Jumat, 12 Juli 2024

 



BAB I 

PENDAHULUAN

 

 

A.  Latar Belakang

Pondok pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang lahir sejak awal kedatangan Islam di Nusantara. Dalam babakan sejarahnya, pesantren telah banyak menjadi objek penelitian para cendekiawan yang ingin mempelajari Islam di wilayah ini, yaitu sejak Brumund menuliskan buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun 1857.[1]

Pondok pesantren merupakan pusat pendidikan Islam, dakwah dan pengabdian masyarakat yang tertua di Indonesia. Lembaga Pondok Pesantren dikenal memiliki sistem pendidikan dengan ciri-ciri dan karakteristik yang khas. Keberadaannya sampai sekarang masih berdiri kokoh di tengah-tengah masyarakat dan terus berkembang, dengan menampakkan kebhinekaan dan kemandirian. Seiring dengan proses Islamisasi di Indonesia menyisakan beberapa problem mendasar, salah satunya yaitu terkait isu kesetaraan gender.

Hal ini sering terlihat pada adanya kesenjangan akses, partisipasi, peran dan tanggungjawab yang dimiliki pelajar (santri) putra dan putri, baik pada aspek pengambilan kebijakan, sistem manajerial, pembelajaran, bahan ajar, maupun pemanfaatan fasilitas yang tersedia. Akibatnya, output santri putra memiliki potensi lebih besar untuk memainkan peran publik di tengah tengah masyarakat. Kesenjangan tersebut juga berdampak pada kelangkaan ulama perempuan yang kontribusinya sangat dibutuhkan, terutama dalam hal upaya peningkatan pemberdayaan perempuan untuk mencapai Milenium Development Goals (MDGs) dan mengatasi adanya isu-isu gender khususnya di kalangan masyarakat Muslim.         Seiring dengan perkembangan zaman sehingga menyebabkan terjadinya perdebatan di kalangan ulama klasik mengenai konsep sunnah dan hadis, para pakar hadis modern juga memperdebatkan antara konsep living sunnah (living tradition) dan living hadis (living hadith).

Muhammad Mushthofa Azami mendefinisikan living sunnah adalah kesepakatan kaum muslimin tentang praktik keagamaan. Living hadis adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran atau keberadaan hadis di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari sana, maka akan terlihat respon sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan menghidup-hidupkan teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan. 

Living hadis dapat dimaknai juga sebagai gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW. Pola-pola perilaku di sini merupakan bagian dari respons umat Islam dalam interaksi mereka dengan hadis-hadis Nabi.

Modern ini, pendidikan banyak yang mempunyai pandangan berbeda tentang pemahaman ajaran-ajaran yang mengakar di masyarakat dalam beberapa dekade, semua itu tidak lain karena perkembangan zaman yang ada. Relevansi pendidikan terhadap perkembangan zaman harus representatif, karena jika tidak dilakukan inovasi semua pendidikan yang mapan tersebut terkesan monoton dan kurang tepat guna bagi para peserta didik yang mempelajari ajaran yang disediakan oleh instansi terkait.

Salah satu pendidikan yang disoroti akhir-akhir ini adalah tentang penyetaraan perempuan dalam hak dan peran sosial. Patriarki kaum Adam dan subordinasi kaum Hawa merupakan contohnya, tidak memandang sejauh mana kemajuan peradaban di zaman serba sentuhan tangan ini.[2]

Potret  pendidikan  Islam  di  Indonesia  juga  tidak  luput  dengan pendidikan yang mendiskreditkan kaum Hawa, seperti adanya hadis yang ditafsirkan  secara  misoginis,  sehingga banyak  di antara  perempuan  yang enggan untuk meneruskan pendidikan lebih tinggi, dengan anggapan sumbangsih pendidikan bagi mereka kurang penting. Di sisi lain orang tua yang kurang  berpendidikan juga mengajarkan secara  turun-temurun tentang posisi perempuan dalam sebuah keluarga dan tugas-tugas yang harus dilakukannya. Perempuan, menurut para orang tua tidaklah lebih dari sekedar pelayan laki-laki di dalam menjalankan roda keluarga, sehingga kontribusi ide-idenya kurang penting.

Pondok  pesantren  sebagai  landasan  pendidikan  agama, merupakan lembaga pendidikan yang syarat ajarannya dengan al-Quran dan  al-Hadis,  sehingga  ada indikasi  pembelajaran  hadis  yang ditafsirkan secara misoginis. Akan tetapi ada juga beberapa pondok pesantren yang mencoba untuk melestarikan hadis-hadis yang dulunya berbau misoginis,  salah  satunya  yaitu  Pondok    Pesantren Azzakariyah, di  situ  para santri mengkaji dan mereinterpretasi hadis yang ditafsirkan secara misoginis, karena menurut al-Ghazali hadis bisa berubah statusnya sesuai dengan  kedudukannya.[3]   

Salah satu kitab  yang  dikaji  untuk  mendalami  permasalahan tersebut adalah kitab عقود اللجين. Kitab tersebut memang mempunyai kelebihan dalam membahas hiruk pikuk rumah tangga, tauhid dan yang lainnya, akan tetapi kitab tersebut mengandung beberapa hadis yang dianggap misoginis, isinya selain menomor duakan perempuan dalam urusan rumah tangga, di situ juga tidak pernah menjelaskan peran perempuan dalam strata sosial masyarakat yang seharusnya perempuan mempunyai segudang potensi dalam berperan memajukan sosial masyarakat   menjadi   terhambat,   karena   dengan   adanya   tafsir   yang mengarah ke misoginis, seperti pembatasan bagi perempuan untuk ke luar rumah,  perempuan  melakukan  kebaikan  atau  bahkan  beribadah  sunah harus ijin suami, dan perempuan harus siap melayani suami kapanpun dan di manapun dia berada. Santri-santri mencoba untuk mereinterpretasikan hadis-hadis tersebut dalam kajian kitab عقود اللجين dengan harapan agar   antara   laki-laki   dan   perempuan   memahami   bahwa   mereka mempunyai hak yang sama dalam menjadi subjek keputusan segala hal yang memang melibatkan kemaslahatan bersama, sesuai dengan prinsip al-Qur’an  yang mengutamakan kesetaraan.

Namun, akhir-akhir ini reputasi pondok pesantren sedikit dipertanyakan oleh sebagian masyarakat muslim di Indonesia. Mayoritas pondok pesantren pada saat ini terkesan jauh dari realitas sosial yang ada. Problem sosialisasi dan aktualisasi dalam permasalahan gender yang sering dipandang sebelah mata oleh kaum santri salafi di satu sisi dan dipandang wajar-wajar saja oleh sisi yang lain, sehingga menyebabkan sering terjadinya bias gender di kalangan pondok pesantren yang mana, sistem pengajaran di pondok pesantren salafi yang menekankan kajian kitab-kitab kuning klasik tidak terlepas dari adanya hadis-hadis dalam tanda kutip hadis misogonis yang diajarkan pada santri putra dan putri.

Hadis merupakan segala sesuatu yang ada pada diri Nabi Muhammad saw meliputi perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Bagi umat Islam hadis dijadikan suri tauladan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga hadis menjadi salah satu dari sumber utama ajaran Islam.[4]

Fungsi hadis yang begitu kompleks dalam Islam, maka perhatian terhadap hadis sangat diperlukan oleh umat Islam. Akan tetapi, hadis tidak bisa kita pahami semuanya dengan jelas hanya dengan melihat pada tekstual hadis tersebut. Hal ini dikarenakan sebagian hadis ada memiliki makna yang tersirat dan juga tersurat, sehingga diperlukan juga pemahaman terhadap kontekstual hadis tersebut.[5]

Salah satu hadis yang tidak bisa dipahami hanya dengan tekstual hadis tersebut adalah tentang masalah gender atau kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Misalnya hadis tentang kepemimpinan perempuan. Kebanyakan orang hanya melihat pada teks hadis ini pasti akan langsung melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Untuk itu perlu adanya pemahaman pada kontekstual hadis yang menyangkut sejarah dari keluarnya hadis ini.

 

Sistem pengajarannya yang mayoritas dengan menggunakan sistem maknani saja, atau sistem lain seperti contoh ustadz membacakan hadis kepada para santri tanpa dideskripsikan dengan interpretasi yang cukup jelas, sedangkan para santri menuliskannya tanpa ada keterangan yang lebih lanjut dari seorang ustadz ataupun ustadzah. Tentu saja apa yang didengarkan oleh para santri seolah-olah benar dan begitu adanya tanpa berfikir tentang tafsir atau interpretasi yang sesungguhnya dari hadis yang disampaikan.

Padahal hadis-hadis yang berbau misoginis sangat perlu untuk ditafsirkan dan dijelaskan konteks situasi saat itu, sehingga santri bisa memikirkan bagaimana sebenarnya hadis itu difungsikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadis-hadis nabi yang secara tekstual kadang menunjukkan diskriminasi gender, sehingga keberadaan hadits-hadits tersebut harus diperhatikan dalam proses interpretasi maknanya agar tidak ada kesalahpahaman dalam memahami hadis-hadis tersebut.

Adanya sikap demikian timbul dari interpretasi yang berkembang atas hadis misoginis yang dipahami secara tekstual dan tidak imbang, pemahaman dengan model demikian berimplikasi terhadap kepemimpinan perempuan pada ruang publik. Sebagai contoh hadis tersebut berikut ini:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً

 

Artinya: Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami  dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut  terlibat  dalam  peristiwa  perang  Jamal  (Unta). Yaitu ketika disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa  Persia  telah  mengangkat  anak  perempuan Kisra sebagai penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan.[6]

 

Menurut  Husain,  bahwa  hadis  ini  diungkapkan dalam bentuk kerangka pemberitahuan atau informasi bukan dalam bentuk legitimasi hukum, maka hadis ini tidak bisa dipahami apa adanya, akan tetapi harus dipahami dari esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus karena hadis itu bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia yang kala itu pola kepemimpinannya bersifat sentralistik, tiranik dan otokratik. Padahal pertimbangan mendasar dalam kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal itu saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan.[7]

Dalam pengamatan Sahiron Syamsuddin bahwa hadis ini hanya berlaku untuk kasus tersebut bukan bagi kasus lain karena itu hadis di atas tidak cukup dipahami secara tekstual, tetapi harus dimaknai  secara  kontekstual.  Atas  dasar  itu,  Quraish  Shihab dengan  tegas  menulis;  “Jadi  sekali  lagi  hadis  tersebut  di atas ditujukan  kepada  masyarakat  Persia  ketika  itu,  bukan  terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan”.[8]

Eksistensi bias gender dan konservatisme tidak bisa lepas dari pola penafsiran teks-teks agama,  dalam  hal  ini,  Islam  yang  cenderung parsial, tidak holistik, dan tidak komprehensif, akibatnya perempuan sering dimarginalkan atau didiskriminasikan dalam ragam dimensi haknya, baik secara personal maupun kolektif. Beberapa narasi yang digunakan untuk mendukung premis tersebut yaitu, seperti, penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki- laki yang bengkok, pesona perempuan yang menjerumuskan laki-laki, perempuan sebagai penghuni mayoritas di neraka, kewajiban keluar rumah dengan mahram, wajibnya Salāt secara tersembunyi, kewajiban mutlak taat pada suami, hingga pelaknatan bagi perempuan yang enggan melayani suami.[9]

Sejumlah rentetan diskriminasi terhadap perempuan tidak saja didukung oleh intrepretasi teks keagamaan oleh para mufassir, tapi juga disokong penuh oleh konstruksi sosial yang  melegetimasi  perempuan  sebagai perhiasan dunia yang tugasnya hanya menghiasi dunia laki-laki. Sementara itu, agama seringkali dijadikan   sebagai   dalih   pembenaran   atas berbagai  klaim  yang  diusung  dan  menjadi sebuah fenomena global. 

