkan dalam segi terminologi
epistemologi merupakan suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan
radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas
pengetahuan. Kajian epistemologi ini banyak perdebatan yang menganalisis sifat
pengetahuan dan bagaimana ia berhubungan dengan istilah-istilah yang berkaitan
dengannya, seperti kebenaran, kepercayaan dan penilaian. Selain itu, ada juga
yang mengkaji sarana produksi pengetahuan, termasuk juga skeptisisme tentang
klaim-klaim pengetahuan yang berbeda.
Epistemologi yaitu untuk menjawab dari mana asal atau sumber
sesuatu itu, dan bagaimana cara mendapatkan atau memperoleh sesuatu yang
dimaksud. Selain itu, epistemologi juga untuk menjawab sifat, karakteristik dan
ciri-ciri tertentu dari segala sesuatu yang sedang diselidiki.[26]
Secara terminologi
istilah misoginis digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran
pemikiran yang secara
zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan. Anggapan adanya
unsur misoginis dalam hadis dipopulerkan oleh seorang aktivis perempuan Fatima
Mernissi melalui bukunya ”Women and
Islam: An Historical and Theological Enquiry.[27]
Salah satu contoh Hadis misoginis dalam padangan kaum misgony
ialah sebagaimana sabda Rasulullah dalam shahih bukhori halam 313 yang berbunyi:
عن أبي هريرة -رضي الله عنه-، قال: قَالَ
رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ دَعَا الرَّجُلُ
اِمْرَأَتَهُ إِلىَ فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِيْهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا
لَعَنَتْهَا اْلمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya : Dari abi Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda :
Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya untuk melakukan hubungan, lalu
istrinya menolak, sehingga suaminya marah, mak a istrinya dilaknat oleh
Malaikat hingga pagi hari. (Shahīh Bukhāri: 313)[28]
Hadis di atas sebenarnya
menjelaskan peran seorang perempuan yang selalu siap melayani soerng suami,
namu menurut kaum misigoni Hadis di atas ialah tentang wanita yang enggan
melayani suaminya ini. Istri dilarang menolak
ajakan suami untuk berhubungan intim di ranjang dengan alasan apa pun.
Sayangnya, istri terkadang merasa malas, lelah, atau suasana hati sedang tidak
mendukung. Menolak ajakan suami bercinta dapat membuat suami kecewa dan menimbulkan
konflik rumah tangga bila tidak ada komunikasi yang baik. Meski terkesan
sepele, ternyata perkara ini menimbulkan dosa besar yang membuat shalat tidak
bisa diterima. Bila seorang istri melayani suaminya dengan bahagia,
ikhlas, dan rela, serta bersungguh-sungguh sampai sang suami pas terhadapnya,
maka surga menjadi hak bagi sang istri.
Selain itu
istilah misogini dianalogikan
berasal dari istilah yang berasal
dari bahasa Inggris misogyny yang mempunyai arti yang sama yakni kebencian
terhadap perempuan. Kamus Ilmiah Populer menyebutkan, terdapat tiga ungkapan berkaitan
dengan istilah tersebut, yaitu misogin artinya benci akan perempuan, misogini
artinya perasaan benci akan perempuan, misoginis artinya laki-laki yang benci
pada perempuan.
Misoginis mempunyai makna
membenci atau merendahkan perempuan.
Dalam beberapa tafsir Hadis misogini, perempuan merupakan objek
limpahan keputusan bagi
laki-laki, dan mereka hanya dianggap sebagai pelengkap bagi
kekurangan laki-laki, hal itu berdampak
dalam beberapa aspek, seperti kontribusi, hak dan kewajiban suami terhadap
perempuan.
Keberadaan perempuan
sering diragukan perannya dalam kemajuan atau perubahan, seperti hal
pendidikan, sehingga pendidikan bagi perempuan dalam pandangan beberapa
kalangan kuranglah penting, karena mereka dianggap lemah dalam sisi kognitif,
dan cenderung menggunakan perasaan.[29]
5. Sejarah Munculnya Pemikiran Misoginis
Istilah misogini berawal dari adanya
mitos tentang penciptaan wanita dan keluarnya Adam dari surga ke bumi menjadi
sebab munculnya banyak perlakuan
kasar dan negatif
terhadap wanita. Dalam
cerita itu wanita diciptakan untuk melengkapi hasrat
Adam dan Adam jatuh ke bumi karena godaan
Hawa. Cerita seperti ini melahirkan faham misoginis (pembencian wanita oleh
pria). Faham yang
berasal dari ajaran
Yahudi-Kristen ini berpengaruh
cukup luas di dalam dunia Arab melalui berbagai media, seperti kitab-kitab
tafsir dan kitab-kitab Fiqh.
Keberadaan mitos sebagai akar kebencian terhadap kaum wanita
juga bisa dilihat dari penjelasan Hyde. Menurut Hyde, dalam diri kaum
wanita dilekatkan mitos-mitos
yang kurang menguntungkan bagi mereka, antara lain mitos mengenai
kejahatan feminin
(feminie
evil) yang
berasal dari
tradisi
Judeo-Kristen mengenai kejatuhan manusia dari surga karena kesalahan Eva
membujuk Adam untuk makan buah dari pohon pengetahuan. Perbuatan ini dianggap
sebagai akar dari dosa asal seluruh umat manusia yang disebabkan oleh perbuatan
Eva (wanita). Di Yunani dikenal mitos
mengenai Pandora, manusia wanita pertama di dunia, yang membuka kotak terlarang
sehingga menyebarlah semua benih kejahatan di atas muka bumi ini. Di Cina di
kenal dua kekuatan Yin dan Yang yang berhubungan dengan aspek feminin dan
maskulin. Yin yang feminin terkait dengan kegelapan, kejahatan, sisi dari alam.
Sedang Yang yang maskulin kebalikan dari sifat-sifat tersebut.[30]
Selanjutnya, istilah misogini (misogyny) ini digunakan oleh feminis
psikoanalis untuk menyatakan kebencian terhadap wanita (hatred of women) yang
berakar pada kemarahan bayi primitif terhadap ibunya karena masyarakat
memberikan tugas pengasuhan anak kepada wanita. Tumbuhnya kebencian kaum pria terhadap
kaum wanita tersebut bisa ditelusuri dari penjelasan Chodorow mengenai proses
perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi
nilai-nilai jender tertentu.
Pemikiran Chodorow tersebut menunjukkan, bahwa devaluasi kultural dan
sosial yang dilakukan oleh anak laki-laki tersebut mengarahkannya pada perilaku
untuk merendahkan dan tidak menyukai segala sesuatu yang berbau wanita atau
feminim yang diterimanya di masa-masa awal kehadirannya di dunia ini. Pada
tahap pembentukan identitas dirinya sebagai laki-laki itu ia mempelajari bahwa
untuk bisa diterima di dunia luar, ia harus menyesuaikan dirinya dengan
nilai-nilai dominan yang hidup disana yaitu nilai-nilai yang bersifat
patriarkis. Untuk bisa menjadi anggota dunia pria itu, anak laki-laki berusaha
mengenyahkan semua sifat-sifat feminim yang ada di dalam dirinya. Kebencian
anak pada sifat-sifat feminim timbul karena sifat-sifat itu ternyata cukup kuat
tertanam dalam dirinya sebagai konsekwensi dari masa tidak berdayanya dulu ketika
ia sangat bergantung pada ibunya. Demikianlah kiranya munculnya sifat benci
kaum pria terhadap kaum wanita.[31]
Perempuan adalah manusia mulia yang harus dicintai dan disanjung-sanjung
layaknya menyayangi diri sendiri. Isteri, ibu, anak perempuan, saudari
perempuan, dan semua sahabat perempuan lainnya adalah ciptaan Allah Swt. Timbul
pertanyaan dalam diri kita, apakah kita rela menghina perempuan lain setelah
kita tahu bahwa ibu kita sendiri adalah seorang perempuan?, atau apakah kita
mau melecehkan seorang perempuan seandainya tahu isteri kita dilecehkan orang
lain?. Tentu kita sebagai manusia yang sadar tidak akan mau membiarkan hal itu
terjadi.[32]
6. Hadis-Hadis yang Berhubungan dengan
Misoginis
Misoginis
seringkali diartikan dengan kebencian terhadap kaum perempuan, istilah ini
pertama kali dikeluarkan oleh Fatimah Mernissi dalam bukunya Women And
Islam: an Historical and Theological Inqury, untuk menunjukkan terhadap
hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derajat perempuan. Dalam hal
ini, penulis mengambil contoh dua hadis yang berhubungan dengan misoginis.
a). Kepemimpinan Perempuan
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ
حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ
الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ
اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ
بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً
Artinya:
Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia
mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut terlibat
dalam peristiwa perang
Jamal (Unta). Yaitu ketika
disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa
Persia telah mengangkat
anak perempuan Kisra sebagai
penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan
pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan. (HR. Bukhari)[33]
Menurut
Ibn Hajar Al-Asqâlani sebagaimana ia kutip dari al-Khaththabi berkata, “dalam
hadis ini terdapat keterangan bahwa perempuan tidak dapat diangkat menjadi
pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan
dirinya, dan tidak berhak menikahkan selainnya”, namun pernyataannya kurang
tepat. Mengenai larangan seorang perempuan memegang kekuasaan pemerintahan dan
hakim adalah pendapat jumhur. Namun, ath-Thabari memperbolehkannya, dan ini
adalah salah satu riwayat dari Imam Malik. Adapun Abu Hanifah memperbolehkan
bagi kaum perempuan menjadi hakim dalam perkara-perkara yang diterima
kesaksianya. dan Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, mengenai
masalah kepemimpinan perempuan ini juga memberikan pandangan yang sama, dengan
mengutip dari al-Khaththabi.[34]
Sedangkan,
Penjelasan al-Hafiz Jâlal al-Din al-Suyûthî terhadap hadis ini memang sangat
singkat, kerena kitab syarh beliau
ini termasuk syrah ijmâlî. Kitab yang menjelaskan suatu hadis
secara ringkas, sehingga maksud hadis tersebut dapat kita pahami dengan cepat.
Pemahaman beliau terhadap hadis ini dapat kita simpulkan bahwa beliau melarang
kepemimpinan perempuan dengan pernyataan tidak akan bagus menyerahkan perkara
kepada perempuan dengan mengemukakan pernyataan dari Abi Bakrah yang mengatakan
tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan.[35]
b). Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli
Neraka
Artinya:
Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata,
Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia
adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed
Al-Khudri,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul Adlha
atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat, beliau
melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah kalian
bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak
menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliaupun
menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan
aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang
dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apa
tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun menjawab: “Bukankah
persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab:
“Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah
seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab:
“Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[36]
Ibn
Hajar menjelaskannya dengan menerangkan makna kalimat-kalimatnya terlebih
dahulu, seperti فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ
اْلمُصَلَّى
(pada idul adha atau idul fitri),
keraguan antara idul fitri dan idul adha ini bersumber dari perawi hadis, فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ (menuju tempat shalat, lalu beliau melewati kaum perempuan), ketika Nabi melewati kaum perempuan
ini Nabi memberikan nasehat kepada
mereka agar bersedekah.
أُرِيْتُكُنَّ (kalian telah diperlihatkan kepadaku), maksudnya Allah
swt telah memperlihatkan kepada nabi pada waktu isra’ dan mi’raj bahwa
kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ (dan ingkar terhadap suami) yakni
mereka tidak menunaikan hak suami atau lebih dari itu. مِنْ نَاقِصَاتٍ (orang yang kurang) hal ini merupakan sebagian dari
masalah yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas penghuni neraka. أَذْهَبَ (menghilangkan), yakni sangat
hebat dalam mempengaruhi,
لِلُبِّ
lebih khusus daripada akal, dimana لِلُبِّ merupakan intisari daripada akal itu
sendiri. وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا (kami berkata dimana letak kurangnya agama kami),
sepertinya hal itu tidak mereka ketahui sehingga perlu ditanyakan, padahal
pertanyaan ini juga merupakan bukti kekurangan mereka. Sebab kaum perempuan
tersebut menerima ketiga perkara yang dinisbatkan oleh Nabi saw kepada mereka;
yaitu banyak melaknat, ingkar terhadap
suami serta menghilangkan atau merusak hati seorang laki-laki. Kemudian mereka
sulit memahami kekurangan yang ada pada diri mereka. لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ (apabila ia haid tidak shalat dan tidak pula puasa), kalimat ini mengisyaratkan bahwa
perempuan haid tidak shalat dan tidak pula puasa telah ditetapkan berdasarkan
hukum syariat sebelum adanya kejadian ini.[37]
Menurut kaum feminis, Hadis di atas berhasil memposisikan perempuan
sebagai kebanyakan penghuni neraka, jika dilihat dari bunyi teks hadisnya. Alasannya karena mereka mengingkari dan menolak
kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya sekarang secara kapasitas penduduk bumi
ini lebih didominasi dan lebih banyak perempuan dari pada laki- laki. Dengan
demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa kebanyakan penduduk bumi
adalah calon ahli neraka.
Mereka menambahkan, jika hal itu adalah benar, tentu perintah Allah swt
yang disampaikan dalam al-Quran untuk
selalu berlomba-lomba dalam
kebaikan tidak lagi berlaku karena sudah dicap sebagai
penghuni neraka. Faktanya sekarang ini, perempuan baik sangat mudah ditemukan
dari pada perempuan yang tidak baik. Terlebih lagi sekarang ini, laki-laki yang
jahat sangat mudah ditemukan dibandingkan laki-laki yang baik. Apabila
ditemukan perempuan yang berlaku immoral, tentu salah satu faktornya
adalah karena laki- laki. Kasus PSK misalnya,
dapat diminimalisir bahkan dihapuskan apabila tidak ada laki- laki yang
berbuat nakal. Kasus KDRT juga dapat dihindari apabila pihak laki-laki dapat
menyadari tugas dan fungsinya sebagai suami atau seorang ayah. Oleh sebab itu,
perempuan tidak dapat disalahkan secara penuh, tentu ada pihak-pihak lain yang
menyebabkan mereka masuk neraka.