Secara terminologis, gender bisa didefinisikan sebagai harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Gender dipandang sebagai suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dipahami bahwa gender merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Karena pada dasarnya dalam perihal gender, baik di dalam al-Qur’an maupun hadis sesungguhnya telah menempatkan perempuan pada posisi yang sama terhormatnya dengan kaum laki-laki, namun dikarenakan adanya pemahaman terhadap doktrin-doktrin Islam secara parsial dan mengabaikan semangatnya sebagai agama pembebas mengakibatkan kesan seperti adanya diskriminalisasi dalam ajaran agama Islam yang menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan subordinatif.[10]

Istilah misoginis berawal dari adanya mitos tentang penciptaan wanita dan keluarnya Adam dari surga ke bumi. Menjadi sebab munculnya banyak perlakuan  kasar  dan  negatif  terhadap  wanita.  Cerita  tersebut menggambarkan bahwa wanita diciptakan menjadi makhluk yang bertujuan melengkapi hasrat Adam,  dan sebab jatuhnya Adam ke bumi karena godaan Hawa. Cerita ini melahirkan faham misoginis (pembencian wanita oleh pria). Faham yang berasal dari ajaran Yahudi-Kristen ini berpengaruh cukup luas di dalam dunia Arab melalui berbagai media, bahkan dalam kita tafsir dan fikih pun tak terlewatkan.

Salah satu Pondok Pesantren yang ada di Kabupaten Merangin, tepatnya di Kecamatan Renah Pembarap yakni Pondok pesantren Azzakariyah. Penulis mengambil lokasi penelitian ini di Pondok Pesantren Azzakariyah dengan alasan bahwa dimana Pondok Pesantren ini mengajarkan kitab hadis yeng bertapatan dengan masalah kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, dimana terhitung jumlah ustadz lebih unggul dari pada jumlah ustadzah. Entah disengaja atau memang tidak ada perempuan yang cakap untuk mengajar. Selain masalah tenaga pengajar juga ada doktrin dari orang tua atau keluarga agar tidak usah belajar mata pelajaran umum karena hanya keilmuan agama yang berguna. Namun sangat disayangkan sekali, jika ternyata masih banyak pesantren yang memiliki pemikiran seperti ini. Selain memeberikan ruang gerak yang sempit kepada santri putri, hal demikian juga akan memelihara dominasi laki-laki atas perempuan.

Dengan berbagai alasan perempuan hanya akan kembali kepada tugas domesktinya saja. Kalaupun ada di perkirakan pemahaman-pemahaman tersebut masih memilih hubungan dengan hadis nabi yang tidak ditelusuri lebih lanjut, seperti hadis berikut:

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضيَ الَّلُه عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الَّلهِ  صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِسْتَوْصُوْآ بِالنِّسَاءِ فَاِنَّ اْلمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَاِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٌ فِي الضَّلْعِ أَعْلاَهُ, فَاِنْ زَهَبَتْ تَقِيْمُهُ كَسُرَتْهُ وَإِنْ تَرْكُهُ لَمْ يَزَلْ اَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْ ابِالنِّسَاءِ. )رواه البخاري(

Artinya :  Dari Abu Khurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda “Berwasiatlah kalian kepada perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusukdan dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Apabila kamu bermaksud untuk meluruskan nya, maka kamu mematahkannya, dan jika kamu biarkan maka ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah kepada perempuan” (HR.al-Bukhari).[11]

Hadis di atas menjelaskan tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki,  sangat ditentang oleh feminis muslim karena dinilai diskriminatif dan membenci perempuan. Riffat mengkritik hadis tersebut dari dua sisi, yaitu: sanad hadis dan matan hadis. Dari sanad hadis, Riffat mengkritik tiga hal, yaitu pertama, menyatakan bahwa semua hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah, sahabat Nabi SAW yang dianggap kontroversial oleh banyak ilmuwan Islam pada masanya, salah satunya Imam Abu Hanifah. Kedua, semua hadis tersebut gharîb (terlemah dalam klasifikasi hadis) karena terdapat beberapa perawi yang merupakan perawi tunggal. Ketiga, hadis-hadis tersebut dinyatakan dha’îf, karena dalam pandangannya sanad hadis tersebut terdapat beberapa perawi yang dianggap tidak tsiqah.[12]

Pemahaman ulama hadis terdapat perbedaan dengan pemahaman Feminis Muslim Indonesia. Lalu, bagaimana dengan hadis-hadis lain yang juga bernada misoginis, mungkinkah juga terjadi perbedaan pemahaman. Walaupun demikian, penciptaan wanita (Hawa) dari tulang rusuk Adam bukan berarti bahwa wanita lebih rendah martabatnya dari pada lelaki, tetapi merupakan simbol hubungan keduamya yang rapat dan saling melengkapi. Sehingga tidak mungkin salah satunya bisa hidup seimbang tanpa yang lain.

Adanya berbagai alasan perempuan hanya akan kembali pada pekerjaan yang sifatnya domestik. Oleh karena itu dalam penelitian ini bertujuan membahas tentang bagaimana pemahaman santri pondok pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis dan apa pengaruh hadis misoginis terhadap perilaku para santri. Sehingga perlu kami untuk melakukan penelitian ini karena selain menambah wawasan pengetahuan yang mungkin para santri masih buta akan istilah misoginis dan juga agar mencegah terjadinya bias gender antara santri putra dan putri. Maka dari latar belakang di atas, peneliti mengambil judul Kajian Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin)”.

 

 

B.  Rumusan Masalah

       Berdasarkan latar belakang masalah di atas, setelah penulis mengadakan studi awal penelitian di Pondok Pesantren Azzakariyah mengenai kajian living hadis terhadap pemahaman santri dalam memahami hadis misoginis, maka penulis mengambil rumusan msalah dalam penelitian sebagai berikut :

 

 

1.    Bagaimana pemahaman santri pondok Pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis?

2.    Bagaimana hadis misoginis terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah ?

3.    Apa saja dampak hadis misoginis terhadap terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah ?

 

C. Batasan Masalah

            Berdasrkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi permasalahan ini yaitu terpokus pada Kajian Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin)

 

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan gambaran tentang arah yang akan ditujudalam melaksanakan penelitian. Hal ini sangat berguna bagi peneliti untukmenemukan, mengembangkan, maupun mengoreksi terhadap ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat.

Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

a. Untuk mengetaui pemahaman santri pondok pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis.

b. Untuk mengetahui hadis misoginis terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah

c. Untuk mengetahui dampak hadis misoginis terhadap terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah

 

 

 

 

2. Manfaat Penelitian

      Dalam setiap penelitian yang sudah diteliti oleh setiap manusia, pasti ada nilai sisi baiknya dan mempunyai manfaat yang baik. Penulis mengharap bahwa hasil  penelitian ini dapat memberikan nila-nilai yang positif dan bermanfaat bagi semua  orang, baik kegunaan itu bersifat teoritis dan kegunaan praktis, seperti kegunaan bagi penulis, instansi dan masyarakat.

  Adapun manfaat dari hasil Penelitian ini, antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini agar dapat memberikan kontribusi pengetahuan bagi mahasiswa UIN Jambi, masyarakat, khususnya bagi Fakultas Ushuluddin tentang dampak hadis misoginis terhadap pemahaman santri pondok pesantren Azzakariah.

b. Manfaat Praktis

a.       Bagi penulis

       Dengan mengkaji permasalahan ini maka akan menambah motivasi pengetahuan, dan menambah wawasan dan pengetahuan Dalam studi tentang pemahaman santri terhadap hadis-hadis misoginis di pondok pesantren Azzakariyah.

b.    Bagi Santri

Dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wawasan dalam memahami isi kandungan hadis sehingga dapat bermanfaat dan isi kandungan hadis sehingga dapat bermanfaat dan memicu kesemangatan dalam mengamalkan isi dari pada hadis, dengan begitu hadis tidaklah lagi di katakan sebagai teks yang bisu melainkan mampu memberikan manfaat kandungannya.

c.    Bagi pondok pesantren

Dapat memberikan kontribusi dalam segi pengembangan keilmuan dan wawasan terutama dalam masalah gender agar tidak terjadi bias gender di pesantren dan adanya kesetaraan antara hak dan kewajiban bagi para santri putra dan santri putri.

 


 

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Hadis     

Secara bahasa (lughah), hadis ialah baharu (حديث) atau juga disebut khabar (خبر).Menurut Ahmad Warson Munawwir, dalam Kamus Arab-Indonesia, kalimat hadis diambil berasal dari (حدث-يحدث-حديث) artinya baharu.[13] Secara istilah Hadis ialah: (ما اضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا وغيرها) yakni apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun lain sebagainya. Istilah hadis berarti segala perbuatan, perkataan atau persetujuan Nabi (Hadîts Marfû’) sahabat Nabi (Hadîts Mauqûf) tabi‟in (Hadîts Maqthû’). Ada sebagian penulis yang menyamakan antara hadis dengan sunnah, meskipun keduanya memiliki definisi yang berbeda. Sunnah adalah sebutan bagi ‘amaliyah yang mutawâtir, yakni cara Rasul melaksanakan ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan ‘amaliyah yang mutawâtir pula.[14] Hadis merupakan riwayat yang bertujuan untuk mengutip Nabi dalam segala hal baik dalam perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Hadis merupakan riwayat yang bertujuan untuk mengutip Nabi dalam segala hal baik dalam perkataan, perbuatan, dan persetujuan.[15]

         Jika hadis  memiliki  berbagai  kualitas  yang perlu  untuk  diteliti, maka sunnah sebatas pada perbuatan yang sudah pasti dilakukan Nabi. Ilmu hadis dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu hadis riwâyah dan ilmu hadis dirâyah. Ilmu hadis riwâyah adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi, periwayatannya, pencatatanya,   dan   penelitian   lafal-lafalnya.    Sedangkan   ilmu   hadis dirâyah adalah kumpulan dari kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad  dan  matn  hadis.  Ilmu  hadis  dirâyah  adalah  ukuran  bagi  hadis riwâyah  sebanding  ushûl  bagi  ilmu  fiqh,  manthiq  bagi  ilmu  tauhid, balâghah bagi bahasa Arab.

       Ilmu  hadis,  sebagaimana  didefinisikan  oleh  para  scolar  klasik adalah ilmu yang membahas cara memahami hadis. Jika dilihat dari makna perkata maka ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dianggap metode keilmuan.[16] Metode keilmuan yang penulis maksud tidak harus sebuah pertemuan yang bersifat resmi, karena pemerolehan pengetahuan bisa dengan pelbagai cara. Pengetahuan yang dibawa sejak lahir, pengetahuan yang diperoleh dari budi, pengetahuan yang berasal dari indra-indra khusus, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman dan rabaan dan pengetahuan yang berasal dari penghayatan langsung, ilham. Cara pemerolehan pengetahuan tersebut menegaskan bahwa  ilmu  adalah hasil  dari  kerja berpikir manusia, dan tidak menganut kebenaran secara mutlak. Artinya ilmu dapat berubah dan berganti dengan rumusan ilmu-ilmu yang baru.

       Living Hadis dapat didefenisikan sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang praktik Hadis. dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang Hadis dari sebuah realita, bukan dari sebuah ide yang muncul dari penafsiran teks Hadis. kajian living Hadis bersifat praktik ke teks, bukan sebaliknya dari teks ke praktik pada saat yang sama, ilmu ini juga dapat di defenisikan sebagai cabang Hadis yang mengkaji gejala-gejala Hadis dimasyarakat.

Objek yang dikaji ialah gejala-gejala hadis bukan teks Hadis. ia tetap mengkaji al-hadis namun dari segi sisi gejala bukan dari teksnya, gejala tersebut bisa berupa benda, perilaku, nilai, budaya, tradisi dan rasa. Dengan demikian kajian living Hadis dapat diartikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan yang kokoh dan meyakinkan dari suatu budaya, praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau perilaku hidup dimasyarakat yang diinspirasi dari sebuah ayat Hadis.[17]

Secara bahasa living hadis adalah “ Hadis yang hidup” sedangkan menurut istilah living hadis adalah kajian atau penelitis ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran atau keberadaan Hadis disebuah komunitas muslim tertentu. Dari sini maka akan tampak respon sosial komunitas muslim untuk menghidupkan dan mengaplikasikan teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa living Hadis ialah gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW atau respon umat Islam dalam interaksi mereka dengan hadis-Hadis Nabi. Menurut Sahiron Syamsudin living hadis adalah sunnah Nabi yang secara bebass ditafsirkan oleh para ulama, hadis, penguasa, hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.

Penjelasasn di atas dapatj disimpulkan bahwa living hadis adalah sebuah penelitian ilmiah tentang keberadaan hadis yang hidup di masyarakat atau komunitas Islam yang tertentu, yang dilaksanakan melalui praktek, tradisi, atau ritual. Namun harus dipastikan bahwa praktek itu berasal dari teks Hadis. Hadis Nabi sampai saat ini sangat menarik untuk dikaji, karena factor-faktor utama yang menjadi pemiciu adalah masalah oitentitas hadis, maupun rentan waktuj yang cukup panjang antara Nabi dalam realitas kehidupan sampai masa kodifikasi kedalam teks Hadis.

Sementara objek materi living hadis ialah perwujudannya dalam bentuknya non-teks. Bisa berupa gambar, multimedia, atau karya budaya, maupun berbentuk pemikiran yang kemudia yang berwujud lelaku dan perilaku manusia. Inilah perbedaannya dengan ilmu Hadis yang konvensiial-normatif. Jika kita baca berbagai literature ilmu Hadis , nyaris belum kita temukan salah satu fann atau naw’ atau bab yang menjelaskanj tentang wujud firman Sabds Nabi dalam bentuk yang bukan teks (nashsh).[18]

2. Makna Living Hadis

Ada perbedaan di kalangan ulama hadis menegnai istilah penegrtian sunnah dan hadis., khususnya di antara ulama mutaqaddimin, dan ulama muta’akhirin. Menurut ulama mutaqadddimin, hadis adalah segalal perkataan, perbuatan dan ketetapan, yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad pasca kenabian, sementara  sunah adalah segala sesuatu ynag diambil dari nabi Saw tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama muta’akhirin, berpendapat bahwa hadis dan sunnah memiliki penegrtian yang sama, yaitu segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.[19]

Setelah Nabi wafat, sunnah Nabi tetap merupakakn sebuah ideal yang hendak diikuti oleh generasi muslim sesudahnya, dngan menafsirkan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi yang baru pula. Penafsiran yang kontinu dan progresif ini, di daerah yang berbeda-beda misalnya antara hijaz, Mesir dan Irak disebut  sebagai “sunnah yang masih hidup” atau living Sunnah.

Sunnah di sini dalam penegrtian sebagai sebuah praktek yang di sepakati secara bersama (living Sunnah). Sebenarnya Sunnah relative identik dengan ijma’ kaum muslimin dan ke dalamannya termasuk  pula ijtihad dari para ulama generasi awal yang ahli dan tokoh-tokoh politik di dalam aktivitasnya. Dengan demikian, “sunnah yang hidup” adalah sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.[20]

3. Kode Etik Riset Living Hadis

Secara umum kode etik keilmuan Living Qur’an dapat dirumuskan sebagai berikut:

a.  Empiris

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ilmu living Hadis adlah bagian dari ilmu sosiologi antropologi yang memiliki syarat utama, yaitu harus empiris, penelitian ini harus didasarkan kepada pengamatan dan penalaran sosial. Ia berdasarkan kepada wahyu. Hasil kajiannya pun harus terukur dan terbukti, tidak boleh spekulatif atau sekedar asumsi belaka. Asumsi hanya boleh dibawa pada tahap awal mula melakukan penelitian saja, yaitu untuk membantu dan mengidentifikasi masalah, merumuskannya, hingga kemudian menggali data lapangan. Sebatas itu saja, wilayah asumsi dalam ilmu living Hadis peran tambahannya adalah asumsi masih dapat digunakan untuk menetapkan “hifotesis” dan variabel-variabel yang diperlukan. Ia tidak boleh memasuki ranah pengolahan data, pembuktian, pengujian,  dan penyimpulan.

b.  Teoritis

Ini juga dapat disebut dengan abstraktif. Artinya, penelitian Living Hadis harus mampu merangkum pengamatan-pengamatan yang rumit di lapangan untuk kemudian diabstraksikan menjadi satu teori atau kaidah. Ia juga harus dapat diterapkan dalam dalil-dalil yang abstrak yang relevan dan logis. Karena itu, kajian living Hadis juga harus bersifat rasional. Ia juga perlu menerangkan hubungan kausatif dari serangkaian masalah yang dikaji.[21]

c.  Komulatif

Kajian living Hadis bukanlah kajian yang benar-benar mandiri dan bertujuan untuk sekedar mendeskripsikan gejala-gejala Hadis saja, harus ada nilai yang dihasilkan dari kegiatan deskriptif tersebut. Oleh karena itu kajian lving Hadis harus menerapkan teori-teori ilmiah yang dibangun di atas teori-teori lainnya yang telah mapan. Meskipun kajian living Hadis itu nantinya adalah menghasilkan teori baru, namun ia harus dibangun di atas teori-teori lain agar dapat teruji dengan baik. Ia dapat dapat berupa koreksi terhadap teori yang ada, menguatkan, memperluas, atau menyempurnakan teori yang sudah ada.

d.  Emis

         Artinya, data dan kebenaran yang diperoleh mengacu kepada subjek yang diteliti atau narasumber, bukan kepada peneliti. Ia tidak boleh bersifat etis, yaitu kebenaran mengacu kepada peneliti. Dengan demikian, penelitian living Hadis tidak bertujuan untuk mencari apakah objek yang dikaji itu benar atau salah, baik atau buruk, sunah atau bid’ah, kufur atau fasik, dan sejenis. Kajian ilmu living Hadis juga tidak boleh stereotipikal. Tugas utama kajian living Hadis hanya menjelaskan tindakan-tindakan sosial yang dikajinya. Jadi, meskipun yang dikaji adalahHadis, tetap harus dipandang sebagai realitas, bukan sebagai dogma atau norma semata.[22]

 

4. Misoginis

a). Misiginis secara etimologi

     Istilah misoginis secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yakni Misogyny yang berarti kebencian terhadap kaum perempuan[23] Pendapat lain juga mengatakan bahwa istilah misogini berasal dari bahasa Yunani misogynia yang terdiri dari kata miso (benci) dan gyne (perempuan). Sedangkan suatu ideologi yang membenci kaum perempuan disebut sebagai misoginisme. Jadi, secara harfiah dapat disimpulkan bahwa hadis misoginis merupakan perkataan, perbuatan dan ikrar Nabi yang disinyalir mendeskriminasi kaum perempuan.

           Hadis-hadis misoginis banyak termaktub dalam kitab-kitab hadis termasuk kitab Uqud al-Lujain. Kitab kuning berjudul Uqud al-Lujain sering digunakan oleh kebanyakan pondok pesantren yang berbasis salaf. Dalam kitab tersebut ditemukan beberapa hadis misoginis yang mendiskreditkan perempuan. Kitab karangan  Syaikh  Nawawi  bin  Umar  al-Bantani  ini  terdiri  dari  89  hadis  dan kualitas hadisnyapun bermacam-macam. Kitab yang secara khusus membahas tentang kehidupan rumah tangga tersebut dalam keterangannya ada yang membahas tentang hak dan kewajiban suami-istri secara setara dan ada pula yang terkesan timpang dan tidak seimbang.[24]

      b). Misoginis Secara Epistemologi

        Sementara misoginis secara epistemologi adalah mengkaji ilmu dan pengetahuan dari berbagai aspek, salah satunya adalah aspek metodenya. Ketika epitemologi mengkaji metode ilmu terjadi pertemuan dengan metodologi, namun sifat kajian epistemologi berbeda dengan sifat kajian metodologi tentang metode karena epistemologi mengkaji metode ilmu secara kritis dengan mempertanyakan hakikatnya dan basis epistemiknya.[25]

           Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Sedangkan dalam segi terminologi epistemologi merupakan suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Kajian epistemologi ini banyak perdebatan yang menganalisis sifat pengetahuan dan bagaimana ia berhubungan dengan istilah-istilah yang berkaitan dengannya, seperti kebenaran, kepercayaan dan penilaian. Selain itu, ada juga yang mengkaji sarana produksi pengetahuan, termasuk juga skeptisisme tentang klaim-klaim pengetahuan yang berbeda.