F. Studi Relevan
Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa
karya dan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang penulis akan
teliti mengenai hadis misoginis diantaranya karya:
1. Muh. Syamsuddin menuliskan
karyanya, dalam sebuah jurnal studi Islam tentang gender dengan judul “Dampak Hadis Misoginis
Terhadap Pemahaman Santri (Studi Kasus tentang Pemahaman Gender di Pesantren
Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri)”. Dalam penelitiannya, Muh
Syamsuddin menuliskan bagaimana dampak hadis-hadis misoginis terhadap pemahaman santri Salafiyah
Darussalam Sumbersari Pare Kediri, yangmasih sering terjadi bias gender atau
ketidaksetaraan yang diterima santri putra dan putri baik dalam segi fasilitas,
kebijakan atau hal lain nya. Sehingga menyebabkan pemahaman yang bersifat
mendiskriminasi kaum perempuan maka perlu adanya sitem yang baik sehingga akan
mengurangi mindset yang sifatnya subordinatif. Dalam penelitian, ini terdapat
kesamaan yakni meneliti tentang pemahaman santri terhadap hadis-hadis misoginis
yang diajarkan di pondok pesantren. Sedangkan perbedaannya, dalam penelitian
Muh Syamsuddin membahas tentang bagaimana tanggapan santri terhadap hadis-hadis
misoginis, dan apa dampak hadis itu terhadap pemahaman mereka, sedangkan
penelitian ini yang bertujuan mencari bagaimana pemahaman santri terhadap hadis
misoginis dan kontruksi hadis misoginis terhadap perilaku santri. Perbedaan
yang lain adalah dari segi objek yang dituju, karena latar belakang pesantren
yang juga berbeda yang pasti memiliki metode atau sistem yang berbeda, dan
menggunakan pendekatan yang berbeda dengan metode living hadîts.[38]
2. Filda Fadilah juga menuliskan
dalam karyanya dengan judul “ Konsep Kesetaraan Gender Dalam P andangan Santri (Studi Kasus di
Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon)”, dalam penelitian ini membahas
tentang kesetaraan gender dalam pandangan santri terbagi menjadi dua, yakni
golongan konservatif yang tidak setuju dengan kesetaraan gender dan golongan
progresif atau yang setuju dengan adanya kesetaraan gender. Adapun
bentuk-bentuk kesetaraan gender dalam Pondok Pesantren Darussalam berbagai
macam diantarnya seperti proses dirosah yang dilakukan di waktu yang sama,
kitab kajian yang sama serta oleh guru yang sama, serta juga keterlibatan
santri dalam realitas kesetaraan gender di Pondok sudah dilakukan oleh seluruh
santri seperti santri laki-laki dan santri perempuan saling bertukar peran
dalam kegiatan sehari-harinya.[39]
3. Hasani Ahmad Said di dalam
jurnalnya membahas tentang “Hadis- hadis Misoginis: Penelitian yang
dilakukannya mempokuskan tentang pandangan Hadis yang dibangun melalui persepsi
sosio-kultur masyarakat yang melakukan interpretasi terhadap hadis misoginis. Dalam penelitiannya
menunujukkan bahwa tidak ada hadis yang bersifat misoginis, akan tetapi latar
belakang mufasir lah yang mempengaruhi hasil interpretasi hadis.[40]
4. Muhamad Rofiq dalam penelitiannya
mengambil tema “Memahami Hadis Misoginis
Perspektif Maqasid Syari‘ah:
studi hadis yang menyamakan antara keledai, anjing dan perempuan”, hasil
yang diteliti dari yang telah dilakukannya bahwa tujuan didirikannya syari‟ah
Islam adalah untuk
mencapai suatu kemaslahatan
bersama (maslahah mursalah). Dalam kehidupan yang nyata untuk sebuah
kemaslahatan seorang perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki
dalam keluarga, mereka sama-sama menjadi
subjek penentu dalam
kehidupan bersama[41]
5. Moh. Muzakka Mussaif dalam jurnal yang berjudul “Kesetaraan
Gender dalam Sastra Pesantren (Kajian terhadap Kitab
Syi’ir Laki Rabi)” mengungkapkan
bahwa beberapa hasil karya berbahasa Arab yang banyak dibicarakan terkait
dengan bias gender adalah kitab Uqudul Lujjain yang
membicarakan persoalan hubungan suami-istri (hubungan
seks) yang mengungkapkan
dominasi kekuasaan suami terhadap istri. Kedua kitab tersebut banyak
merujuk ayat al-Quran dan Hadis Rasul untuk mengukuhkan dominasi laki-laki
terhadap perempuan.[42]
6. Penelitian yang dilakukan oleh Jamilah dalam Jurnal yang berjudul “Marriage And The
Independency Of Women (A Case Study On Early Marriage In Local Area In Madura)”,
menyebutkan tentang banyaknya para
anak-anak dibawah umur yang telah melangsungkan pernikahan, khususnya para
perempuan. Dalam penelitiannya disebutkan
salah satu faktor
terjadinya peristiwa tersebut
adalah adanya pendidikan bagi
para anak-anak umur
9 tahun tentang kehidupan rumah tangga, dan materi
ajar yang diberikan dari kitab uqudul lujain.[43]
Penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut
berkonsentrasi pada otentisitas Hadis dan penyetaraan peran laki-laki dan
perempuan yang seharusnya masuk dalam interpretasi Hadis. Peneliti merasa sanagat
penting untuk mengetahui pemahaman Hadis misogini dan mengetahui pemahaman
ulang yang dilakukan di pondok pesantren An-Nur, karena disana melaksanakan
kajian-kajian Hadis perempuan secara modern.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan dalam penelitian adalah
pendekatan kualitatif, karena tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Tujuan penelitian kualitatif adalah
untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.[44] Maka
nanti peneliti akan mendeskripsikan data-data yang ditemukan dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis field Research
(penelitian lapangan).
Dalam
penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian
terhadap kajian living hadis pemahaman santri pondok pesantren
Azzakariyah terhadap hadis–hadis misoginis. Oleh
karena itu penelitan kualitatif yang digunakan karena penelitian kualitatif
sendiri merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan yang tidak dapat
dicapai melalui prosedur pengukuran atau statistik.
Sementra jenis dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan karakteristik suatu
masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu, penelitian yang menggambarkan
penggunaan fasilitas masyarakat, penelitian yang memperkirakan proporsi orang
yang mempunyai pendapat, sikap, atau bertingkah laku tertentu, penelitian yang
berusaha untuk melakukan semacam ramalan dan penelitian yang mencari hubungan
antara dua variabel atau lebih.[45]
2.
Setting
dan Subjek Penelitian
a. Setting
Penelitian
Setting penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Azzakariyah yang
beralamat di jalan Sungai Manau – Kerinci KM 23 Desa Muaro Panco Kecamatan
Ranah Pembarap Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sedangkan subjek penelitian
ini adalah Mudir pondok pesantren, majlis guru dan santriwan-santriwati.
b. Subjek Penelitian
Mengingat subjek penelitian yang baik
adalah subjek yang terlibat aktif, cukup mengetahui, memahami, atau
berkepentingan dengan aktivitas yang akan diteliti, serta memiliki waktu untuk
memberikan imformasi secara benar. Objek penelitian atau informan adalah orang,
kelompok atau informan yang berkompeten dalam penelitian dan memiliki hubungan
yang relevan atau dekat. Subyek penelitian menggunakan teknik pengambilan
sampel berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap relevan dengan
penelitian.[46]
Subyek penelitian ataupun
responden adalah pihak-pihak yang akan dimintai informasi menyangkut pokus
penelitian. Dalam penelitian ini, mereka adalah orang-orang yang diduga mampu
memberikan informasi. Subyek yang diteliti diambil dengan menggunakan cara purposive
sampling yaitu teknik yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang
diperkirakan erat sangkut pautnya dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada
dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Subjek
dalam penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan informasi yang
diperlukan selam proses penelitian. informan dalam penelitian ini meliputi
beberapa macam diantaranya informan kunci, informan utama dan informan
tambahan.
3. Jenis dan Sumber Data
Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu data primer dan data sekunder, dan kedua jenis data tersebut digunakan
untuk memperoleh data penelitian.
a. Jenis Data
Data primer adalah data yang
dikumpulkan oleh peneliti langsung dari sumber utamanya[47]. Data primer dalam penelitian ini
yaitu data yang di peroleh secara langsung dari sumber pertama melalui
observasi dan wawancara dengan responden penelitian serta
buku referensi yang diambil dari artikel dan jurnal daiataranya : Fudhaili,
Ahmad, Pemahaman Misoginis dalam Hadis, (Fudhaili Online Blogspot, 2010),
diakses pada: http://kritikhadits.com, tanggal 13 Desember 2021) dan Muqtada, R. (2014).
Kritik Nalar Hadis Misoginis. Jurnal Musawa, 13,2
Data
sekunder merupakan data pendukung atau data pelengkap atau data yang tidak
langsung diserahkan oleh sumber data, tetapi lewat orang lain atau lewat
dokumen. Data bekas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data dari sumber yang tidak secara langsung memberikan
data kepada pengumpul data, seperti data yang diperoleh dari orang lain atau
dokumen lain.
b. Sumber Data
Sumber
data adalah bahan utama yang dapat diolah dan dianalisis untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian, yaitu orang yang menjawab atau menjawab
pertanyaan peneliti, termasuk pertanyaan tertulis dan lisan. terkait penelitian ini yang akan dijadikan
sumber data adalah mudir pondok pesantren, majlis guru dan
santriwan-santriwati.
Data penelitian juga berupa hasil pengamatan, kumpulan pencatatan
lapangan, dan dokumentasi dari setiap tindakan kegiatan jum’atan secara khusus
maupun kegiatan tarekat secara umumnya.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a.
Metode Observasi
Metode atau pengamatan mengoptimalkan
kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, prilaku tidak
sadar, kebiasaan dan sebagainya.[48]
Observasi juga dapat
diartikan sebagai mengamati secara langsung objek untuk mengetahui keberadaan,
situasi, konteks, dan makna objek dalam upaya mengumpulkan data penelitian.
Observasi atau disebut juga dengan pengamatan merupakan kegiatan pemuatan
perhatian semua objek dengan menggunakan seluruh indera.
Metode observasi dalam
penelitian ini digunakan sebagai pengumpulan data melalui pengamatan langsung
terhadap objek untuk mengetahui keberadaan objek, situasi, konteks dan maknanya
dalam upaya mengumpulkan data penelitian. Observasi ialah pengamatan dan
pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi
menjadi salah satu teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan
penelitian, direncanakan dan dicatat secara sistematis, dapat dikontrol
keandalannya (reliabilitasnya) dan kesahihannya (validitasnya).
b. Wawancara
Wawancara dalam penelitian
kualitatif tidaklah bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh kreatifitas
individu dalam merespon realitas dan situasi ketika berlangsungnya wawancara.[49]
Dalam hal ini peneliti memakai dua metode wawancara dan juga mengkategorikan
responden menjadi dua. Pertama, untuk responden para pengikut jum’atan secara
umum peneliti menggunakan metode wawancara etnografi yaitu wawancara yang
menggambarkan sebuah percakapan persahabatan. Peneliti mengumpulkan data-data
melalui pengamatan, terlibat langsung dan berbagai percakapan sambil lalu,
sehingga responden tidak menyadari jika peneliti sedang menggali informasi.[50]
Dalam
metode wawancara, pewawancara bertanya langsung kepada responden, merekam
jawaban responden atau merekam dengan tape recorder untuk mengumpulkan
informasi.[51]
Wawancara
membutuhkan syarat penting, yaitu hubungan yang baik dan demokratis antara yang
diwawancarai dan penanya. Peran wawancara dalam penelitian adalah untuk
memperoleh informasi langsung dari responden (metode primer), memperoleh
informasi ketika metode lain tidak dapat digunakan (metode sekunder), dan
memeriksa kebenaran kuesioner atau metode observasi (metode standar).
c.
Dokumentasi
Dokumen adalah teknik pengumpulan
data dengan mempelajari catatan data pribadi orang yang diwawancarai, seperti
yang dilakukan psikolog ketika mempelajari perkembangan pelanggan melalui
catatan pribadinya.[52] Penulis menggunakan dokumen
sebagai alat untuk memperoleh semua data yang berhubungan dengan penelitian.
Penggunaan metode dokumentasi yang digunakan peneliti adalah dengan
mengumpulkan data-data yang terkait dengan tema penelitian, meliputi buku dan
kitab, kalender, foto kegiatan, dan catatan administrasi dan beberapa catatan
yang masih terkait dengan tema penelitian.
5. Metode
Analisis Data
Data-data
yang telah dikumpulkan untuk kemudian dianalisis. Dalam menganalisis data yang
sebelumnya peneliti peroleh, untuk proses analisa, cara yang digunakan terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu reduksi data, display data, verifikasi.
Reduksi ada merupakan proses seleksi, pempokusan dan
abstraksi data dari catatan lapangan pada proses reduksi data, semua data umum
yang telah dikumpulkan dalam proses pengumpulan data sebelumnya dipilah-pilah
sedemikian rupa, sehingga peneliti dapat mengenali mana data yang telah sesuai
dengan kerangka konseptual atau ujian penelitian yang telah direncanakan dalam
desain penelitian. Dalam tahap ini, peneliti memilih fakta yang diperlukan dan
yang tidak diperlukan reduksi data ini dalam proses penelitian akan
menghasilkan ringkasan catatan data dari lapangan. Proses reduksi data akan
dapat memperpendek, mempertegas, membuat pokus, membuang hal yang tidak perlu.