         Epistemologi yaitu untuk menjawab dari mana asal atau sumber sesuatu itu, dan bagaimana cara mendapatkan atau memperoleh sesuatu yang dimaksud. Selain itu, epistemologi juga untuk menjawab sifat, karakteristik dan ciri-ciri tertentu dari segala sesuatu yang sedang diselidiki.[26]

    Secara  terminologi  istilah  misoginis  digunakan untuk  doktrin-doktrin  sebuah  aliran  pemikiran  yang  secara  zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan. Anggapan adanya unsur misoginis dalam hadis dipopulerkan oleh seorang aktivis perempuan Fatima Mernissi melalui bukunya ”Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry.[27]

       Salah satu contoh Hadis misoginis dalam padangan kaum misgony ialah sebagaimana sabda Rasulullah dalam shahih bukhori halam 313 yang berbunyi:

عن أبي هريرة -رضي الله عنه-، قال: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلىَ فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِيْهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اْلمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

 

Artinya : Dari abi Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya untuk melakukan hubungan, lalu istrinya menolak, sehingga suaminya marah, mak a istrinya dilaknat oleh Malaikat hingga pagi hari. (Shahīh Bukhāri: 313)[28]

 

 

            Hadis di atas sebenarnya menjelaskan peran seorang perempuan yang selalu siap melayani soerng suami, namu menurut kaum misigoni Hadis di atas ialah tentang wanita yang enggan melayani  suaminya  ini. Istri dilarang menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di ranjang dengan alasan apa pun. Sayangnya, istri terkadang merasa malas, lelah, atau suasana hati sedang tidak mendukung. Menolak ajakan suami bercinta dapat membuat suami kecewa dan menimbulkan konflik rumah tangga bila tidak ada komunikasi yang baik. Meski terkesan sepele, ternyata perkara ini menimbulkan dosa besar yang membuat shalat tidak bisa diterima. Bila seorang istri melayani suaminya dengan bahagia, ikhlas, dan rela, serta bersungguh-sungguh sampai sang suami pas terhadapnya, maka surga menjadi hak bagi sang istri.

            Selain  itu  istilah  misogini  dianalogikan  berasal  dari istilah yang berasal dari bahasa Inggris misogyny yang mempunyai arti yang sama yakni kebencian terhadap perempuan. Kamus Ilmiah Populer menyebutkan, terdapat tiga ungkapan berkaitan dengan istilah tersebut, yaitu misogin artinya benci akan perempuan, misogini artinya perasaan benci akan perempuan, misoginis artinya laki-laki yang benci pada  perempuan. 

            Misoginis mempunyai makna membenci atau merendahkan perempuan.  Dalam beberapa tafsir Hadis misogini, perempuan merupakan  objek  limpahan  keputusan  bagi  laki-laki,  dan  mereka hanya dianggap sebagai pelengkap bagi kekurangan laki-laki, hal itu berdampak   dalam beberapa aspek, seperti kontribusi, hak dan kewajiban suami terhadap perempuan.

            Keberadaan perempuan sering diragukan perannya dalam kemajuan atau perubahan, seperti hal pendidikan, sehingga pendidikan bagi perempuan dalam pandangan beberapa kalangan kuranglah penting, karena mereka dianggap lemah dalam sisi kognitif, dan cenderung menggunakan perasaan.[29]

5. Sejarah Munculnya Pemikiran Misoginis

            Istilah misogini berawal dari adanya mitos tentang penciptaan wanita dan keluarnya Adam dari surga ke bumi menjadi sebab munculnya banyak perlakuan  kasar  dan  negatif  terhadap  wanita.  Dalam  cerita  itu  wanita diciptakan untuk melengkapi hasrat Adam dan Adam jatuh ke bumi karena godaan  Hawa. Cerita seperti ini melahirkan faham  misoginis (pembencian wanita  oleh  pria).  Faham  yang  berasal  dari  ajaran  Yahudi-Kristen  ini berpengaruh cukup luas di dalam dunia Arab melalui berbagai media, seperti kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab Fiqh.

Keberadaan mitos sebagai akar kebencian terhadap kaum wanita juga bisa dilihat dari penjelasan Hyde. Menurut Hyde, dalam diri kaum wanita dilekatkan mitos-mitos yang kurang menguntungkan bagi mereka, antara lain mitos  mengenai  kejahatan  feminin  (feminie  evil)  yang  berasal  dari  tradisi Judeo-Kristen mengenai kejatuhan manusia dari surga karena kesalahan Eva membujuk Adam untuk makan buah dari pohon pengetahuan. Perbuatan ini dianggap sebagai akar dari dosa asal seluruh umat manusia yang disebabkan oleh perbuatan Eva  (wanita). Di Yunani dikenal mitos mengenai Pandora, manusia wanita pertama di dunia, yang membuka kotak terlarang sehingga menyebarlah semua benih kejahatan di atas muka bumi ini. Di Cina di kenal dua kekuatan Yin dan Yang yang berhubungan dengan aspek feminin dan maskulin. Yin yang feminin terkait dengan kegelapan, kejahatan, sisi dari alam. Sedang Yang yang maskulin kebalikan dari sifat-sifat tersebut.[30]

Selanjutnya, istilah misogini (misogyny) ini digunakan oleh feminis psikoanalis untuk menyatakan kebencian terhadap wanita (hatred of women) yang berakar pada kemarahan bayi primitif terhadap ibunya karena masyarakat memberikan tugas pengasuhan anak kepada wanita. Tumbuhnya kebencian kaum pria terhadap kaum wanita tersebut bisa ditelusuri dari penjelasan Chodorow mengenai proses perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi nilai-nilai jender tertentu.

Pemikiran Chodorow tersebut menunjukkan, bahwa devaluasi kultural dan sosial yang dilakukan oleh anak laki-laki tersebut mengarahkannya pada perilaku untuk merendahkan dan tidak menyukai segala sesuatu yang berbau wanita atau feminim yang diterimanya di masa-masa awal kehadirannya di dunia ini. Pada tahap pembentukan identitas dirinya sebagai laki-laki itu ia mempelajari bahwa untuk bisa diterima di dunia luar, ia harus menyesuaikan dirinya dengan nilai-nilai dominan yang hidup disana yaitu nilai-nilai yang bersifat patriarkis. Untuk bisa menjadi anggota dunia pria itu, anak laki-laki berusaha mengenyahkan semua sifat-sifat feminim yang ada di dalam dirinya. Kebencian anak pada sifat-sifat feminim timbul karena sifat-sifat itu ternyata cukup kuat tertanam dalam dirinya sebagai konsekwensi dari masa tidak berdayanya dulu ketika ia sangat bergantung pada ibunya. Demikianlah kiranya munculnya sifat benci kaum pria terhadap kaum wanita.[31]

Perempuan adalah manusia mulia yang harus dicintai dan disanjung-sanjung layaknya menyayangi diri sendiri. Isteri, ibu, anak perempuan, saudari perempuan, dan semua sahabat perempuan lainnya adalah ciptaan Allah Swt. Timbul pertanyaan dalam diri kita, apakah kita rela menghina perempuan lain setelah kita tahu bahwa ibu kita sendiri adalah seorang perempuan?, atau apakah kita mau melecehkan seorang perempuan seandainya tahu isteri kita dilecehkan orang lain?. Tentu kita sebagai manusia yang sadar tidak akan mau membiarkan hal itu terjadi.[32]

6. Hadis-Hadis yang Berhubungan dengan Misoginis

            Misoginis seringkali diartikan dengan kebencian terhadap kaum perempuan, istilah ini pertama kali dikeluarkan oleh Fatimah Mernissi dalam bukunya Women And Islam: an Historical and Theological Inqury, untuk menunjukkan terhadap hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derajat perempuan. Dalam hal ini, penulis mengambil contoh dua hadis yang berhubungan dengan misoginis.

a). Kepemimpinan Perempuan

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً

 

Artinya: Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami  dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut  terlibat  dalam  peristiwa  perang  Jamal  (Unta). Yaitu ketika disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa  Persia  telah  mengangkat  anak  perempuan Kisra sebagai penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan. (HR. Bukhari)[33]

           

            Menurut Ibn Hajar Al-Asqâlani sebagaimana ia kutip dari al-Khaththabi berkata, “dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa perempuan tidak dapat diangkat menjadi pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan dirinya, dan tidak berhak menikahkan selainnya”, namun pernyataannya kurang tepat. Mengenai larangan seorang perempuan memegang kekuasaan pemerintahan dan hakim adalah pendapat jumhur. Namun, ath-Thabari memperbolehkannya, dan ini adalah salah satu riwayat dari Imam Malik. Adapun Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum perempuan menjadi hakim dalam perkara-perkara yang diterima kesaksianya. dan Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, mengenai masalah kepemimpinan perempuan ini juga memberikan pandangan yang sama, dengan mengutip dari al-Khaththabi.[34] 

            Sedangkan, Penjelasan al-Hafiz Jâlal al-Din al-Suyûthî terhadap hadis ini memang sangat singkat, kerena kitab syarh  beliau ini termasuk syrah ijmâlî. Kitab yang menjelaskan suatu hadis secara ringkas, sehingga maksud hadis tersebut dapat kita pahami dengan cepat. Pemahaman beliau terhadap hadis ini dapat kita simpulkan bahwa beliau melarang kepemimpinan perempuan dengan pernyataan tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan dengan mengemukakan pernyataan dari Abi Bakrah yang mengatakan tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan.[35]

 

b). Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli Neraka

حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد بن جعفر قال أخبرني زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال خَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَامَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ قاَلَ تُكْثِرْنَ الَّلعْنَ وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتٍ عَقْلِ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ اْلحاَزِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَارَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا

 

Artinya: Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata, Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed Al-Khudri,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul Adlha atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliaupun menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[36]

 

 