Proses
displai data peneliti melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan antara
fakta tertentu menjadi data, dan mengaitkan antara data yang satu dengan
lainnya. Dalam tahap ini peneliti dapat bekerja melalui penggunaan diagram,
bagan-bagan, atau skema untuk data satu dengan data lainnya. Proses ini
menghasilkan data yang lebih konkrit, tervisualisasi, memperjelas informasi
agar nantinya dapat lebih dipahami oleh pembaca.
Memasuki proses verifikasi,
peneliti telah memulai melakakan penafsiran (interpretasi) terhadap data,
sehingga data yang telah diorganisasikannya itu memiliki makna. Dalam tahap ini
interpretasi data dapat dilakukan dengan cara membandingkan, pencatatan
tema-tema dan pola-pola, pengelompokan, melihat kasus perkasus, dan melakukan
pengecekan hasil interview dengan informan dan observasi. Proses ini juga
menghasilkan sebuah hasil analisis yang telah dokonsultasikan atau dikaitkan
dengan asumsi-asumsi dari kerangka teoritis yang ada. Selain itu, pada bagian
ini, peneliti juga telah menyiapkan sesuatu yang telah menjadi jawaban atas
rumusan masalah yang terletas pada latar belakang permasalahan.
6. Pemeriksaan
Keabsahan Data
Untuk memperoleh data yang terperpercaya (trustworthiness)[53] dan dapat dipercaya (reliable)[54],
maka peneliti melakukan teknik pemeriksaan keabsahan data yang didasarkan atas
sejumlah kriteria. Dalam penelitian kualitatif, upaya pemeriksaan keabsahan
data dapat dilakukan lewat empat cara yaitu:
a. Perpanjangan
Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti di lokasi secara langsung dan
cukup lama, dalam upaya mendeteksi dan memperhitungkan penyimpangan yang
mungkin mengurangi keabsahan data, karena kesalahan peneliti atau responden,
disenganja atau tidak sengaja. Distori data dari peneliti dapat muncul karena
adanya nilai-nilai bawaan dari peneliti atau adanya keterasingan peneliti dari
lapangan yang diteliti.
Distorsi data dapat dihindari dengan memperluas
partisipasi peneliti dalam bidang ini, yang diharapkan dapat membuat data yang
diperoleh memiliki tingkat realibilitas dan validitas yang tinggi. Perpanjangan
partisipasi akhir, peneliti juga dapat menjalin hubungan saling percaya yang
baik antara yang diwawancarai sebagai objek penelitian dan peneliti.[55]
b.
Ketentuan Pengamatan
Kondisi pengamatan teluk Peraturan
observasi dilaksanakan melalui pengamatan yang cermat, rinci dan
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang disoroti dalam penelitian.
Kemudian menganalisis faktor-faktor tersebut sehingga peneliti dapat memahaminya.
Peraturan observasi dilaksanakan untuk mendapatkan karakteristik data yang
benar-benar relevan dan terpokus pada objek penelitian.
c. Trianggulasi
Triangulasi adalah suatu teknik yang
menggunakan hal-hal selain data utama untuk memeriksa keabsahan data, tujuannya
untuk memeriksa keandalan data melalui pemeriksaan silang, yaitu dengan
membandingkan berbagai data yang diperoleh dari penyedia informasi yang
berbeda. Penelitian ini akan menggunakan empat teknik triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan dengan menggunakan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Metode segitiga sumber mengacu pada
penggunaan metode kualitatif untuk membandingkan dan memverifikasi kredibilitas
informasi yang diperoleh pada waktu yang berbeda dan alat yang berbeda, yaitu
melalui metode berikut: Perbandingan data observasi dan data wawancara;
perbandingan informan di depan umum (publik) ruang Apa yang dikatakan dan apa
yang dikatakan dalam ruang pribadi (private); bandingkan apa yang
dikatakan orang yang diwawancarai pada waktu tertentu selama penelitian dengan
apa yang dikatakan selama keseluruhan penelitian; membandingkan keadaan dan
perspektif seorang informan dengan berbagai pendapat atau pandangan informan lainnya,
seperti dosen, mahasiswa, atau pimpinan Prodi,; Membandingkan hasil wawancara
dengan isi dokumen terkait.[56]
Triangulasi
adalah teknik untuk menguji keabsahan data dengan cara memeriksa konsistensi,
realibilitas dan validitas data yang diperoleh dengan metode pengumpulan data
tertentu. Ada dua cara menggunakan metode ini untuk trianggulasi, yaitu:
memeriksa kepercayaan hasil penelitian melalui beberapa teknik pengumpulan
data; menggunakan metode yang sama untuk memeriksa kepercayaan beberapa sumber
data.
Triangulasi
dengan penyidik adalah teknik pengecekan data dengan cara membandingkan daya
hasil yang diperoleh dari seorang pengamat dengan hasil survei pengamat
lainnya. Dan trianggulasi teori, yaitu memeriksa keabsahan data dengan
membandingkan dua atau lebih teori yang membicarakan hal yang sama, bertujuan
untuk memperoleh penjelasan yang kurang baik dari hal yang diteliti.
d.
Diskusi dengan Teman Sejawat
Langkah terakhir untuk memastikan
keabsahan data, peneliti akan berdiskusi dengan rekan sejawat untuk memastikan
bahwa data yang diterima adalah benar dan bukan hanya pandangan sepihak
peneliti atau informan. Melalui metode ini, peneliti berharap dapat memperoleh
sumbangan, pendapat, dan saran yang berharga dan konstruktif dalam mengkaji keabsahan
data.[57].
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam
penelitian ini akan
diuraikan oleh penulis dalam
lima bab. Masing-masing bab terdiri
dari beberapa sub bab permasalahan sebagaimana dikemukakan
berikut:
Bab
I : Pendahuluan
yang berisikan latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori, studi relevan, metode penelitian.dan sistematika
penelitian
Bab II : Gambaran umum lokasi penelitian yang
terdiri dari Historis dan Geografis pondok pesantren Azzakariyah, Struktur Organisasi
dan Keadaan Guru dan Santri pondok pesantren Azzakariyah
Bab III : Pemahaman Hadis-Hadis
Misoginis yang membahas
permasalahan Kepemimpinan Perempuan, Perempuan yang Enggan Melayani
Suami dan Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli Neraka
Bab IV : Penyajian dan Analisis data membahas tentang Pemahaman santri pondok
pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis, dan konstruksi serta dampak hadis misoginis terhadap
kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah
Bab V : Penutup, berisi tentang kesimpulan
dan saran- saran sebagai akhir dari uraian penelitian ini.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Berdirinya
Pondok Pesantren Azzakariyah
Pondok Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco
Timur merupakan suatu lembaga yang berada dalam Yayasan Pondok
Pesantren Azzakarriyah.
Pondok Pesantren Azzakariyah dirintis
oleh K.H. Zakaria
bin H. Muhammad Zen setelah
beliau menghabiskan
masa belajarnya di kota suci Makkah al-Mukarromah tahun 1433.H/1928.M. setiba
beliau kembali ke tanah kelahiran, beliau mengadakan suatu majelis
taklim dengan
pengikut-pengikutnya dari orang-orang tua, dari
situlah awal beliau mengasuh orang
tua yang
sekarang
dikenal dengan
panti jompo.[58]
Setelah pengikutnya dari orang-orang
tua semakin banyak ternyata bukan hanya dari
kalangan tua itu saja, Melainkan anak bahkan cucu dari
orang
tua jompo itu banyak sekali yang
berminat untuk mengaji dan menimbah ilmu di dusun Talang
Sekuang
itu.
Pada akhirnya beliau tidak
langsung menerima santri-santri dari anak-anak itu lantaran lokal tidak ada dan juga tujuan awal dari pada
K.H. Zakaria adalah untuk megajar orang- orang jompo. Jadi selama beliau masih hidup belum ada nama Pondok
Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur.
Baru ketika beliau sudah wafat yaitu pada hari Kamis tanggal 26 April 1996 M
di Talang Sekuang penerus dari keluarga besar K.H. Zakaria berfikir untuk
mencari pengganti pimpinan sekaligus melestarikan serta mengembangkan
panti jompo yang
ada pada waktu itu, Hingga setelah diadakan rapat
keluarga besar semua keluarga menghendaki bahwa pengganti dari K.H.
Zakaria adalah K.H. Nukman
Ali.
37
Modal awal untuk membentuk Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur hanya lahan yang
luas dari warisan K.H Zakaria yang
masih dipenuhi dengan pohon-pohon
besar dan masih berupa hutan belantara. Bahkan sempat dapat cacian dari sekelompok orang yang sedikit tidak senang melihat berdirinya
Pondok Pesantren Azzakariyah
Desa
Muara Panco Timur, Tapi dengan latar belakang keluarga yang
sebagian besar adalah orang yang berpendidikan yang
siap
mengisi dan berjuang
bersama, Maka
dikumpulkanlah iuran sedikit demi sedikit untuk
membangun sebuah
lokal sebagai tempat
belajar murid-murid.
Beberapa tahun kemudian Pondok Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur semakin maju. Semakin banyak
kepercayaan dari masyarakat karena target yang
harus dicapai adalah menjadikan murid-murid yang siap pakai dan terjun di masyarakat ketika
mereka kembali ke rumah masing-masing, Dan paling tidak perubahan dalam segi akhlak memang benar-benar diperhatikan sekali. Karena inilah
yang merupakan pembeda dari sebutan santri dengan siswa yang ada di luar lokasi
pesantren.
Pada tanggal 15 Ramadhon
1429 H pimpinan Pondok Pesantren
Azzakariyah yang
kedua K.H. Nukman telah kembali pada Allah SWT
tepat pada pertengahan bulan Ramadhon. Pada saat itu pula banyak sekali keluarga pondok pesantren yang ikut menjadi tenaga pengajar juga
meninggal pada rentang waktu yang tidak berjauhan, sehingga secara tidak langsung sistem belajar mengajar yang ada pada saat itu sangat kurang efektif
sekali karena
dengan ditinggalnya
beberapa tenaga pengajar yang
ada
termasuk salah-satu seorang yang
berpengaruh seorang pimpinan telah
meninggal dunia. Baru
setelah beberapa bulan kedudukan seorang pimpinan
di gantikan
oleh Bapak Drs.
A. Kadir
N sampai
sekarang.
Pada intinya Pondok Pesantren Azzakariyah adalah lembaga
pendidikan yang
bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam
Azzakariyah
yang bertujuan untuk menyiapkan
peserta didik
sebagai kader-kader penerus yang
berilmu, bertaqwa dan terampil baik dalam
pengetahuan agama maupun dalam pengetahuan umum serta
berakhlaqul
karimah dan siap mengabdi
pada masyarakat, agama
nusa dan bangsa.
B. Geografis
Pondok Pesantren Azzakariyah
Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara
Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin terletak di dusun
Pancuran Pedati tepatnya Talang
Sekuang desa Desa Muara Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin
jalan bangko kerinci
KM 36, Terletak di
atas tanah berukuran 3
Ha, dengan luas bangunan
Sekitar
1 ½
Ha, Jarak antara sekolah dengan kota kabupaten adalah 34 KM dan
jarak antara sekolah dengan kantor camat Renah pebarap
2000 Meter. Letak Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara
Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
Merangin sangat strategis karena berada di pinggir jalan raya dan terletak di dekat kota kecamatan sehingga
memudahkan transportasi bagi santri dan orang tua
dari desa manapun di kecamatan Renah
Pembarap, Sungai Manau dan Pangkalan Jambu. Untuk lebih jelasnya
dimana Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara
Panco dapat
dilihat
pada batas-batas areanya, Yaitu :
1. Sebelah Selatan
berbatasan dengan lintas
bangko-kerinci.
2. Sebelah Utara
berbatasan dengan kebun
warga.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan kebun
warga.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan sungai kecil.[59]
C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Azzakariyah
1. Visi
Mewujudkan santri
yang berkualitas
IMTAG
dan IMTEG
serta mengabdi
kepada masyarakat.
2. Misi
a) Menciptakan santri yang
berjiwa islami.
b) Mencetak santri yang berakhlakul
karimah.
c) Menjadikan santri yang bisa memahami kutubus salafi.
d) Menjadikan santri yang
berilmu
pengetahuan dan
menguasai teknologi.
e) Menjadikan santri yang
siap
mengabdi
demi agama, nusa dan
bangsa.[60]
D. Struktur Organisasi
Pondok Pesantren Azzakariyah
Struktur adalah suatu susunan personil yang
tergabung
dalam suatu organisasi
yang merupakan suatu perkumpulan atau kesatuan yang ditetapkan. Karena organisasi
apapun yang ada baik itu besar maupun kecil tidak bisa
lepas dari struktur
organisasi. Melalui struktur
organisasi inilah maka dapat dilihat tugas, wewenang dan bidang kerja yang
ada
dalam organisasi
tersebut.
Dengan adanya struktur orgasnisasi juga akan memudahkan bagi pemimpin
untuk mengadakan pengawasan, mengkoordinasi dan pengambilan
keputusan- keputusan yang diperlukan dalam organisasi.
Organisasi
yang ada di Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara
Panco mayoritas
personilnya berasalah dari
keluarga
sendiri, di samping karena merupakan suatu kesatuan keluarga yang besar dari cucu perintis pertama,
mereka juga berkompeten dalam bidangnya masing-masing, meskipun masih terdapat kekurangan.
Dari kekurangan itu mereka juga
tidak
tinggal diam membiarkannya, tapi mengambil tenaga dari luar pulau yakni jawa, baik itu Jawa Timur
maupun Jawa Barat. Terutama di Jawa Timur
yang sudah menjalin hubungan
antara Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur dengan Pondok Pesantren Mamba‟us
Sholihin Desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik Propinsi
Jawa Timur. Hal ini sudah
berjalan sekitar 3 tahun yang mana tujuannya adalah
untuk menambah tenaga pengajar, di samping
itu
juga Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur bercita-cita untuk menjadikan lembaga pendidikan yang
dibekali dengan dua
bahasa yakni bahasa arab dan bahasa inggris.
Adapun mengenai struktur
organisasi Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara
PancoKecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin dapat
dilihat pada bagan berikut
ini :
STRUKTUR ORGANISASI PONDOK PESANTREN AZZAKARIYAH
TALANG
SEKUANG DESA MUARA PANCO KECAMATAN RANAH PEMBARAP KABUPATEN
MERANGIN TAHUN 2021/2022[61]
Kabag. Kesiswaan Hubbul Khair,S.
Pd.I Kabag. Keterampilan Mustakimah, S.PdI BENDAHARA Munawwir,
S.Pd.I TATA USAHA Basron
Hapi PIMPINAN Drs.
A. Kadir Nawawi WAKIL Ahmad
Danial YAYASAN AZZAKARIYAH MAJLIS GURU SANTRIWAN/TI SEKRETARIS
Idham
Kholid Kabag. Kurikulum Marhimin,
S.Pd.I
E. Keadaan Guru dan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
1.
Keadaan Guru
Seorang guru mempunyai kedudukan
yang sangat berat, karena yang
tercermin
dalam ungkapan guru kalau
dalam
Pondok Pesantren Azzakariyah. Azzakariyah Desa Muara Panco Timur adalah merupakan guru tarbiyah atau pendidik yang bisa menjiwai setiap anak didiknya, Di samping mengontrol atau menjaga secara terus menerus seorang guru
tarbiyah juga
mengawasi prilaku siswa-siswanya setiap hari karena dari
beberapa materi
yang telah diberikan nantinya dapat
diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Dan lebih beratnya
lagi seorang
guru
tarbiyah
antara ucapan yang dikeluarkan harus juga sesuai dengan perbuatan yang
dilakukan sehingga
sedikit banyak anak didik merasa terdidik dari sikap
seorang guru tarbiyah tersebut meskipun secara tidak langsung guru tersebut tidak menerangkan secara lisan. Dan inilah yang sangat berpengaruh
terhadap
siswa-siswa untuk
bisa
merubah akhlak mereka.
Adapun mengenai keadaan guru
di Pondok Pesantren Azzakariyah Desa
Muara Panco Timur
Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin
dapat
dilihat pada
tebel berikut ini.
Tabel 3.1
: Daftar Tenaga
Pengajar
Pondok Pesantren Azzakariyah
tahun 2021-2022[62]
No |
Nama |
Jenis Kelamin |
Jabatan |
Pendidikan |
1 |
Drs.
A. Kadir Nawawi |
LK |
Pimpinan Pondok |
UIN Yogya |
2 |
Zainal Arifin |
LK |
Wali Kelas
I A PA Guru |
PP. Azzakariyah |
3 |
Hendri |
LK |
Wali Kelas
I B PA Guru |
STAI SMQ Bangko |
4 |
Muhammad
Satir |
LK |
Wali Kelas
I C PA Guru |
PP. Haqqul Yaqin |
5 |
Deno
Jumadi |
LK |
Wali Kelas
I D PA Guru |
PP. Azzakariyah |
6 |
Muhammad
Torik |
LK |
Wali Kelas II A
PA Guru |
PP. Al-Aziziyah |
7 |
M.
Ahsani Taqwim |
LK |
Wali Kelas
II B PA Guru |
PP. Purba Baru |
8 |
M.
Husni |
LK |
Wali Kelas
II C PA Guru |
PP. Azzakariyah |
9 |
Muhammad
Al Fadol |
LK |
Wali Kelas
III A PA Guru |
PP. Mudi Mesra |
10 |
Muhammad
Sulthoni |
LK |
Wali Kelas III B PA Guru |
PP. B.B.S Aceh |
11 |
Mulyadi |
LK |
Wali Kelas
IV PA Guru |
Samalanga |
12 |
Al
Haqoni |
LK |
Wali Kelas
V PA Guru |
IAIN STS Jambi |
13 |
Mustagfirin |
LK |
Wali Kelas
VI PA Guru |
PP. Lirboyo |
14 |
Nur
Liana, S.Pd.I |
PR |
Wali Kelas
I A PIGuru |
IAIN Al-Aziziyah |
15 |
Naila
Husna A.Ma |
PR |
Wali Kelas
I B PI Guru |
STAI SMQ Bangko |
16 |
Mawaddah |
PR |
Wali Kelas
I C PI Guru |
PP. Azzakariyah |
17 |
Hoiriah |
PR |
Wali Kelas
I D PI Guru |
PP. Purba Baru |
18 |
Rutbatul
Aliyah, S.Pd |
PR |
Wali Kelas II A
PI Guru |
Samalanga |
19 |
Nur
Aliyah, S. Pd.I |
PR |
Wali Kelas
II B PI Guru |
STAI Bangko |
20 |
Husna,
S. Pd. I |
PR |
Wali Kelas
II C PI Guru |
INKAFA Gresik |
21 |
Iryanti |
PR |
Wali Kelas
III A PI Guru |
PP. Lirboyo |
22 |
Hurfatil
Jannah |
PR |
Wali Kelas III B PI Guru |
IAIN Al-Aziziyah |
23 |
Irmawati |
PR |
Wali Kelas IV A PI Guru |
PP. B.B.S. Aceh |
24 |
Humdiyah |
PR |
Wali Kelas IV B PI Guru |
PP. SMQ |
25 |
M.
Ihsan S.sy |
LK |
Wali Kelas
V A PI Guru |
STAI SMQ Bangko |
26 |
Baihaki |
LK |
Wali Kelas
V B PI Guru |
PP. B.B.S. Aceh |
27 |
Ahmad
Danial |
LK |
Wali Kelas
VI PI Guru |
PP. B.B.S. Aceh |
Tabel di
atas menunjukkan bahwa jumlah tenaga pengajar atau guru yang mengajar di Pondok Pesantren
Azzakariyahberjumlah
27 orang.
2. Keadaan Santri
Santri yang ada
di
Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara
Panco
Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin
sudah berasal dari berbagai kabupaten di antaranya kabupaten Merangin, Bungo, Sarolangun,
Kerinci
dan lain-lainnya.
Cepatnya perkembangan siswa
Pondok Pesantren Azzakariyah salah
satu penyebabnya adalah
karena anak yang belajar di sana
benar-benar bisa ditampilkan
atau berguna
dalam masyarakat setempat meskipun
dengan bekal ilmu yang pas-pasan tapi
karena adanya manfaat dari sedikitnya ilmu itulah menjadikan jalan
keluar untuk meraih ilmu yang lebih banyak lagi. Dan ini sudah terbukti
dalam beberapa tahun
yang
lalu sehingga
kepercayaan
masyarakat semakin tinggi untuk memasukkan anaknya di pesantren ini, Disamping biaya yang relatif murah juga banyak dilengkapi dengan ekstrakulikuler di
luar jam pelajaran.
Santri yang ada di Pondok
Pesantren
AzzakariyahDesa
Muara Panco Timur berjumlah 933 orang, Yang mayoritas berasal dari
Kabupaten Merangin sendiri, Kemudian kabupaten
Bungo, Kabupaten Sarolangun dan kabupaten Kerinci yang mana dari tahun ke
tahun jumlah santri dari masing-masing
kabupaten terus bertambah. Untuk siswa putra
berjumlah 464 anak. Sedangkan
siswi putri berjumlah 443 anak.
Adapun mengenai keadaan siswa-siswi Pondok
Pesantren
Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap
Kabupaten Merangin secara
lengkap dan
terperinci
dapat
dilihat pada
tebel erikut ini :
Tabel 3.1 : Data Santriwan dan Santriwati Pondok Pesantren Azzakariyah
tahun 2021-2022[63]
No |
Kelas |
Rombel |
Jenis Kelamin |
Jumlah |
|
LK |
PR |
||||
1 |
I |
8 |
140 |
134 |
282 |
2 |
II |
6 |
128 |
64 |
198 |
3 |
III |
4 |
84 |
64 |
152 |
4 |
IV |
3 |
58 |
67 |
128 |
5 |
V |
3 |
28 |
62 |
93 |
6 |
VI |
2 |
26 |
52 |
80 |
Total |
26 |
464 |
443 |
933 |
F. Keadaan Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Azzakariyah
Dalam proses belajar mengajar
sarana dan prasarana
sangatlah dibutuhkan sekali untuk mendukung
keberhasilan anak didik dalam belajar,
disamping sebagai syarat adanya suatu lembaga pendidikan yang
telah diakui oleh pemerintah, sarana
pendidikan juga menjadi sorotan masyarakat-
masyarakat elit yang akan memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan dan juga
menjadi kebanggaan siswa
ketika
masuk dalam lembaga
pendidikan yang
maju dan fasilitas yang lengkap. Begitu juga di
Pondok Pesantren
Azzakariyah, sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses belajar mengajar memang
sangat diperdulikan sekali meskipun ada sebagian sarana
yang belum
terpenuhi, tapi
dari pihak
pengurus
Pondok Pesantren
Azzakariyah masih tetap mengusahakannya
dengan mencari alternatif atau
jalan keluar supaya anak didik tetap bisa melaksanakan proses belajar
dengan nyaman
dan tertib.
Adapun di antara
sarana dan prasarana yang di miliki Pondok
Pesantren Azzakariyah desa Muara
Panco Timur Kecamatan
Renah Pembarap
Kabupaten Merangin
antara lain dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.3 : Keadaan Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Azzakariyah
tahun 2021/2022[64]
No |
Jenis
Prasarana |
Jumlah |
Kondisi Baik |
Kondisi Rusak |
|
|
1 |
Ruang
Kelas |
26 |
26 |
- |
||
2 |
Perpustakaan |
2 |
2 |
- |
||
3 |
R.Lab.IPA |
- |
- |
- |
||
4 |
R.Lab.
Biologi |
- |
- |
- |
||
5 |
R.Lab.Kimia |
- |
- |
- |
||
6 |
R.Lab.
Komputer |
- |
- |
- |
||
7 |
R.Lab.Bahasa |
- |
- |
- |
||
8 |
R.Pimpinan |
- |
- |
- |
||
9 |
R.Guru |
2 |
2 |
- |
||
10 |
R.Tata
Usaha |
1 |
1 |
- |
||
11 |
R.
Konseling |
- |
- |
- |
||
12 |
Tempat
Beribadah |
2 |
2 |
- |
||
13 |
R.
UKS |
1 |
1 |
- |
||
14 |
Jamban |
10 |
8 |
2 |
||
16 |
Gudang |
1 |
1 |
- |
||
17 |
R.
Sirkulasi |
- |
- |
- |
||
18 |
Tempat
Olahraga |
2 |
2 |
- |
Memperhatikan data sarana belajar
santri pada tabel di
atas, dapat disimpulkan bahwa sebahagian besar sarana
belajar santri dalam kondisi rusak, artinya sudah ada yang
perlu mendapatkan perhatian perbaikan dan
sarana lainnya dalam kondisi cukup parah seperti 2 ruang belajardan WC santri yang
belum memadai. Disamping itu yang
sangat penting adalah
kelengkapan atau
pengadaan peralatan belum memadai seperti ruang Lab.
Komputer, Lab. Bahasa dan Labor IPA.
Serta
perlunya penambahan atau
peningkatan gedung belajar mengingat makin besarnya minat orang tua memasukkan anaknya ke
Pondok Pesantren Azzakariyah
G. Kurikulum Pondok
Pesantren Azzakariyah
Kuikulum pendiidkan di Pondok Pesantren Azzakariyah Bukan
hanya mengkaji kitab kuning sebagai materi pokok pondok pesantren,
tetapi untuk menambah life
skill pondok pesantren mengadakan beberapa kegiatan:
1. Unit pengembangan santri
2. Unit kegiatan
santri
3. Badan usaha santri
Untuk bisa mengikuti arus zaman dalam
dunia informasi teknologi,
Pondok Pesantren mengadakan unit kegiatan santri mereka diberi pembelajaran tentang
dunia
digital sehingga mereka diharapkan menyebar
kebaikan melalui dunia maya dan menjadi pelopor kedamaian,
bukan hanya menjadi pelopor kedamaian
tetapi juga menginformasikan
kepada masyarakat bahwa santri bukan hanya menguasai kitab kuning tetapi juga
bisa berprestasi didalam bidang ilmu dunia.
Tabel 4.3 : Komponen Kurikulum Pondok Pesantren Azzakariyah
tahun 2021/2022[65]
No |
Kurikulum Agama |
Kurikulum Umum |
1 |
Fiqih |
Bahasa Indonesia |
2 |
Tafsir |
Pendidikan
Kewarganegaraan |
3 |
Tarikh
Islam |
Matematika |
4 |
Bahasa Arab |
Bahasa Inggris |
5 |
Nahwu |
Biologi |
6 |
Tajwid |
Kimia |
7 |
Shorof |
Sejarah |
8 |
Juz Amma |
Geografi |
9 |
Khat |
Ekonomi |
10 |
Muthalaah |
Sosiologi |
11 |
Faroid |
TIK |
12 |
Mahfuzot |
Psikologi |
13 |
Fiqh |
Akuntansi |
14 |
Ushulul Fiqh |
Seni Bela Diri |
15 |
Hadis |
Olah Raga |
16 |
Ushulul Hadis |
Muatan Lokal |
Adapun Buku pegangan
Guru, Pondok Pesantren Azzakariyah menggunakan Buku pegangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan
untuk Santri Kelas VIII, IX, XI
dan XII. Sedangkan peralatan dan media
pembelajaran masih menggunakkan
peralatan dan media yang sederhana.