            Ibn Hajar menjelaskannya dengan menerangkan makna kalimat-kalimatnya terlebih dahulu, seperti فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى (pada idul adha atau idul fitri), keraguan antara idul fitri dan idul adha ini bersumber dari perawi hadis,  فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ  (menuju tempat shalat, lalu beliau melewati kaum perempuan), ketika Nabi melewati kaum perempuan ini Nabi  memberikan nasehat kepada mereka agar bersedekah. أُرِيْتُكُنَّ   (kalian telah diperlihatkan kepadaku), maksudnya Allah swt telah memperlihatkan kepada nabi pada waktu isra’ dan mi’raj bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ (dan ingkar terhadap suami) yakni mereka tidak menunaikan hak suami atau lebih dari itu.  مِنْ نَاقِصَاتٍ  (orang yang kurang) hal ini merupakan sebagian dari masalah yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas penghuni neraka. أَذْهَبَ (menghilangkan), yakni sangat hebat dalam mempengaruhi, لِلُبِّ lebih khusus daripada akal, dimana لِلُبِّ merupakan intisari daripada akal itu sendiri. وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا (kami berkata dimana letak kurangnya agama kami), sepertinya hal itu tidak mereka ketahui sehingga perlu ditanyakan, padahal pertanyaan ini juga merupakan bukti kekurangan mereka. Sebab kaum perempuan tersebut menerima ketiga perkara yang dinisbatkan oleh Nabi saw kepada mereka; yaitu banyak melaknat,  ingkar terhadap suami serta menghilangkan atau merusak hati seorang laki-laki. Kemudian mereka sulit memahami kekurangan yang ada pada diri mereka. لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ  (apabila ia haid tidak shalat dan tidak pula puasa), kalimat ini mengisyaratkan bahwa perempuan haid tidak shalat dan tidak pula puasa telah ditetapkan berdasarkan hukum syariat sebelum adanya kejadian ini.[37]

Menurut kaum feminis, Hadis di atas berhasil memposisikan perempuan sebagai kebanyakan  penghuni  neraka, jika dilihat dari  bunyi teks hadisnya. Alasannya  karena mereka mengingkari dan menolak kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya sekarang secara kapasitas penduduk bumi ini lebih didominasi dan lebih banyak perempuan dari pada laki- laki. Dengan demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa kebanyakan penduduk bumi adalah calon ahli neraka.

Mereka menambahkan, jika hal itu adalah benar, tentu perintah Allah swt yang disampaikan  dalam al-Quran  untuk  selalu  berlomba-lomba  dalam  kebaikan  tidak  lagi berlaku karena sudah dicap sebagai penghuni neraka. Faktanya sekarang ini, perempuan baik sangat mudah ditemukan dari pada perempuan yang tidak baik. Terlebih lagi sekarang ini, laki-laki yang jahat sangat mudah ditemukan dibandingkan laki-laki yang baik. Apabila ditemukan perempuan yang berlaku immoral, tentu salah satu faktornya adalah karena laki- laki. Kasus PSK misalnya,  dapat diminimalisir bahkan dihapuskan apabila tidak ada laki- laki yang berbuat nakal. Kasus KDRT juga dapat dihindari apabila pihak laki-laki dapat menyadari tugas dan fungsinya sebagai suami atau seorang ayah. Oleh sebab itu, perempuan tidak dapat disalahkan secara penuh, tentu ada pihak-pihak lain yang menyebabkan mereka masuk neraka.

 

F. Studi Relevan

Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa karya dan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang penulis akan teliti mengenai hadis misoginis diantaranya karya:

1. Muh. Syamsuddin menuliskan karyanya, dalam sebuah jurnal studi Islam tentang gender dengan judul “Dampak Hadis Misoginis Terhadap Pemahaman Santri (Studi Kasus tentang Pemahaman Gender di Pesantren Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri)”. Dalam penelitiannya, Muh Syamsuddin menuliskan bagaimana dampak hadis-hadis misoginis terhadap pemahaman santri Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri, yangmasih sering terjadi bias gender atau ketidaksetaraan yang diterima santri putra dan putri baik dalam segi fasilitas, kebijakan atau hal lain nya. Sehingga menyebabkan pemahaman yang bersifat mendiskriminasi kaum perempuan maka perlu adanya sitem yang baik sehingga akan mengurangi mindset yang sifatnya subordinatif. Dalam penelitian, ini terdapat kesamaan yakni meneliti tentang pemahaman santri terhadap hadis-hadis misoginis yang diajarkan di pondok pesantren. Sedangkan perbedaannya, dalam penelitian Muh Syamsuddin membahas tentang bagaimana tanggapan santri terhadap hadis-hadis misoginis, dan apa dampak hadis itu terhadap pemahaman mereka, sedangkan penelitian ini yang bertujuan mencari bagaimana pemahaman santri terhadap hadis misoginis dan kontruksi hadis misoginis terhadap perilaku santri. Perbedaan yang lain adalah dari segi objek yang dituju, karena latar belakang pesantren yang juga berbeda yang pasti memiliki metode atau sistem yang berbeda, dan menggunakan pendekatan yang berbeda dengan metode living hadîts.[38]

2. Filda Fadilah juga menuliskan dalam karyanya dengan judul “ Konsep Kesetaraan Gender Dalam P andangan Santri (Studi Kasus di Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon)”, dalam penelitian ini membahas tentang kesetaraan gender dalam pandangan santri terbagi menjadi dua, yakni golongan konservatif yang tidak setuju dengan kesetaraan gender dan golongan progresif atau yang setuju dengan adanya kesetaraan gender. Adapun bentuk-bentuk kesetaraan gender dalam Pondok Pesantren Darussalam berbagai macam diantarnya seperti proses dirosah yang dilakukan di waktu yang sama, kitab kajian yang sama serta oleh guru yang sama, serta juga keterlibatan santri dalam realitas kesetaraan gender di Pondok sudah dilakukan oleh seluruh santri seperti santri laki-laki dan santri perempuan saling bertukar peran dalam kegiatan sehari-harinya.[39]

3. Hasani Ahmad Said di dalam jurnalnya membahas tentang “Hadis- hadis Misoginis: Penelitian yang dilakukannya mempokuskan tentang pandangan Hadis yang dibangun melalui persepsi sosio-kultur masyarakat yang melakukan interpretasi terhadap hadis misoginis. Dalam penelitiannya menunujukkan bahwa tidak ada hadis yang bersifat misoginis, akan tetapi latar belakang mufasir lah yang mempengaruhi hasil interpretasi hadis.[40]

4. Muhamad Rofiq dalam penelitiannya mengambil tema “Memahami  Hadis  Misoginis  Perspektif  Maqasid  Syari‘ah:  studi hadis yang menyamakan antara keledai, anjing dan perempuan”, hasil yang diteliti dari yang telah dilakukannya bahwa tujuan didirikannya  syari‟ah  Islam  adalah  untuk  mencapai  suatu kemaslahatan bersama (maslahah mursalah). Dalam kehidupan yang nyata untuk sebuah kemaslahatan seorang perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki dalam keluarga, mereka sama-sama menjadi   subjek   penentu   dalam   kehidupan   bersama[41]

5. Moh. Muzakka Mussaif dalam jurnal yang berjudul “Kesetaraan Gender      dalam Sastra Pesantren (Kajian terhadap Kitab Syi’ir Laki Rabi)” mengungkapkan bahwa beberapa hasil karya berbahasa Arab yang banyak dibicarakan terkait dengan bias gender adalah kitab Uqudul Lujjain yang   membicarakan   persoalan   hubungan suami-istri  (hubungan  seks)  yang  mengungkapkan  dominasi kekuasaan suami terhadap istri. Kedua kitab tersebut banyak merujuk ayat al-Quran dan Hadis Rasul untuk mengukuhkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.[42]

6. Penelitian yang dilakukan oleh Jamilah dalam Jurnal yang berjudul “Marriage And The Independency Of Women (A Case Study On Early Marriage In Local Area In Madura)”,  menyebutkan tentang banyaknya para anak-anak dibawah umur yang telah melangsungkan pernikahan, khususnya para perempuan. Dalam penelitiannya disebutkan  salah  satu  faktor  terjadinya  peristiwa  tersebut  adalah adanya  pendidikan  bagi  para  anak-anak  umur  9  tahun  tentang kehidupan rumah tangga, dan materi ajar yang diberikan dari kitab uqudul lujain.[43]

   Penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut berkonsentrasi pada otentisitas Hadis dan penyetaraan peran laki-laki dan perempuan yang seharusnya masuk dalam interpretasi Hadis. Peneliti merasa sanagat penting untuk mengetahui pemahaman Hadis misogini dan mengetahui pemahaman ulang yang dilakukan di pondok pesantren An-Nur, karena disana melaksanakan kajian-kajian Hadis perempuan secara modern.

 

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

         Pendekatan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif, karena tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.[44] Maka nanti peneliti akan mendeskripsikan data-data yang ditemukan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis field Research (penelitian lapangan).

 Dalam penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian terhadap kajian living hadis pemahaman santri pondok pesantren Azzakariyah terhadap hadis–hadis misoginis. Oleh karena itu penelitan kualitatif yang digunakan karena penelitian kualitatif sendiri merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan yang tidak dapat dicapai melalui prosedur pengukuran atau statistik.

Sementra  jenis dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan karakteristik suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu, penelitian yang menggambarkan penggunaan fasilitas masyarakat, penelitian yang memperkirakan proporsi orang yang mempunyai pendapat, sikap, atau bertingkah laku tertentu, penelitian yang berusaha untuk melakukan semacam ramalan dan penelitian yang mencari hubungan antara dua variabel atau lebih.[45]

2.  Setting dan Subjek Penelitian

a. Setting Penelitian

  Setting penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Azzakariyah yang beralamat di jalan Sungai Manau – Kerinci KM 23 Desa Muaro Panco Kecamatan Ranah Pembarap Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sedangkan subjek penelitian ini adalah Mudir pondok pesantren, majlis guru dan santriwan-santriwati.

b. Subjek Penelitian

        Mengingat subjek penelitian yang baik adalah subjek yang terlibat aktif, cukup mengetahui, memahami, atau berkepentingan dengan aktivitas yang akan diteliti, serta memiliki waktu untuk memberikan imformasi secara benar. Objek penelitian atau informan adalah orang, kelompok atau informan yang berkompeten dalam penelitian dan memiliki hubungan yang relevan atau dekat. Subyek penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap relevan dengan penelitian.[46]

          Subyek penelitian ataupun responden adalah pihak-pihak yang akan dimintai informasi menyangkut pokus penelitian. Dalam penelitian ini, mereka adalah orang-orang yang diduga mampu memberikan informasi. Subyek yang diteliti diambil dengan menggunakan cara purposive sampling yaitu teknik yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang diperkirakan erat sangkut pautnya dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

        Subjek dalam penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan informasi yang diperlukan selam proses penelitian. informan dalam penelitian ini meliputi beberapa macam diantaranya informan kunci, informan utama dan informan tambahan.