LIVING
HADIS DAN MISOGINIS
A. Living Hadis
1. Definisi Living Hadis
Secara bahasa living
hadîts adalah ―hadis yang hidup‖. Sedangkan menurut istilah living hadîts
adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait
dengan kehadiran atau keberadaan hadis disebuah komunitas muslim tertentu. Dari
sini maka akan tampak respon sosial komunitas muslim untuk menghidupkan dan
mengaplikasikan teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan.[66] Jadi living
hadis merupakan fenomena yang ada di masyarakat bersumber dari hadis Nabi
Muhammad SAW yang diintrepretasikan di era sekarang ini, dan dapat menjadi
pedoman dikehidupan seharihari.
Menurut Sahiron
Syamsudin, living hadîts adalah sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh
para ulama’ hadis, penguasa, hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi[67]. Menurut
Saifuddin Zuhri, Kajian living menjadi satu hal menarik dalam melihat fenomena
dan praktik sosio-kultural yang kemunculannya diilhami oleh hadis-hadis yang
ada pada masa lalu dan menjadi satu praktik pada masa kini.40 Praktik yang ada
pada modern ini, di dalamnya terdapat banyak yang bersinggungan dengan praksis
yang ada pada masa Rasulullah
50
Istilah dari living hadis
ini belakangan muncul pada akhir abad ke-20 di dalam dunia Islam.[69] Istilah ini
dicetuskan oleh seorang pemikir Islam asal Pakistan, yaitu Fazlur
Rahman.13Istilah ini lahir dari pendapat Fazlur Rahman mengenai sunnah nabi. Ia
memandang bahwa hadis dan sunnah secara nyata berubah secara historis. Sunnah
menurut Fazlur Rahman adalah konsep yang utuh dan cepat sejak awal Islam dan
berlaku sepanjang masa. “sunnah yang hidup” identik dengan ijma’ kaum muslim
atau praktik yang disepakati. Meskipun hadis merupakan tranmisi verbal dari
sunnah, namun Fazlur Rahman menyampaikan perbedaan-perbedaan yang menonjol
antara “sunnah yang hidup” pada generasi awal dan formulasi hadis. Menurutnya,
“sunnah yang hidup” merupakan proses yang hidup dan berkelanjutan, sedang hadis
bersifat formal dan berusaha menegakkan kepermanenan yang mutlak dari sintesis
“sunnah yang hidup” yang berlangsung sampai abad ke-3 H.[70]
Living hadis yang beriringan dengan perkembangan zaman
yang semakin modern, menyebabkan terjadinya perdebatan atau perbedaan pendapat
dua kalangan ulama, yaitu ulama klasik dan modern. Jika kalangan ulama klasik
memperdebatkan hal yang berkaitan dengan konsep sunnah dan hadis, maka para
tokoh hadis modern memperdebatkan antara konsep living sunnah (living
tradition) dan living hadis (living hadith).
Muhammad
Musthofa Azami yang menjelaskan bahwa living sunnah merupakan kesepakatan kaum
muslim tentang praktik keagamaan. Di sisi lain, Fazlur Rahman juga disebut
sebagai pencetus living sunnah di era modern, ia memaknai living sunnah sebagai
tradisi yang hidup yang sudah ada dan bersumber dari Nabi Muhammad saw,
kemudian dirubah dan dibenarkan oleh generasi setelahnya sampai pada masa pasca
ke-Nabi-an dengan berbagai pendapat untuk dipraktikkan pada komunitas tertentu.[71]
2. Kajian Living Hadis
Kajian tradisi dan budaya
sangat menarik perhatian publik karena memiliki khas atau keunikan yang tidak
dimiliki oleh mayarakat muslim yang lain. Dalam kehidupan masyarakat Islam,
muncul persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan dan perkembangan dalam
mengaplikasikan ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw ke dalam
konteks ruang dan waktu yang berbeda. Kebudayaan berkembang dari generasi ke
generasi dalam kehidupan bermasyarakat dan tetap terjaga dan dipelihara karena
sejalan dengan ajaran agama, seperti tradisi sekar makam atau istilahnya ziarah
kubur.Tradisi tersebut merupakan bentuk aplikasi living hadis meskipun tradisi
ziarah kubur tersebut disebut sebagai prosesi menabur bunga pada saat ziarah
kubur.Ziarah kubur juga disebut sebagai bentuk ibadah. Bukan hanya ibadah
shalat saja yang disebut ibadah, akan tetapi ziarah kubur juga disebut dengan
ibadah meskipun bertujuan untuk mendapatkan ibrah atau pelajaran darinya dalam
mengingat akhirat. Ziarah kubur diperbolehkan asalkan perkataan-perkataan
tersebut tidak berbuat syirik, misalnya berdo’a memohon pertolongan
kepadanya.Namun, seiring berjalannya waktu ketika aqidah sudah kuat dan
memiliki pemahaman beserta pengetahuan yang cukup, Rasulullah membolehkan kaum
muslimin untuk berziarah kubur atas dasar Rasulullah saw mengukur tingkat
pemahaman keilmuan umatnya.
Tradisi adalah sesuatu
yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
dari suatu kebudayaan atau agama yang sama dan berlangsung secara turun
temurun, baik melalui informasi maupun cerita yang menjadikan suatu kebiasaan
yang berkembang di masyarakat sebagai adat kebiasaan ataupun ritual adat atau
agama. Selain itu, tradisi juga diartikan juga sebagai adat kebiasaan turun
temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat sampai sekarang.[72]
Menurut Muhammad Abed
Al-Jabiri, kata turats (tradisi) dalam bahasa Arab berasal dari unsur-unsur
huruf wa ra tha, yang dalam kamus klasik disamakan dengan kata-kata irth,
wirth, dan mirath, yang menunjukkan arti “segala sesuatu yang diwarisi manusia
dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau keningratan”.[73] Sebagaimana
sistem budaya, tradisi akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku
dan tidak jauh dari sumber nilai dan gagasan utama. Sistem tersebut akan
terwujud dalam sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi. Sistem
ideologi yang dimaksudkan di sini merupakan etika, norma, dan adat-istiadat,
yang berfungsi sebagai pengarahan atau landasan terhadap sistem sosial yang
meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakat.
Misoginis
seringkali diartikan dengan kebencian terhadap kaum perempuan, istilah ini
pertama kali dikeluarkan oleh Fatimah Mernissi dalam bukunya Women And
Islam: an Historical and Theological Inqury, untuk menunjukkan terhadap
hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derajat perempuan. Dalam hal
ini, penulis mengambil contoh dua hadis yang berhubungan dengan misoginis.
1. Kepemimpinan Perempuan
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ
حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ
الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ
اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ
بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً
Artinya:
Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia
mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut terlibat
dalam peristiwa perang
Jamal (Unta). Yaitu ketika
disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa
Persia telah mengangkat
anak perempuan Kisra sebagai
penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan
pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan. (HR. Bukhari)[74]
Menurut
Ibn Hajar Al-Asqâlani sebagaimana ia kutip dari al-Khaththabi berkata, “dalam
hadis ini terdapat keterangan bahwa perempuan tidak dapat diangkat menjadi
pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan
dirinya, dan tidak berhak menikahkan selainnya”, namun pernyataannya kurang tepat.
Mengenai larangan seorang perempuan memegang kekuasaan pemerintahan dan hakim
adalah pendapat jumhur. Namun, ath-Thabari memperbolehkannya, dan ini adalah
salah satu riwayat dari Imam Malik. Adapun Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum
perempuan menjadi hakim dalam perkara-perkara yang diterima kesaksianya. dan
Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, mengenai masalah
kepemimpinan perempuan ini juga memberikan pandangan yang sama, dengan mengutip
dari al-Khaththabi.[75]
Sedangkan,
Penjelasan al-Hafiz Jâlal al-Din al-Suyûthî terhadap hadis ini memang sangat
singkat, kerena kitab syarh beliau
ini termasuk syrah ijmâlî. Kitab yang menjelaskan suatu hadis
secara ringkas, sehingga maksud hadis tersebut dapat kita pahami dengan cepat. Pemahaman
beliau terhadap hadis ini dapat kita simpulkan bahwa beliau melarang
kepemimpinan perempuan dengan pernyataan tidak akan bagus menyerahkan perkara
kepada perempuan dengan mengemukakan pernyataan dari Abi Bakrah yang mengatakan
tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan.[76]
2. Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli
Neraka
حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد بن جعفر قال أخبرني
زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال خَرَجَ رَسُوْلُ
اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ
اْلمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَامَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ
فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَارَسُوْلَ
اللَّهِ قاَلَ تُكْثِرْنَ الَّلعْنَ وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ
نَاقِصَاتٍ عَقْلِ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ اْلحاَزِمِ مِنْ
إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَارَسُوْلَ اللَّهِ
قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ
بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ
تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
Artinya: Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia
berkata, Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu
saya, dia adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas
Abu Saeed Al-Khudri,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya
‘Idul Adlha atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat
shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita!
Hendaklah kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah
yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai
Rasulullah?” beliaupun menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari
pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang
akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya
lagi: “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?”
Beliaupun menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari
persaksian laki-laki?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah
kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak
shalat dan puasa?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan
agamanya”.[77]
Ibn
Hajar menjelaskannya dengan menerangkan makna kalimat-kalimatnya terlebih
dahulu, seperti فِى
أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى (pada idul adha atau idul fitri),
keraguan antara idul fitri dan idul adha ini bersumber dari perawi hadis, فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ (menuju tempat shalat, lalu beliau
melewati kaum perempuan), ketika Nabi melewati kaum perempuan ini Nabi memberikan nasehat kepada mereka agar bersedekah. أُرِيْتُكُنَّ (kalian telah diperlihatkan kepadaku),
maksudnya Allah swt telah memperlihatkan kepada nabi pada waktu isra’ dan
mi’raj bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ (dan ingkar terhadap suami) yakni
mereka tidak menunaikan hak suami atau lebih dari itu. مِنْ نَاقِصَاتٍ (orang yang kurang) hal ini
merupakan sebagian dari masalah yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas
penghuni neraka. أَذْهَبَ (menghilangkan), yakni sangat
hebat dalam mempengaruhi,
لِلُبِّ lebih khusus daripada akal, dimana لِلُبِّ merupakan intisari
daripada akal itu sendiri. وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا (kami berkata dimana letak kurangnya
agama kami), sepertinya hal itu tidak mereka ketahui sehingga perlu
ditanyakan, padahal pertanyaan ini juga merupakan bukti kekurangan mereka.
Sebab kaum perempuan tersebut menerima ketiga perkara yang dinisbatkan oleh
Nabi saw kepada mereka; yaitu banyak melaknat,
ingkar terhadap suami serta menghilangkan atau merusak hati seorang
laki-laki. Kemudian mereka sulit memahami kekurangan yang ada pada diri mereka.
لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ (apabila ia haid tidak shalat dan tidak
pula puasa), kalimat ini mengisyaratkan bahwa perempuan haid tidak
shalat dan tidak pula puasa telah ditetapkan berdasarkan hukum syariat sebelum
adanya kejadian ini.[78]
Menurut kaum feminis, Hadis di atas berhasil memposisikan
perempuan sebagai kebanyakan
penghuni neraka, jika dilihat
dari bunyi teks hadisnya. Alasannya karena mereka mengingkari dan menolak
kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya sekarang secara kapasitas penduduk bumi
ini lebih didominasi dan lebih banyak perempuan dari pada laki- laki. Dengan
demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa kebanyakan penduduk bumi
adalah calon ahli neraka.
Mereka menambahkan, jika hal itu adalah benar, tentu perintah
Allah swt yang disampaikan dalam
al-Quran untuk selalu
berlomba-lomba dalam kebaikan
tidak lagi berlaku karena sudah
dicap sebagai penghuni neraka. Faktanya sekarang ini, perempuan baik sangat
mudah ditemukan dari pada perempuan yang tidak baik. Terlebih lagi sekarang
ini, laki-laki yang jahat sangat mudah ditemukan dibandingkan laki-laki yang
baik. Apabila ditemukan perempuan yang berlaku immoral, tentu salah satu
faktornya adalah karena laki- laki. Kasus PSK misalnya, dapat diminimalisir bahkan dihapuskan apabila
tidak ada laki- laki yang berbuat nakal. Kasus KDRT juga dapat dihindari
apabila pihak laki-laki dapat menyadari tugas dan fungsinya sebagai suami atau
seorang ayah. Oleh sebab itu, perempuan tidak dapat disalahkan secara penuh,
tentu ada pihak-pihak lain yang menyebabkan mereka masuk neraka.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Santri Pondok Pesantren
Azzakariyah Terhadap Hadis-Hadis Misoginis
Pembahasan
hadits misoginis selalu diperbincangkan dan menjadi pembahasan yang unik
berbarengan dengan mencuatnya pembahasan tentang aktivitas gender dan hak asasi
manusia. Banyaknya hadits yang dinilai oleh penggiat feminis sebagai hadits
misoginis, terutama hadits terkait dengan posisi dan kehidupan perempuan yang terdapat
dalam hadits.
Dalam
pembahsan ini, penulis mencoba mengambil dua hadis
sebagai bahan untuk penelitian terhadap pemahaman
santri pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang
Desa Muaro Panco Timur Kecamatan Ranah Pembarab Kabupaten Merangin Provinsi
Jambi terhadap hadis-hadis misoginis.