 

 

 

3. Jenis dan Sumber Data

              Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder, dan kedua jenis data tersebut digunakan untuk memperoleh data penelitian.

a. Jenis Data

           Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti langsung dari sumber utamanya[47].  Data primer dalam penelitian ini yaitu data yang di peroleh secara langsung dari sumber pertama melalui observasi dan wawancara dengan responden penelitian serta buku referensi yang diambil dari artikel dan jurnal daiataranya : Fudhaili, Ahmad, Pemahaman Misoginis dalam Hadis, (Fudhaili Online Blogspot, 2010), diakses pada: http://kritikhadits.com, tanggal 13 Desember 2021) dan Muqtada, R. (2014). Kritik Nalar Hadis Misoginis. Jurnal Musawa, 13,2

         Data sekunder merupakan data pendukung atau data pelengkap atau data yang tidak langsung diserahkan oleh sumber data, tetapi lewat orang lain atau lewat dokumen.  Data bekas yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari sumber yang tidak secara langsung memberikan data kepada pengumpul data, seperti data yang diperoleh dari orang lain atau dokumen lain.

b. Sumber Data

            Sumber data adalah bahan utama yang dapat diolah dan dianalisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian, yaitu orang yang menjawab atau menjawab pertanyaan peneliti, termasuk pertanyaan tertulis dan lisan.  terkait penelitian ini yang akan dijadikan sumber data adalah mudir pondok pesantren, majlis guru dan santriwan-santriwati.

         Data penelitian juga berupa hasil pengamatan, kumpulan pencatatan lapangan, dan dokumentasi dari setiap tindakan kegiatan jum’atan secara khusus maupun kegiatan tarekat secara umumnya.

4.  Metode Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Metode Observasi

     Metode atau pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, prilaku tidak sadar, kebiasaan dan sebagainya.[48]

    Observasi juga dapat diartikan sebagai mengamati secara langsung objek untuk mengetahui keberadaan, situasi, konteks, dan makna objek dalam upaya mengumpulkan data penelitian. Observasi atau disebut juga dengan pengamatan merupakan kegiatan pemuatan perhatian semua objek dengan menggunakan seluruh indera.

    Metode observasi dalam penelitian ini digunakan sebagai pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap objek untuk mengetahui keberadaan objek, situasi, konteks dan maknanya dalam upaya mengumpulkan data penelitian. Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, direncanakan dan dicatat secara sistematis, dapat dikontrol keandalannya (reliabilitasnya) dan kesahihannya (validitasnya).

  b. Wawancara

      Wawancara dalam penelitian kualitatif tidaklah bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh kreatifitas individu dalam merespon realitas dan situasi ketika berlangsungnya wawancara.[49]

      Dalam hal ini peneliti memakai dua metode wawancara dan juga mengkategorikan responden menjadi dua. Pertama, untuk responden para pengikut jum’atan secara umum peneliti menggunakan metode wawancara etnografi yaitu wawancara yang menggambarkan sebuah percakapan persahabatan. Peneliti mengumpulkan data-data melalui pengamatan, terlibat langsung dan berbagai percakapan sambil lalu, sehingga responden tidak menyadari jika peneliti sedang menggali informasi.[50]

Dalam metode wawancara, pewawancara bertanya langsung kepada responden, merekam jawaban responden atau merekam dengan tape recorder untuk mengumpulkan informasi.[51]

Wawancara membutuhkan syarat penting, yaitu hubungan yang baik dan demokratis antara yang diwawancarai dan penanya. Peran wawancara dalam penelitian adalah untuk memperoleh informasi langsung dari responden (metode primer), memperoleh informasi ketika metode lain tidak dapat digunakan (metode sekunder), dan memeriksa kebenaran kuesioner atau metode observasi (metode standar).

c. Dokumentasi

          Dokumen adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan data pribadi orang yang diwawancarai, seperti yang dilakukan psikolog ketika mempelajari perkembangan pelanggan melalui catatan pribadinya.[52] Penulis menggunakan dokumen sebagai alat untuk memperoleh semua data yang berhubungan dengan penelitian. Penggunaan metode dokumentasi yang digunakan peneliti adalah dengan mengumpulkan data-data yang terkait dengan tema penelitian, meliputi buku dan kitab, kalender, foto kegiatan, dan catatan administrasi dan beberapa catatan yang masih terkait dengan tema penelitian.

5. Metode Analisis Data

     Data-data yang telah dikumpulkan untuk kemudian dianalisis. Dalam menganalisis data yang sebelumnya peneliti peroleh, untuk proses analisa, cara yang digunakan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu reduksi data, display data, verifikasi.

     Reduksi ada merupakan proses seleksi, pempokusan dan abstraksi data dari catatan lapangan pada proses reduksi data, semua data umum yang telah dikumpulkan dalam proses pengumpulan data sebelumnya dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga peneliti dapat mengenali mana data yang telah sesuai dengan kerangka konseptual atau ujian penelitian yang telah direncanakan dalam desain penelitian. Dalam tahap ini, peneliti memilih fakta yang diperlukan dan yang tidak diperlukan reduksi data ini dalam proses penelitian akan menghasilkan ringkasan catatan data dari lapangan. Proses reduksi data akan dapat memperpendek, mempertegas, membuat pokus, membuang hal yang tidak perlu.

  Proses displai data peneliti melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan antara fakta tertentu menjadi data, dan mengaitkan antara data yang satu dengan lainnya. Dalam tahap ini peneliti dapat bekerja melalui penggunaan diagram, bagan-bagan, atau skema untuk data satu dengan data lainnya. Proses ini menghasilkan data yang lebih konkrit, tervisualisasi, memperjelas informasi agar nantinya dapat lebih dipahami oleh pembaca.

 Memasuki proses verifikasi, peneliti telah memulai melakakan penafsiran (interpretasi) terhadap data, sehingga data yang telah diorganisasikannya itu memiliki makna. Dalam tahap ini interpretasi data dapat dilakukan dengan cara membandingkan, pencatatan tema-tema dan pola-pola, pengelompokan, melihat kasus perkasus, dan melakukan pengecekan hasil interview dengan informan dan observasi. Proses ini juga menghasilkan sebuah hasil analisis yang telah dokonsultasikan atau dikaitkan dengan asumsi-asumsi dari kerangka teoritis yang ada. Selain itu, pada bagian ini, peneliti juga telah menyiapkan sesuatu yang telah menjadi jawaban atas rumusan masalah yang terletas pada latar belakang permasalahan.

6. Pemeriksaan Keabsahan Data

   Untuk memperoleh data yang terperpercaya (trustworthiness)[53] dan dapat dipercaya (reliable)[54], maka peneliti melakukan teknik pemeriksaan keabsahan data yang didasarkan atas sejumlah kriteria. Dalam penelitian kualitatif, upaya pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan lewat empat cara yaitu:

a. Perpanjangan Keikutsertaan

            Keikutsertaan peneliti di lokasi secara langsung dan cukup lama, dalam upaya mendeteksi dan memperhitungkan penyimpangan yang mungkin mengurangi keabsahan data, karena kesalahan peneliti atau responden, disenganja atau tidak sengaja. Distori data dari peneliti dapat muncul karena adanya nilai-nilai bawaan dari peneliti atau adanya keterasingan peneliti dari lapangan yang diteliti.

Distorsi data dapat dihindari dengan memperluas partisipasi peneliti dalam bidang ini, yang diharapkan dapat membuat data yang diperoleh memiliki tingkat realibilitas dan validitas yang tinggi. Perpanjangan partisipasi akhir, peneliti juga dapat menjalin hubungan saling percaya yang baik antara yang diwawancarai sebagai objek penelitian dan peneliti.[55]

b. Ketentuan Pengamatan

     Kondisi pengamatan teluk Peraturan observasi dilaksanakan melalui pengamatan yang cermat, rinci dan berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang disoroti dalam penelitian. Kemudian menganalisis faktor-faktor tersebut sehingga peneliti dapat memahaminya. Peraturan observasi dilaksanakan untuk mendapatkan karakteristik data yang benar-benar relevan dan terpokus pada objek penelitian.

c.  Trianggulasi

          Triangulasi adalah suatu teknik yang menggunakan hal-hal selain data utama untuk memeriksa keabsahan data, tujuannya untuk memeriksa keandalan data melalui pemeriksaan silang, yaitu dengan membandingkan berbagai data yang diperoleh dari penyedia informasi yang berbeda. Penelitian ini akan menggunakan empat teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan dengan menggunakan sumber, metode, penyidik, dan teori.

         Metode segitiga sumber mengacu pada penggunaan metode kualitatif untuk membandingkan dan memverifikasi kredibilitas informasi yang diperoleh pada waktu yang berbeda dan alat yang berbeda, yaitu melalui metode berikut: Perbandingan data observasi dan data wawancara; perbandingan informan di depan umum (publik) ruang Apa yang dikatakan dan apa yang dikatakan dalam ruang pribadi (private); bandingkan apa yang dikatakan orang yang diwawancarai pada waktu tertentu selama penelitian dengan apa yang dikatakan selama keseluruhan penelitian; membandingkan keadaan dan perspektif seorang informan dengan berbagai pendapat atau pandangan informan lainnya, seperti dosen, mahasiswa, atau pimpinan Prodi,; Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen terkait.[56]

Triangulasi adalah teknik untuk menguji keabsahan data dengan cara memeriksa konsistensi, realibilitas dan validitas data yang diperoleh dengan metode pengumpulan data tertentu. Ada dua cara menggunakan metode ini untuk trianggulasi, yaitu: memeriksa kepercayaan hasil penelitian melalui beberapa teknik pengumpulan data; menggunakan metode yang sama untuk memeriksa kepercayaan beberapa sumber data.

Triangulasi dengan penyidik ​​adalah teknik pengecekan data dengan cara membandingkan daya hasil yang diperoleh dari seorang pengamat dengan hasil survei pengamat lainnya. Dan trianggulasi teori, yaitu memeriksa keabsahan data dengan membandingkan dua atau lebih teori yang membicarakan hal yang sama, bertujuan untuk memperoleh penjelasan yang kurang baik dari hal yang diteliti.

d. Diskusi dengan Teman Sejawat                           

        Langkah terakhir untuk memastikan keabsahan data, peneliti akan berdiskusi dengan rekan sejawat untuk memastikan bahwa data yang diterima adalah benar dan bukan hanya pandangan sepihak peneliti atau informan. Melalui metode ini, peneliti berharap dapat memperoleh sumbangan, pendapat, dan saran yang berharga dan konstruktif dalam mengkaji keabsahan data.[57].