1. Perempuan Tidak Boleh Menjadi Pemimpin
Hadis
perempuan menjadi seorang pemimpin masih menjadi sorotan tersendiri dikalangan
santri. Mungkin karena sudah menjadi doktrinasi yang sudah umum tentang
kelayakan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin harus dipertanyakan,
sehingga perempuan sering kali dilecehkan dan dianggap tidak mampu untuk mejadi
seorang pemimmpin.
Sebagai contoh hadis shahih Bukhari, Juz IV, no. 4163, 1610.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ
حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ
الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ اْلجُمَلِ
فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتُ كِسْرَى قَالَ
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً
57
Menurut pemahaman para
ulama hadis, khususnya para pensyarah hadis, seperti Imam Ibnu Hajar
al-Asqalâni yang terkenal dengan kitab beliau Fath al-Bâri, mengatakan bahwa
hadis tersebut berkaitan dengan kerajaan Persia yang waktu terjadi perebutan
kekuasaan oleh anaknya. Namun, tidak lama memerintah ia pun meninggal dan
digantikan oleh anak perempuannya. Maka tidak lama kerajaan itu pun hancur.
Tentang masalah larangan perempuan menjadi pemimpin, menurut beliau itu hanya
pendapat jumhur ulama, Imam At-Thabari dan Abu Hanifah tidak sependapat dengan
hal itu.
Sementara dalam pandangan
santri pondok Azzakariyah Talang
Sengkuang mengenai hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan
tidak menjadi pemimpin karena perempuan lebih mengutamakan perasaan dari pada
akal[80].
Hasil wawancara penulis
dengan dengan santriwati kelas VI di pondok Azzakariyah
Talang Sengkuang bernama Yusmawati
mengatakan :
“Menurut kami bahwa seorang perempuan
tidak layak menjadi seorang pemimpin karena laki-laki lebih baik untuk menjadi
seorang pemimpin. Alasannya adalah karena perempuan lebih mengedepankan perasaan dari akalnya
sementara laki-laki lebih mengedepankan akalnya dari pada perasaanya”.[81]
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa santriwati di
atas sangatlah jelas bahwa mereka beranggapan bahwa perempuan tidaklah menjadi
proritas menjadi pemimpin.
Pendapat
lain dari wawancara penulis dengan santriwati yang lain yang bernama Indrawati
berpendapat :
“Menurut
kami perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin
diranah publik. Namun tidak untuk konteks di ranah rumah tangga karena alasan
perempuan lebih mengedepankan perasaan. Jadi perempuan bukan tidak boleh
menjadi pemimpin, hanya konteks di mana dan kapan perempuan itu bisa menjadi
pemimpin”[82].
Lebih lanjut penulis
mewancarai Amelia Sartika salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah
beliau mengatakan :
“Menurut
saya untuk memahami hadis yang berkaitan dengan pendapat kita tidak boleh memahaminya secara tekstual, kita harus juga mehaminya secara kontekstual artinya mari kita telusuri sebab musabbab atau asbabul wurud dari turunnya hadis ini, menurut pendapt saya
hadis misoginis ini ialah peristiwa ketika raja persia kisra wafat dan dia tidak mempunyai
keturunan laki-laki karena anak-anaknya adalah perempuan dan ketika wafat yang
harus menggantikan harus keturunannya sehingga di ketahui oleh Rasulullah dan
keluarlah hadis ini karena nabi mengetahui kalau anak kisra tidak punya
kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin.”[83].
Lain
lagi halnya pendapat Salmawati seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah beliau
mengatakan :
“Boleh saja kita
memahami hadis ini dengan beda pendapat, menurut saya adanya banyak tafsir atau
penjelasan para ulama’ hadis mengenai hadis misoginis ini, menurut saya bukan berarti
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hanya saja tempat dan masanya saja yang
harus dipahami, misalnya perempuan bisa saja menjadi pemimpin dalam urusan PKK atau
usurusan majlis ta’lim pengajian ibu-ibu”.[84]
Pada
pendapat lain saat penulis mewawancari Murniwati seorang santriwati pondok
pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :
“Layak atau tidaknya
seorang perempuan menjadi pemimpin harus dilihat dulu dari kapasitas
kemampuannya, artinya perempuan juga boleh menjadi seoarang pemimpin asalkan
ada kapasitas kemampuannya. Namun tidak semua jabatan atau kepemimpinan, sebagai contoh menajdi imam
sholat, perempuan tidak boleh mengimami laki-laki, terkecuali menjadi imam
sesama perempuan”[85].
Menurut pengamatan penulis bahwa hadis
ini terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebleum menjadikannya sebagai
hukum untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Karena dari segi status hadis
yang ahad, keluarnya hadis 25 tahun setelah Nabi wafat dan saat konflik antara
Aisyah ra. dan Ali ra. dan hadis itu terkait konteks kerajaan Persia.
Hadit
tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk melarang perempuan menjadi pemimpin.
Karena yang penting dari seorang pemimpin adalah bersikap adil, memiliki ilmu
yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad, sehat jasmani, tidak cacat tubuh,
mampu mengatur, dan gagah berani. Jadi apabila memiliki sifat-sifat tersebut
baik laki-laki maupun perempuan, maka ia pantas untuk menjadi pemimpin. Di
samping itu hadis ini hanya dalam bentuk pemberitahuan tentang
kelanjutan dari kisah Raja Kisra yang menyobek-nyobek surat dari Nabi Muhammad
saw. yang kemudian kerajaan tersebut hancur karena dipimpin oleh anak
perempuannya. Sebagaimana do’a Nabi saw. melihat dari konteks sejarah tersebut,
maka hadis ini tidak dapat dijadikan legitimasi hukum untuk melarang
kepemimpinan perempuan. Karena terdapat banyak pemimpin perempuan yang sukses.
Imam
Al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Utsman bin Haitsam, yang
bersambung sampai sahabat Abu Bakrah yang bernama asli Nafi’ bin Al-Harits. Ada
juga jalur periwayatan yang dimuat oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Muhammad bin
Al-Mutsanna. Untuk redaksi matan hadis seperti di atas, mayoritas merujuk pada
Abu Bakrah.
Secara
status hadisnya sendiri, para ulama menyepakati bahwa ia berkualitas shahih.
Salah satu konsekuensi hadis yang dihukumi shahih adalah ia dapat menjadi dasar
hukum atau hujjah dalam syariat. Para ulama, kkhususnya ahli hadis dan ahli
fiqih tentang makna riwayat Abu Bakrah tersebut. Para muhadditsin sudah
menyepakati keshahihannya, salah satunya karena telah memenuhi standar Imam
Al-Bukhari. Imam At-Tirmidzi juga menyebutnya hadis hasan shahih.
Asbabul
wurud atau sebab dituturkannya hadis tersebut oleh Abu Bakrah adalah ketika
konflik politik meruncing antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abu
Thalib, yang menjadi pemicu Perang Jamal pada tahun 36 H. Posisi politik Abu
Bakrah sendiri disebutkan tidak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah, dan
mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi di atas.
Para
pensyarah hadis menjelaskan peristiwa apa yang menyebabkan Nabi berujar
demikian. Alkisah, negeri Kisra-salah satu bagian dari negeri-negeri
Persia-memiliki seorang raja yang terbunuh, buah dari konflik internal
kerajaan. Rupanya, pembunuh sang raja adalah anak lelakinya sendiri. Intrik
demi intrik terjadi dalam kerajaan, dan singkat cerita diputuskan untuk
mengangkat raja dari anak perempuan sang Kisra.
2. Kebanyakan
Perempuan Menjadi Ahli Neraka
Tradisi
Islam, pemahaman teks-teks keagamaan biasanya dilakukan oleh mereka yang
memiliki otoritas keagamaan seperti ulama. Karena memiliki otoritas keagamaan,
pemahaman mereka kemudian dinilai sebagai pemahaman yang memang sudah
semestinya dan harus diterima sebagai pemahaman yang benar.
Dari
berbagai macam hadis misoginis, penulis
ini lebih memfokuskan pembahasannya kepada hadits yang disinyalir paling
sering dikomentari kaum feminis, salah satunya adalah hadis yang menyatakan
bahwa perempuan adalah mayoritas penghuni neraka.
حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد
بن جعفر قال أخبرني زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال
خَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى أَوْ
فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَامَعْشَرَ
النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ
وَبِمَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ قاَلَ تُكْثِرْنَ الَّلعْنَ وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتٍ عَقْلِ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ
اْلحاَزِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا
يَارَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفُ
شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ
مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
Artinya:
Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata,
Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia
adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed
Al-Khudri, katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul
Adlha atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat,
beliau melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah
kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling
banyak menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?”
beliaupun menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian
suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih
cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai
Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun
menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian
laki-laki?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan
akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan
puasa?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[86]
Hadis di atas tentunya beragam pendapat dari sisi konteksnya.
Hadis di atas jika dipahami secara sempit jelaslah bahwa perempuan sangat
dirugikan, karena sudah barang tentu mereka beranggapan akan masuk neraka.
Namun jika dipahami lebih dalam, hadis tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan
perempuan masuk neraka tetntunya ada sebabnya.
Pandangan santriwati di pondok
pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis diatas juga berbeda
pendapat. Karena menurut mereka memahami hadis tidak hanya secara tekstual
namun juga dipahami secara konteksual.[87]
Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan
santriwati yang bernama Yusmarni dan Hani’ah mereka mengatakan:
“Menurut
pendapat kami tentang banyaknya perempuan masuk neraka itu karena perempuan
yang tidak patuh kepada suaminya, disini tentu sangat jelas bahwa istri yang
tidak patuh atau taat kepada suaminya sudah pasti masuk neraka. Namun kita
harus pahami bahwa patuh atau taat kepada suami itu adalah dalam hal kebaikan
dan ketaatan kepada Allah, namun jika patuh dalam kezoliman atau keburukan,
kita sebagai istri wajib untuk tidak mentaatinya. Jadi konteks hadis ini adalah
sesorang istri wajib patuh kepada suami jika itu dalam kebaikan”[88].
Pada
sisi lain mengenai hadis diatas, di mana perempuan juga
dijelaskan sebagai makhluk yang kurang berakal dan sedikit pemahaman agamanya.
Alasan mereka mengatakan perempuan kurang akalnya adalah karena kesaksiannya
dinilai setengah daripada kesaksian laki-laki. Padahal Allah Swt. Telah
memberikan setiap manusia kelebihannya sendiri-sendiri.
Lain lagi
pendapat Irma salah seorang santriwati pondok pesantren
Azzakariyah beliau mengatakan :
“Perempuan
dianugerahi kelebihan dengan menonjolkan perasaan yang tinggi dan rasa iba yang
dalam serta rasa kasih sayang yang luar biasa. Sedangkan laki-laki diberi
kelebihan ketabahan dalam menghadapi kesulitan tanpa ada rasa ketakutan.
Bagaimana perempuan dapat dikatakan memiliki kekurangan akal, sedangkan pada
masa Nabi Saw. Hidup, perempuan lebih sering berperan dalam urusan rumah
tangganya dan mereka jarang sekali terlibat dalam urusan sosial masyarakat atau
publik, sehingga ingatan kaum perempuan menjadi lemah karena jarang digunakan
untuk memikirkan urusan sosial atau publik yang kompleksitas. Hal itu
dikarenakan urusan publik yang paling dominan saat itu adalah soal
hutang-piutang dan lebih banyak dilakukan oleh pihak laki-laki”[89].
Menurut
pandangan penulis, hadis di atas berhasil memposisikan perempuan sebagai
kebanyakan penghuni neraka, jika dilihat dari bunyi teks hadisnya. Alasannya
karena mereka mengingkari dan menolak kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya
sekarang secara kapasitas penduduk bumi ini lebih didominasi dan lebih banyak
perempuan dari pada lakilaki. Dengan demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa
kebanyakan penduduk bumi adalah calon ahli neraka.
Hadis di atas disampaikan oleh Nabi pada saat khutbah salat hari raya,
sebelumnya Nabi memerintahkan seluruh perempuan untuk pergi menuju lapangan
tempat melaksanakan salat id, Nabi berkata bahwa beliau akan memberikan nasihat
khusus untuk perempuan dan akan mengabarkan kabar gembira untuk mereka.
Abu Syaukah memberikan komentar
terhadap hadis ini, menurutnya hadis ini merupakan hadis
khusus yang tidak bisa digeneralisasikan. Hadis ini khusus di sampaikan oleh
Nabi kepada para perempuan ansor yang pandai berbicara. Abu syaukah juga
berpendapat bahwa hadis tersebut diucapkan oleh nabi dalam khutbah salat id.
Keadaan ini menyatakan bahwa pada saat itu nabi sedang berada pada posisi yang
tenang, dan tidak marah. Disamping itu Nabi juga merupakan seorang yang
penyayang terhadap istri- istri dan anak-anaknya.
Pada awalnya Nabi memerintahkan
perempuan untuk bersedekah, hal ini dikarenakan perempuan pada masa Nabi lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak- anaknya, sehingga tidak
memungkinkan mereka untuk bersedekah. oleh karena itu Nabi memerintahkan
seluruh wanita baik yang sedang haid ataupun suci untuk berkumpul di lapangan
agar dapat bersedekah dan dapat mendengarkan fatwa Nabi.
Teks hadis di atas disebutkan bahwa
penyebab wanita menjadi penghuni neraka adalah karena tidak mensyukuri harta
suaminya. Dalam tradisi arab, seorang istri menjadi ratu dalam rumahnya,
sedangkan suami bertanggung jawab atas segala kebutuhan dan urusan dalam rumah
tangga. Posisi perempuan yang menjadi ratu di rumah menuntut mereka untuk taat
kepada suami. Sehingga nabi sangat marah saat perempuan melaknat suaminya.