 

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan  dalam  penelitian  ini  akan  diuraikan  oleh  penulis dalam  lima  bab. Masing-masing  bab terdiri  dari  beberapa  sub bab permasalahan sebagaimana dikemukakan berikut:

Bab   I  :  Pendahuluan   yang   berisikan   latar   belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, studi relevan, metode penelitian.dan sistematika penelitian

Bab II  : Gambaran umum lokasi penelitian yang terdiri dari Historis dan Geografis pondok pesantren Azzakariyah, Struktur Organisasi dan Keadaan Guru dan Santri pondok pesantren Azzakariyah

Bab III : Pemahaman Hadis-Hadis Misoginis yang membahas permasalahan Kepemimpinan Perempuan, Perempuan yang Enggan Melayani Suami dan Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli Neraka

Bab IV : Penyajian dan Analisis data membahas tentang Pemahaman santri pondok pesantren Azzakariyah terhadap hadis-hadis misoginis, dan konstruksi serta dampak hadis misoginis terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah

Bab V : Penutup,  berisi tentang  kesimpulan  dan saran- saran sebagai akhir dari uraian penelitian ini.

 


BAB II

 

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

 

 

A.  Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Azzakariyah

Pondok Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur merupakan suatu lembaga yang berada dalam Yayasan Pondok Pesantren Azzakarriyah.  Pondok Pesantren Azzakariyah dirintis oleh K.H. Zakaria bin H. Muhammad Zen setelah beliau menghabiskan masa belajarnya di kota suci Makkah al-Mukarromah tahun 1433.H/1928.M. setiba beliau kembali ke tanah kelahiran, beliau mengadakan suatu majelis taklim  dengan  pengikut-pengikutnya  dari  orang-orang  tua,  dari  situlah awal  beliau  mengasuh  orang  tua  yang  sekarang  dikenal  dengan  panti jompo.[58]

Setelah pengikutnya dari orang-orang tua semakin banyak ternyata bukan hanya dari kalangan tua itu saja, Melainkan anak bahkan cucu dari orang tua jompo itu banyak sekali yang berminat untuk mengaji dan menimbah ilmu di dusun Talang Sekuang itu. Pada akhirnya beliau tidak langsung menerima santri-santri dari anak-anak itu lantaran lokal tidak ada dan juga tujuan awal dari pada K.H. Zakaria adalah untuk megajar orang- orang jompo. Jadi selama beliau masih hidup belum ada nama Pondok Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur. Baru ketika beliau sudah wafat yaitu pada hari Kamis tanggal 26 April 1996 M di Talang Sekuang penerus dari keluarga besar K.H. Zakaria berfikir untuk mencari pengganti pimpinan sekaligus melestarikan serta mengembangkan panti jompo yang ada pada waktu itu, Hingga setelah diadakan rapat keluarga besar semua keluarga menghendaki bahwa pengganti dari K.H. Zakaria adalah K.H. Nukman Ali.

37

Beberapa bulan setelah wafatnya perintis pondok kepercayaan masyarakat setempat untuk menitipkan anaknya bertambah banyak, baru semua  keluarga  berfikir  untuk  mengembangkan  panti  jompo  dengan sebuah yayasan yang lebih besar cakupannya. Dari hasil musyawarah keluarga memutuskan bahwa dibuatlah sebuah yayasan yang diambil dari nama K.H. Zakaria, Tujuanya adalah untuk mengenang dan mengabadikan nama beliau yang telah merintis dan bersusah payah untuk mendirikan majelis taklim dan demi menyebar luaskan syariat yang berasaskan ahlus sunnah wal jamaah yakni syariat yang dibawah oleh Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabat beliau. Sehingga berdirilah sebuah pondok pesantren  yang diberi nama Azzakariyah,  Kemudian untuk mendukung dalam segi formalnya maka pengurus berfikir untuk membuka Pondok Pesantren Azzakariyah.

Modal  awal  untuk  membentuk  Pondok  Pesantren  Azzakariyah Desa Muara Panco Timur hanya lahan yang luas dari warisan K.H Zakaria yang masih dipenuhi dengan pohon-pohon besar dan masih berupa hutan belantara. Bahkan sempat dapat cacian dari sekelompok orang yang sedikit tidak  senang  melihat  berdirinya  Pondok  Pesantren  Azzakariyah  Desa Muara Panco Timur, Tapi dengan latar belakang keluarga yang sebagian besar adalah orang yang berpendidikan yang siap mengisi dan berjuang bersama, Maka dikumpulkanlah iuran sedikit demi sedikit untuk membangun sebuah lokal sebagai tempat belajar murid-murid.

Beberapa tahun kemudian Pondok Pesantren Azzakariyah Talang Sekuang Desa Muara Panco Timur semakin maju. Semakin banyak kepercayaan dari masyarakat karena target yang harus dicapai adalah menjadikan murid-murid yang siap pakai dan terjun di masyarakat ketika mereka kembali ke rumah masing-masing, Dan paling tidak perubahan dalam segi akhlak memang benar-benar diperhatikan sekali. Karena inilah yang merupakan pembeda dari sebutan santri dengan siswa yang ada di luar lokasi pesantren.

Pada tanggal 15 Ramadhon 1429 H pimpinan Pondok Pesantren Azzakariyah yang kedua K.H. Nukman telah kembali pada Allah SWT tepat pada pertengahan bulan Ramadhon. Pada saat itu pula banyak sekali keluarga pondok pesantren yang ikut menjadi tenaga pengajar juga meninggal pada rentang waktu yang tidak berjauhan, sehingga secara tidak langsung sistem belajar mengajar yang ada pada saat itu sangat kurang efektif sekali karena dengan ditinggalnya beberapa tenaga pengajar yang ada termasuk salah-satu seorang yang berpengaruh seorang pimpinan telah meninggal   dunia.   Baru   setelah   beberapa   bulan   kedudukan   seorang pimpinan di gantikan oleh Bapak Drs. A. Kadir N sampai sekarang.

Pada intinya Pondok Pesantren Azzakariyah adalah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam Azzakariyah  yang  bertujuan  untuk  menyiapkan  peserta  didik  sebagai kader-kader penerus yang berilmu, bertaqwa dan terampil baik dalam pengetahuan agama maupun dalam pengetahuan umum serta berakhlaqul karimah dan siap mengabdi pada masyarakat, agama nusa dan bangsa.

 

B. Geografis Pondok Pesantren Azzakariyah

Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin terletak di dusun Pancuran Pedati tepatnya Talang Sekuang desa Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin jalan bangko kerinci KM 36, Terletak di atas  tanah berukuran 3  Ha, dengan luas  bangunan Sekitar 1 ½ Ha, Jarak antara sekolah dengan kota kabupaten adalah 34 KM dan jarak antara sekolah dengan kantor camat Renah pebarap  2000 Meter. Letak Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin sangat strategis karena berada di pinggir jalan raya dan terletak di dekat kota kecamatan sehingga memudahkan transportasi bagi santri dan orang tua dari desa manapun di kecamatan Renah Pembarap, Sungai Manau dan Pangkalan Jambu. Untuk lebih jelasnya dimana Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco dapat dilihat pada batas-batas areanya, Yaitu :

1. Sebelah Selatan berbatasan dengan lintas bangko-kerinci.

2. Sebelah Utara berbatasan dengan kebun warga.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan kebun warga.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan sungai kecil.[59]

C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Azzakariyah

1. Visi

Mewujudkan  santri  yang  berkualitas  IMTAG  dan  IMTEG  serta mengabdi kepada masyarakat.

2. Misi

a) Menciptakan santri yang berjiwa islami.

b) Mencetak santri yang berakhlakul karimah.

c) Menjadikan santri yang bisa memahami kutubus salafi.

d) Menjadikan  santri  yang  berilmu  pengetahuan  dan  menguasai teknologi.

e) Menjadikan  santri  yang  siap  mengabdi  demi  agama,  nusa  dan bangsa.[60]

 

D. Struktur Organisasi Pondok Pesantren Azzakariyah

Struktur adalah suatu susunan personil yang tergabung dalam suatu organisasi yang merupakan suatu perkumpulan atau kesatuan yang ditetapkan. Karena organisasi apapun yang ada baik itu besar maupun kecil tidak bisa lepas dari struktur organisasi. Melalui struktur organisasi inilah maka dapat dilihat tugas, wewenang dan bidang kerja yang ada dalam organisasi tersebut.

Dengan adanya struktur orgasnisasi juga akan memudahkan bagi pemimpin untuk mengadakan pengawasan, mengkoordinasi dan pengambilan keputusan- keputusan yang diperlukan dalam organisasi.

            Organisasi yang ada di Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara Panco  mayoritas  personilnya  berasalah  dari  keluarga  sendiri,  di  samping karena merupakan suatu kesatuan keluarga yang besar dari cucu perintis pertama,   mereka   juga   berkompeten   dalam   bidangnya   masing-masing, meskipun masih terdapat kekurangan.

 

           Dari kekurangan itu mereka juga tidak tinggal diam membiarkannya, tapi mengambil tenaga dari luar pulau yakni jawa, baik itu Jawa Timur maupun Jawa Barat. Terutama di Jawa Timur yang sudah menjalin hubungan antara Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur dengan Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur. Hal ini sudah berjalan sekitar 3 tahun yang mana tujuannya adalah untuk menambah tenaga pengajar, di samping itu juga Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur bercita-cita untuk menjadikan lembaga pendidikan yang dibekali dengan dua bahasa yakni bahasa arab dan bahasa inggris.

Adapun mengenai struktur organisasi Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara PancoKecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin dapat dilihat pada bagan berikut ini :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

STRUKTUR ORGANISASI PONDOK PESANTREN AZZAKARIYAH

TALANG SEKUANG DESA MUARA PANCO KECAMATAN RANAH PEMBARAP KABUPATEN MERANGIN TAHUN 2021/2022[61]

 

Kabag. Kesiswaan

Hubbul Khair,S. Pd.I

Kabag. Keterampilan

Mustakimah, S.PdI

BENDAHARA

Munawwir, S.Pd.I

 

TATA USAHA

Basron Hapi

PIMPINAN

Drs. A. Kadir Nawawi

 

WAKIL

Ahmad Danial

 

YAYASAN

AZZAKARIYAH

MAJLIS GURU

SANTRIWAN/TI

SEKRETARIS

Idham Kholid

 

Kabag. Kurikulum

Marhimin, S.Pd.I

 

 

 


 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


E. Keadaan Guru dan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah

1. Keadaan Guru

Seorang guru mempunyai kedudukan  yang sangat berat, karena yang  tercermin  dalam  ungkapan  guru  kalau  dalam  Pondok  Pesantren Azzakariyah. Azzakariyah Desa Muara Panco Timur adalah merupakan guru tarbiyah atau pendidik yang bisa menjiwai setiap anak didiknya, Di samping mengontrol atau menjaga secara terus menerus seorang guru tarbiyah juga mengawasi prilaku siswa-siswanya setiap hari karena dari beberapa materi  yang telah  diberikan nantinya  dapat  diterapkan  dalam kehidupan  sehari-hari.  Dan  lebih  beratnya  lagi  seorang  guru  tarbiyah antara ucapan yang dikeluarkan harus juga sesuai dengan perbuatan yang dilakukan sehingga sedikit banyak anak didik merasa terdidik dari sikap seorang guru tarbiyah tersebut meskipun secara tidak langsung guru tersebut tidak menerangkan secara lisan. Dan inilah yang sangat berpengaruh terhadap siswa-siswa untuk bisa merubah akhlak mereka.