Bahkan nabi pernah berkeinginan untuk memerintahkan perempuan bersujud kepada
suaminya. Hal ini dikarenakan betapa sangat besar peran yang ditanggung oleh
suami terhadap istri kala itu.
Hadis di atas juga disebutkan bahwa
perempuan memliki akal yang kurang, yaitu dalam persaksian. Demikian juga
dengan tidak layak jika wanita dianggap kurang agamanya hanya
karena mereka nifas saat melahirkan dan sering menstruasi tiap bulannya. Mereka
mengalami rutinitas seperti itu karena sudah menjadi garis alam dan tidak dapat
dihindari. Tidak etis dikatakan orang yang berdosa perempuan yang mengalami
nifas atau haid, sehingga disebut sebagai penghuni neraka. Tentu Allah SWT Maha
Pemurah dan Maha Penyayang sehingga perempuan mendapat keringanan dari Allah
untuk tidak selalu melaksanakan shalat pada masa haidnya, dan Allah tidak akan
mengingkari ketentuan tersebut.
Melihat relevansi hadis dengan
situasi munculnya saat itu atau asbābu al-nuzūlnya, pernyataan
ini dikemukakan oleh Rasulullah saw dalam hadits tersebut beliau memperingatkan
kaum perempuan pada saat hari raya. Audien yang diajak berdiskusi saat itu
adalah perempuan penduduk Madinah yang mayoritas dari golongan kaum Anshar.
Saat itu perempuan-perempuan Anshar mendominasi terhadap laki-laki, sedangkan
perempuan Muhajirin saat itu tidak lebih mendominasi dari kaum laki-laki.
Jadi maksud Hadis tentang perempuan
yang kurang akal dan agama menurut Ulama Hadis yang menyebabkan perempuan
banyak menjadi penghuni neraka dikarenakan banyak melaknat, ingkar tehadap
suami dan kekurangan pada diri mereka yaitu kekurangan akal dan agama. Maksud
penyebutan kekurangan perempuan bukan untuk mencela akan tetapi memberi
peringatan agar sesorang tidak terfitnah oleh mereka. Sehingga azab tidak
terkait dengan kekurangan mereka akan tetapi atas pengingkaran mereka.
Sebaliknya juga, kekurangan akal dan
agama pada perempuan tidak bisa dijadikan alasan untuk merendahkan perempuan,
karena banyak para perawi hadis dari kalangan perempuan seperti Aisyah dan
sebagainya. Letak kekurangan akal itu hanya pada persaksian, sedangkan pada hal
lain mungkin saja perempuan lebih unggul dan letak kekurangan agama adalah
tidak shalat dan puasanya perempuan pada saat haid. Hal ini merupakan ketaatan
kepada aturan agama dan haid atau nifas tidak terjadi sepanjang hidup sehingga
tidak dapat dijadikan alasan kekurangan agama pada perempuan.
B.
Konstruksi Hadis Misoginis Terhadap
Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
Pesantren
adalah gudang ilmu agama, di mana tempat para santri mencari ilmu. Namun,
terkadang ada beberapa permasalahan dalam metode pembelajaran yang
digunakannya. Misalnya, dalam mengajarkan hadits, banyak para ustadz atau
ustadzah dalam mengajarkan kitab-kitab hadis dengan metode ceramah, tanpa
mementingkan penjelasan secara mendalam tentang maksud dari hadits tersebut.
Sehingga kadang dalam pemikiran santri masih timbul pertanyaan tentang tafsir
hadits yang masih berbau misoginis.
Hadis
seakan menjadi sarapan utama para santri setelah al-qur’an, karena hadits
adalah sumber hukum kedua dalam islam setelah al-qur’an. Hadis banyak terbagi
menjadi bermacam-macam, dari segi kualitas saja hadis terbagi menjadi tiga,
yakni hadis shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Ada banyak hadits yang
dipelajari dalam pondok pesantren, kadang matannya jelas sehingga memebaca
secara tekstual saja sudah bisa memahami maksud dari hadits tersebut, namun
terkadang ada pula yang secara tekstual tidak sesuai dengan maknanya. Misalnya
hadis-hadis misoginis yang secara tekstual seakan-akan memojokkan kaum
perempuan, sehingga banyak dari para santri yang menerima hadits tersebut
secara mentah-mentah karena masih belum terlalu faham maksud sebenarnya dari
hadis tersebut.
Adapun konstruksi hadis misoginis terhadap kehidupan santri pondok pesantren
Azzakariyah adalah sebagai berikut :
1. Memahami hadis secara kontekstual.
Dalam
proses kontruksi hadis ini, penulis mengamati proses eksternalisasi terjadi
pada metode pembelajaran hadis yang digunakan ustadz atau ustazah dalam
menyampaikan hadis misoginis yaitu metode membaca dan presentasi. Dengan dua
metode ini, proses ekternalisasi terjadi antara satu individu dengan individu
yang lain. Dengan dua metode pembelajaran tersebut, penulis mengamati masih
terlalu banyak kekurangan dalam memahami hadis, termasuk memahami hadis-hadis
misoginis yang pastinya membutuhkan pemaknaan atau interpretasi.[90]
Wawancara penulis dengan beberapa santriwati
kelas VI di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mereka adalah Risma,
Yolanda dan Intan mengatakan :
“Metode yang
digunakan ustaz dalam mengajarkan hadis di pondok pesantren Azzakariyah Talang
Sengkuang ini adalah metode membaca dan metode presentasi. Akan tetapi
keterbatasan waktu dan kurang kondusifnya pemebelajaran, seringkali ustadz
hanya membacakan hadis tanpa memberikan interpretasi yang jelas terhadap makna
hadis tersebut. Dari sinilah banyak terjadi pemaknaan yang berbeda dalam
memahami hadis-hadis mosoginis, sehingga menjadikan tindakan praktis dalam
kehidupan kesehariannya yang selalu memandang laki-laki lebih superioritas dari
pada perempuan dalam segala hal”[91].
Dari hasil
wawancara penulis di atas, tentunya pemahaman santri terhadapat pemahaman
hadis menjadi berbeda-beda, karena penggunaan metode yang kurang pas dalam mempelajari
hadis sering menimbulkan interpretasi yang salah dalam memahami hadis
terhadap pemahaman santri. Pemahaman-pemahan seperti ini dapat mengakibatkan
lahirnya sifat atau gender stereotype yang dapat menimbulkan adanya bias gender
di pesantren.
2. Pandangan santri terhadap hadis-hadis misoginis
Pada proses pemahaman
mengenai hadis-hadis misoginis, para santri berbeda pendapat
dalam memahami hadis-hadis misoginis tersebut. Hal
tersebut adaya anggapan sebahagian santri bahwa perlu adanya penjelasan lebih
mendalam dari para ulama’ atau ustaz yang mengajar untuk lebih lebih mendetail
menganai syarah hadis-hadis misogini.[92]
Lebih lanjut
hasil wawancara penulis dengan Darmala salah seorang santriwati pondok
pesantren Azzakariyah mengatakan :
“Mengenai hadis-hadis
misoginis tentunya kita harus banyak bertanya dan berdiskusi dengan para guru
atau membaca buku-buku syarah hadisnya. Menurut pendapat saya jika kita kurangnya memahami konteks hadis itu dapat menjadi pemicu terjadinya bias gender
dikalangan pondok pesantren, hal ini diakibatkan adanya kesalahan interpretasi dari makna hadis yang
sebenarnya”[93]
Lain
hal nya pendapat Istiqomah santriwati pondok pesantren Azzakariyah mengatakan :
“Menurut pendapat
saya, di mana dalam memahami hadis misginis terutama dalam interkasi
sosial tentu adanya muncul pikiran dan konsep diri aktor yang merupakan bagian esensi dalam
tindakan sosial, sehingga mereka saling mempengaruhi, menyesuaikan diri dan
saling mencocokkan tindakan mereka. Interaksi sosial dalam pandangan
interaksionisme simbolik tersusun atas tiga entitas, anatra lain tindakan
sosial bersama, bersifat simbolik, dan
melibatkan pengambilan peran”[94].
Dari hasil wawancara
penulis diatas sangatlah jelas bahwa pemahaman hadis-hadis misoginis tersebut
akan mengalami internalisasi pada pikiran dan konsep diri para santri pondok
pesantren Azzakariyah. Karana komunikasi santri terus menerus akan menggunakan
simbol. Ketika santri berinteraksi dengan lawan jenis maka akan
menginterpretasi simbol-simbol yang mereka lihat dari individual lain.
C.
Dampak Hadis Misoginis Terhadap
Terhadap Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah
Dalam
proses kontruksi sosial ini, dampak hadis misogonis terhdap kehidupan
santri di pondoke pesantren Azzakariyah, penulis mengamati
bahwa proses
eksternalisasi terjadi pada metode pembelajaran hadis yang digunakan ustadz
dalam menyampaikan hadis misoginis yaitu metode membaca dan presentasi.
Dengan dua metode ini, proses ekternalisasi
terjadi antara satu individu dengan individu yang lain. Dengan dua metode
pembelajaran tersebut, penulis mengamati masih terlalu banyak kekurangan dalam
memahami hadis, termasuk memahami hadis-hadis misoginis yang pastinya
membutuhkan pemaknaan atau interpretasi yang
jelas agar para santri tidak salah dalam memahami maksud dari hadis-hadis
tersebut.
Pengamatan
penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang menemukan bahwa proses
kontruksi sosial dalam kehidupan santri dalam fase ekternalisasi ini terjadi
pada metode pembelajaran hadis yang digunakan,
sehingga menyebabkan adanya kesalahan
interpretasi dalam pemahaman hadis.[95]
Pada
kehidupan seahari-hari para santriwati di pondok pesantren Azzakariyah,
misalnya dalam contoh rapat OSIS yang di laksanakan oleh santri putra dan
putri, di mana dalam proses interaksi tersebut ada proses eksternalisasi
tentang pengambilan peran dan superioritas santri putra terhadap santri putri.
Para santri putri masih terlalu takut dalam mengambul keputusan dan ada
kecenderungan untuk selalu bergantung pada kuputusan santri putra. Begitu juga
contoh lain dalam kebijakan utusan perlombaan yang di delegasikan, bahwa santri
putri masih memiliki peran yang sangat kurang dan cenderung mengutamakan santri
putra.
Wawancara penulis dengan Juwita Wulandari santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan
:
“Menurut saya bahwa identitas
kepribadian seorang perempuan
akan benar-benar terbentuk tentang anggapan kelayakan perempuan menjadi seorang
pemimpin, karena perempuan itu
adalah makhluk yang lemah, perempuan adalah sumber
fitnah dan banyak anggapan lain nya yang cenderung pada arah deskriminalisasi
yang menuju pada proses terjadinya bias gender di pesantren”[96].
Lain halnya pendapat Intan Nur Aini santriwati
pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :
“Kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin perlu adanya kajian yang
mendalam, sebagai contoh rapat OSIS yang di laksanakan oleh
santri putra dan putri, di mana dalam proses interaksi tersebut ada proses
eksternalisasi tentang pengambilan peran dan superioritas santri putra terhadap
santri putri. Para santri putri masih terlalu takut dalam mengambul keputusan
dan ada kecendrungan untuk selalu bergantung pada kuputusan santri putra”[97].
Pendapat lain menurut Zahrah santriwati pondok
pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :
“Memahami hadis
mengenai toleransi
dengan struktur pemikiran yang berpusat
pada teks
(bayani), interpretai (burhani), dan
penyingkapan terhadap segala
rahasia Allah
(irfani), dapat memberikan
dampak yang
signifikan terhadap pemahaman mengenai pendidikan santri. Dampak tersebut dapat dilihat pada beragam
pendapat mengenai hadis misoginis”.[98]
Hasil wawancara penulis diatas
menunjukkan bahwa pemahaman santri
tentang hadis-hadis misoginis akan berlanjut pada proses internalisasi yang
pada fase sebelumnya mengalami ekternalisasi. Hal ini akan mengalami alur yang
pajang dan akan terus berkelanjutan hingga terciptanya fase obyektifasi.
Disamping itu pemahaman para santriwati yang
terlalu tekstual dalam memahami hadis-hadis misoginis, sehingga aktivitas para
santri adalah legitimasi pranata sosial yang akhirnya mencapai generalitas yang
disebut pandangan hidup.
Ideologi santriwati dengan menganggap perempuan
hanyalah sekedar makhluk yang lemah tidak bisa terbantahkan.
Kontruksi hadis misoginis terhadap kehidupan
santriwati tentang gender mengakibatkan lahirnya
sifat stereotype.
Dari tiga fase tersebut akan lahir sebuah
kontruksi tentang hadis misoginis terhadap kehidupan para santri. Lahirnya
sifat konservatif, subbordinatif, stereotype, dan ketidaksetaraan akan terjadi
pada kehidupan santri. Santri putra akan selalu merasa superior dari pada
santri putri, hal ini terbukti pada jumlah tenaga pengajar di Pondok Pesantren
Azzakariyah yang mayoritas diakuisi oleh laki-laki, sistem pengambilan
kebijakan ketika pendelegasi lomba, pengambilan keuputusan rapat OSIS maupun
sarana prasarana.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan pada bab diatas mengenai Kajian Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren
Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok Pesantren
Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin) dapat penulis mengambil
kesimpul sebagai berikut :
1. Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap
Hadis-Hadis Misoginis dimana penulis
mengambil dua hadis sebagai bahan untuk penelitian pertama
yaitu hadis tentang Perempuan
Tidak Boleh Menjadi Pemimpin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
pandangan santri pondok Azzakariyah Talang
Sengkuang mengenai hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan
tidak menjadi pemimpin karena perempuan lebih mengutamakan perasaan dari pada
akal kedua hadis tentang Kebanyakan Perempuan Menjadi Ahli Neraka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan
santriwati di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis
diatas juga berbeda pendapat. Karena menurut mereka memahami hadis tidak hanya
secara tekstual namun juga dipahami secara konteksual.
71
3. Dampak Hadis misoginis terhadap terhadap kehidupan santri
pondok pesantren Azzakariyah adalah pemahaman
para santriwati yang terlalu tekstual dalam memahami hadis-hadis misoginis,
sehingga aktivitas para santri adalah legitimasi pranata sosial yang akhirnya
mencapai generalitas yang disebut pandangan hidup.
B. Saran
Penelitian
ini sudah menjelaskan kajian living hadis mengenai pemahaman santri tetntang
hadis misoginis Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
baik dari aspek pemahaman, aspek hadis maupun dari aspek dampaknya.
Namun
penelitian ini tentunya masih membuutuhkan penjelasan lanjut untuk menjelaskan
faktor yang memberi kekeliruan pemahaman hadis misoginis. Untuk itu peneliti
sampaikan berupa saran kepada guru dan santri khusus dan pembaca umumnya.
1.
Kajian living hadis merupakan satu
kajian yang masih sangat terbuka terhadap bentuk penelitian dalam bidang hadis.
Di samping itu, memang masih belum ada kesepakatan dalam model metode dan
analisisnya. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk memancing dan memantik
diskursus kajian living hadis di Indonesia
2.
Setelah peneliti mengamati pemahaman
santriwati terhadap kajian living hadis khususnya mengenai hadis misoginis di
Pondok Pesantren Azzakariyah, hendaknya janganlah memahami hadis secara
tekstual saja, hendaklah kalian pahami betul apa yang diajarkan guru sehingga
tidak ada lagi ada perbedaan pendapat dalam memahami sebuah hadis. Begitu juga
guru yang mengajar hadis kiranya dapat mengajarkan hadis kepada santri dan
santriwati dengan memberikan pemahaman yang tidak menimbulkan pemahaman
negatif, apalagi hadis yang menyangkut misogonis sehingga tidak menimbul
pemahaman yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Arifullah, Mohd. et. al., Panduan Penulisan Karya Ilmiah: Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003)
Fathoni, Abdurrahman, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011)
Fauziah, Siti, “Pembacaan al-Qur’an Surat-Surat Pilihan Di Pondok Pesantren Putri Daar
al-Furqon Janggalan Kudus”, Skripsi (Yogyakarta: Program Sarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014)
Fudhaili, Ahmad, Pemahaman Misoginis dalam
Hadis, (Fudhaili Online Blogspot, 2010), diakses pada: http://kritikhadits.com, tanggal 13 Desember 2021)
Fudhaili, Ahmad. Perempuan
Di Lembaran Suci; Kritik atas Hadis-hadis Shahih. (Jakarta: Kementran Agama
RI, 2012)
Hadis, Shahih Bukhari, Juz
IV, no. 4163, 1610
Hadis, Sunan Abu Dawud,
Bab: Kitab Al-Libas, Juz IV, no. 4104
Husein, Muhammad, Fiqh
Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara, 2001)
Irawan Soehartono, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja
Rosda Karya: 2011)
Ismail, M.Syuhudi, Hadis Nabi
yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
Khaled, Abu el-Fadl, The Great Theft:
Wrestling Islam from The Extremists, Los Angeles: Perfect Bound, 2005)
Kountur, Ronny, Metode Penelitian untuk
Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2007)
London School Beyond
Borders: Communication Modernit & History, (Jakarta, STIKOM The London
School of Public Relations, The First LSPR Communication Research
Conference 2010)
Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, cet. 10, (Jakarta:
Amzah, 2010)
Moleong, Lexy J,Methodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung:Rosda Karya, 2004)
Mufidah, Gender di Pesantren Salaf, Why Not?:
Menelusuri Jejak Kontruksi Sosial Pengarustamaan Gender di Kalangan Elit Santri
( Malang : Uin-Maliki Press, 2010)
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VI, (Dar Tawq al-Najah.)
Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskripstif
Kualitatif, (Jakarta: GP Press Group, 2013)
Muqtada, R. (2014). Kritik Nalar Hadis Misoginis. Jurnal Musawa, 13, 2,
Nur Jannah, Ismail, Perempuan dalam Pasungan
Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta, Lkis, 2003)
Ouzon, Zakaria. Jinayat
al-Bukhari; Inqadz al-Din min Imam al-Muhadditsin, bab al-Bukhari
waal-mar’ah. Beirut: Riad El-Rayyes Book, 2004
Riffat, Hasan, Teologi Perempuan Dalam
Tradisi Islam, Sejajar di Hadapan Allah” Dalam Jurnal Ulumul
Qur’an No.4, (Jakarta: Paramadina, 1990)
Sahiron Syamsuddin, Al-Qur’an
dan Isu-Isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 355, dikutip
dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007)
Sunarto, Televisi,
Kekerasan, dan Perempuan, Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2009)
Syamsuddin, Muh, “ Dampak Hadis
Misogini Terhadap Pemahaman Santri ( Studi kasus tentang pemahaman gender
di Pesantren Salafiyah darussalam Sumber Sari Pare Kediri)”, Jurnal Studi Islam, 2 (Desember 2017)
Wilaela, “Perempuan-perempuan Haremku
(Telaah Pengalaman Perempuan oleh Perempuan dengan Pendekatan
Sejarah Peradaban Islam)”, Marwah, Volume 4, Nomor 8, (Juli, 2005)
[1] Mufidah, Gender di Pesantren Salaf,
Why Not?: Menelusuri Jejak Kontruksi Sosial Pengarustamaan Gender di Kalangan
Elit Santri ( Malang : UIN-Maliki Press,2010), 2
[3] Amina Wadud, Konsep Penciptaan Perempuan: Studi Atas
Pemikiran Amina Wadud dalam Buku Qur"an And Woman" Kontemplasi, Vol.
01 No. 02 (November 2013), 80
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, cet. 10, (Jakarta:
Amzah, 2010), 2.
[5] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 89.
[6] Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih
al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M),158
[7] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas
Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001), 201-203.
[8] Sahiron Syamsuddin, Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 355.
[9] Faqihuddin Abdul Kodir, 60 Hadis Hak-Hak Perempuan
Dalam Islam (Teks Dan Interpretasi) (Yogyakarta: Sinau Mubadalah, AMAN
Indonesia, 2017), vi.
[10] Muh. Syamsuddin, “ Dampak Hadis Misogini Terhadap
Pemahaman Santri ( Studi kasus tentang pemahaman gender di Pesantren
Salafiyah darussalam Sumber Sari Pare Kediri)”, Jurnal Studi Islam, 2 (Desember 2017), 258.
[12] Riffat Hasan, “Teologi Perempuan dalam tradisi Islam,
sejajar di Hadapan Allah?” Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No.4, (Jakarta:
Paramadina, 1990), 55
[13]
Ahmad Warson Munawwir, Almunawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984), h. 261
[14]
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 17.
[15] Khaled Abu el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam
from The Extremists, Los Angeles: Perfect Bound, 2005,142-143
[16]
Jujun S. Suriasumantri dalam pengantar Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: YOI, 1991),h.ii
[17]Ahmad
‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis (Tangerang: Yayasan
Wakaf Darus-sunnah, 2019), 22.
[19] Subhi Salih, “Ulum Al-Hadis wa-Musthalahu” (Beirut”
Dar a;-Ilm Lil-Malayin, 1988), 3-5.
[20] Ibid, 193.
[21] Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, 330.
[22]Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, 331.
[23]
Syamsul Hadi Untung, and Achmad Idris. “Telaah Kritis terhadap Hadis
Misoginis,” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 11, no. 1
(Maret 2013): 39.
[25]
Al-Jabiri, Madkhal ila Falsafat al-‘Ulum (Beirut: Markaz Dirasat
alWahdah al-‘Arabiyyah, 2002), h. 18-19 dan 22-23
[26]
Khanafie Al-Jauharie, Imam. 2010. Filsafat Islam Pendekatan Tematik,
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, h.4
[27] Wilaela, “Perempuan-perempuan Haremku
(Telaah Pengalaman Perempuan oleh Perempuan dengan Pendekatan
Sejarah Peradaban Islam)”, Marwah, Volume 4, Nomor 8, (Juli, 2005), 22.
[28]
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar
al-Fikr. 1401 H-1981M), IV. h.84
[29] Nur Jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki
dalam Penafsiran Yogyakarta, Lkis, 2003
[30] London School Beyond Borders: Communication Modernit
& History, (Jakarta, STIKOM The London School of Public Relations, The
First LSPR Communication Research Conference
2010), hal. 14
[31] Sunarto, Televisi,
Kekerasan, dan Perempuan, Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2009), 49
[32] Ouzon, Zakaria. Jinayat al-Bukhari; Inqadz al-Din min
Imam al-Muhadditsin, bab al-Bukhari waal-mar’ah. Beirut: Riad El-Rayyes
Book, 2004. H. 91-92
[33]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il
al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414
H/1994 M), h.158.
[34]
Ibn Hajar Al-Asqâlani, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 21,
terj. Aminuddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.435. Lihat Juga. Abi al-‘Aly Muhammad Abd
al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, vol. 6,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 541
[35]
Jalâl al-Din al-Suyûthî, Sunan al-Nasâi bi Syarhal-Hafiz Jalal al-Din
al-Suyuthi, vol. 7-8, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1348 H/1930 M), h. 227
[36]
Abû
‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn ‘Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh:
Maktabah al-
Ma’ârif, 1417 H), h. 661
[38]Muh Syamudin, Dampak Hadis Misoginis Terhadap Pemahaman
Santri ( Studi kasus tentang
Pemahaman Gender di Pesantren Salafiyah
Darussalam Sumbersari Pare Kediri ) jurnal
studi islam 2 ( Desember, 2017),258.
[39] Filda
Fadilah,
“Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Santri”, Jurnal IAIN Syekh
Nurjati Cirebon, 1 (Maret,2017),h. 15
[40] Abd Hannan, Gender dan Fenomena Patriarki Dalam Sosial Pendidikan Pesantren
(Jurnal : 2016), 233
[41] Muhammad Rofiq, Memahami
Hadis Misoginis Perspektif
Maqasid Syari‘ah, Jurnal Skripsi
IAIN Cirebon, (2018), h. 7
[42] Muzakka, kesetaraan gender dalam sastra pesantren (kajian terhadap
kitab syi’ir laki rabi)” Syari‘ah, Jurnal Skripsi
IAIN Cirebon, (2013), 9
[43] Jamilah, Marriage And The Independency Of Women (A
Case Study On Early Marriage In Local Area In Madura) Jurnal,2013,21
[44]Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), 60.
[49]Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk
Studi Agama, Bandung:Rosda Karya, 2004), 112.
[50]Siti Fauziah, “Pembacaan
al-Qur’an Surat-Surat Pilihan Di Pondok Pesantren Putri Daar al-Furqon
Janggalan Kudus”, Skripsi (Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), 26.
[52]Abdurrahman Fathoni, Metodologi
Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011),
112.
[55]Mohd. Arifullah et. al.,
Panduan Penulisan Karya Ilmiah: Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 66.
[56] Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik
Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 67.
[57] Abdurrahman Fathoni, Metodologi
Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011),
68.
[66]
Delfiyando, ―Peranan Lembaga Filantropi Islam Dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat (Studi Kasus Lembaga Filantropi Di Metro Pusat Kota Metro),‖ 19.
[67]
Khoirul Anam, ―Studi Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren Bustanul
Ulum Mlokorejo Terhadap Hadis-Hadis Misoginis,‖ t.t., 19
[68]
Kajian mengenai living sunnah diulas secara mendalam oleh Suryadi, “Dari Living
Sunnah ke Living Hadis”, dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Metodologi Penelitian
Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH Press bekerjasama dengan penerbit
Teras, 2007), 89-104.
[69]
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme
Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), 9.
[70]
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaruan Hukum
Islam, (Jakarta:PT. RajaGrafindo, 1977), 95-96
[71]
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin
(Bandung: Pustaka, 1995), 38.
[72]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1483
[74]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih
al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158.
[75]
Ibn Hajar Al-Asqâlani, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 21,
terj. Aminuddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.435. Lihat Juga. Abi al-‘Aly Muhammad Abd
al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, vol. 6,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 541
[76]
Jalâl al-Din al-Suyûthî, Sunan al-Nasâi bi Syarhal-Hafiz Jalal al-Din
al-Suyuthi, vol. 7-8, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1348 H/1930 M), h. 227
[77]
Abû
‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn ‘Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh:
Maktabah al-
Ma’ârif, 1417 H), h. 661
[79]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih
al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158.
[83] Wawancara penulis dengan Amelia Sartika salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022
[84] Wawancara penulis dengan Salmawati salah seorang
santriwati di pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022
[85] Wawancara penulis dengan Murniwati
santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022
[86] Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn ‘Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh:
Maktabah al-
Ma’ârif, 1417 H), h. 661
[88] Wawancara penulis dengan Yusmarni dan
Hani’ah santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 11 Maret 2022
[89] Wawancara penulis dengan Irma salah seorang
santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 15 Maret 2022
[91] Wawancara penulis dengan Risma, Yolanda dan Intan santriwati pondok
pesantren Azzakariyah tanggal 16 Maret 2022
[94] Wawancara penulis dengan Istiqomah santriwati
pondok pesantren Azzakariyah tanggal 22 Maret 2022
[96] Wawancara penulis dengan Juwita Wulandari Santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 23 Maret 2022
0 $type={blogger}:
Posting Komentar