Adapun mengenai keadaan guru di Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin dapat dilihat pada tebel berikut ini.

Tabel 3.1 : Daftar Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2021-2022[62]

No

Nama

Jenis

Kelamin

Jabatan

Pendidikan

1

Drs. A. Kadir Nawawi

LK

Pimpinan Pondok

UIN Yogya

2

Zainal Arifin

LK

Wali Kelas  I A PA Guru

PP. Azzakariyah

3

Hendri

LK

Wali Kelas  I B PA Guru

STAI SMQ Bangko

4

Muhammad Satir

LK

Wali Kelas  I C PA Guru

PP. Haqqul Yaqin

5

Deno Jumadi

LK

Wali Kelas  I D PA Guru

PP. Azzakariyah

6

Muhammad Torik

LK

Wali Kelas II A  PA Guru

PP. Al-Aziziyah

7

M. Ahsani Taqwim

LK

Wali Kelas  II B PA Guru

PP. Purba Baru

8

M. Husni

LK

Wali Kelas  II C PA Guru

PP. Azzakariyah

9

Muhammad Al Fadol

LK

Wali Kelas  III A PA Guru

PP. Mudi Mesra

10

Muhammad Sulthoni

LK

Wali Kelas III B PA Guru

PP. B.B.S Aceh

11

Mulyadi

LK

Wali Kelas  IV PA Guru

Samalanga

12

Al Haqoni

LK

Wali Kelas  V PA  Guru

IAIN STS Jambi

13

Mustagfirin

LK

Wali Kelas  VI PA  Guru

PP. Lirboyo

14

Nur Liana, S.Pd.I

PR

Wali Kelas  I A PIGuru

IAIN Al-Aziziyah

15

Naila Husna A.Ma

PR

Wali Kelas  I B PI Guru

STAI SMQ Bangko

16

Mawaddah

PR

Wali Kelas  I C PI Guru

PP. Azzakariyah

17

Hoiriah

PR

Wali Kelas  I D PI Guru

PP. Purba Baru

18

Rutbatul Aliyah, S.Pd

PR

Wali Kelas II A  PI Guru

Samalanga

19

Nur Aliyah, S. Pd.I

PR

Wali Kelas  II B PI Guru

STAI Bangko

20

Husna, S. Pd. I

PR

Wali Kelas  II C PI Guru

INKAFA Gresik

21

Iryanti

PR

Wali Kelas  III A PI Guru

PP. Lirboyo

22

Hurfatil Jannah

PR

Wali Kelas III B PI Guru

IAIN Al-Aziziyah

23

Irmawati

PR

Wali Kelas IV A PI Guru

PP. B.B.S. Aceh

24

Humdiyah

PR

Wali Kelas IV B PI Guru

PP. SMQ

25

M. Ihsan S.sy

LK

Wali Kelas  V A PI Guru

STAI SMQ Bangko

26

Baihaki

LK

Wali Kelas  V B PI Guru

PP. B.B.S. Aceh

27

Ahmad Danial

LK

Wali Kelas  VI PI Guru

PP. B.B.S. Aceh

 

            Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah tenaga pengajar atau guru yang mengajar di Pondok  Pesantren  Azzakariyahberjumlah 27 orang.

2. Keadaan Santri

Santri  yang  ada  di  Pondok  Pesantren  Azzakariyah desa  Muara Panco  Timur Kecamatan  Renah  Pembarap  Kabupaten Merangin  sudah berasal dari berbagai kabupaten di antaranya kabupaten Merangin, Bungo, Sarolangun,  Kerinci  dan  lain-lainnya.  Cepatnya  perkembangan  siswa Pondok  Pesantren  Azzakariyah  salah  satu  penyebabnya  adalah  karena anak  yang  belajar  di  sana  benar-benar  bisa  ditampilkan  atau  berguna dalam masyarakat setempat meskipun dengan bekal ilmu yang pas-pasan tapi karena adanya manfaat dari sedikitnya ilmu itulah menjadikan jalan keluar untuk meraih ilmu yang lebih banyak lagi. Dan ini sudah terbukti dalam   beberapa  tahun   yang  lalu   sehingga   kepercayaan   masyarakat semakin tinggi untuk memasukkan anaknya di pesantren ini, Disamping biaya yang relatif murah juga banyak dilengkapi dengan ekstrakulikuler di luar jam pelajaran.

Santri  yang  ada  di  Pondok  Pesantren  AzzakariyahDesa  Muara Panco Timur berjumlah 933 orang, Yang mayoritas berasal dari Kabupaten Merangin sendiri, Kemudian kabupaten Bungo, Kabupaten Sarolangun dan kabupaten Kerinci yang mana dari tahun ke tahun jumlah santri dari masing-masing kabupaten terus bertambah. Untuk siswa putra berjumlah 464 anak. Sedangkan siswi putri berjumlah 443 anak.

Adapun mengenai keadaan siswa-siswi Pondok Pesantren Azzakariyah Desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten  Merangin  secara  lengkap  dan  terperinci  dapat  dilihat  pada tebel erikut ini :

Tabel 3.1 : Data Santriwan dan Santriwati Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2021-2022[63]

No

Kelas

Rombel

Jenis Kelamin

Jumlah

LK

PR

1

I

8

140

134

282

2

II

6

128

64

198

3

III

4

84

64

152

4

IV

3

58

67

128

5

V

3

28

62

93

6

VI

2

26

52

80

Total

26

464

443

933

F. Keadaan Sarana dan Prasarana Pondok   Pesantren Azzakariyah

Dalam proses belajar mengajar sarana dan prasarana sangatlah dibutuhkan sekali untuk mendukung keberhasilan anak didik dalam belajar, disamping sebagai syarat adanya suatu lembaga pendidikan yang telah diakui oleh pemerintah, sarana pendidikan juga menjadi sorotan masyarakat- masyarakat elit yang akan memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan dan juga menjadi kebanggaan siswa ketika masuk dalam lembaga pendidikan yang maju   dan   fasilitas   yang   lengkap.   Begitu   juga   di   Pondok   Pesantren Azzakariyah, sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses belajar mengajar memang sangat diperdulikan sekali meskipun ada sebagian sarana yang   belum   terpenuhi,   tapi   dari   pihak   pengurus   Pondok   Pesantren Azzakariyah masih tetap mengusahakannya dengan mencari alternatif atau jalan keluar supaya anak didik tetap bisa melaksanakan proses belajar dengan nyaman dan tertib.

Adapun di antara sarana dan prasarana yang di miliki Pondok Pesantren Azzakariyah desa Muara Panco Timur Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin antara lain dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.3 : Keadaan Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2021/2022[64]

No

Jenis Prasarana

Jumlah

Kondisi Baik

Kondisi Rusak

 

1

Ruang Kelas

26

26

-

2

Perpustakaan

2

2

-

3

R.Lab.IPA

-

-

-

4

R.Lab. Biologi

-

-

-

5

R.Lab.Kimia

-

-

-

6

R.Lab. Komputer

-

-

-

7

R.Lab.Bahasa

-

-

-

8

R.Pimpinan

-

-

-

9

R.Guru

2

2

-

10

R.Tata Usaha

1

1

-

11

R. Konseling

-

-

-

12

Tempat Beribadah

2

2

-

13

R. UKS

1

1

-

14

Jamban

10

8

2

16

Gudang

1

1

-

17

R. Sirkulasi

-

-

-

18

Tempat Olahraga

2

2

-

 

Memperhatikan data sarana belajar santri pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa sebahagian besar sarana belajar santri dalam kondisi rusak, artinya sudah ada yang perlu mendapatkan perhatian perbaikan dan sarana lainnya dalam kondisi cukup parah seperti 2 ruang belajardan WC santri yang belum memadai. Disamping itu yang sangat penting adalah kelengkapan atau pengadaan peralatan belum memadai seperti ruang Lab. Komputer, Lab. Bahasa dan Labor IPA. Serta perlunya penambahan atau peningkatan gedung belajar mengingat makin besarnya minat orang tua memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren Azzakariyah

 

G. Kurikulum Pondok Pesantren Azzakariyah

Kuikulum pendiidkan di Pondok Pesantren Azzakariyah Bukan hanya mengkaji kitab kuning sebagai materi pokok pondok pesantren, tetapi untuk menambah life skill pondok pesantren mengadakan beberapa kegiatan:

1. Unit pengembangan santri

2. Unit kegiatan santri

3. Badan usaha santri

Untuk bisa mengikuti arus zaman dalam dunia informasi teknologi, Pondok Pesantren mengadakan unit kegiatan santri mereka diberi pembelajaran tentang dunia digital sehingga mereka diharapkan menyebar kebaikan melalui dunia maya dan menjadi pelopor kedamaian,  bukan hanya menjadi pelopor kedamaian tetapi juga menginformasikan kepada masyarakat bahwa santri bukan hanya menguasai kitab kuning tetapi juga bisa berprestasi didalam bidang ilmu dunia.

Tabel 4.3 : Komponen Kurikulum Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2021/2022[65]

No

Kurikulum Agama

Kurikulum Umum

1

Fiqih

 Bahasa Indonesia

2

Tafsir

Pendidikan Kewarganegaraan

3

Tarikh Islam

Matematika

4

Bahasa Arab

Bahasa Inggris

5

Nahwu

Biologi

6

Tajwid

Kimia

7

Shorof

Sejarah

8

Juz Amma

Geografi

9

Khat

Ekonomi

10

Muthalaah

Sosiologi

11

Faroid

TIK

12

Mahfuzot

Psikologi

13

Fiqh

Akuntansi

14

Ushulul Fiqh

 Seni Bela Diri

15

Hadis

 Olah Raga

16

Ushulul Hadis

 Muatan Lokal

Adapun Buku pegangan Guru, Pondok Pesantren Azzakariyah menggunakan  Buku  pegangan  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan untuk Santri Kelas VIII, IX, XI dan XII. Sedangkan peralatan dan media pembelajaran masih menggunakkan peralatan dan media yang sederhana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

LIVING HADIS DAN MISOGINIS

 

A. Living Hadis

1. Definisi Living Hadis

            Secara bahasa living hadîts adalah ―hadis yang hidup‖. Sedangkan menurut istilah living hadîts adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran atau keberadaan hadis disebuah komunitas muslim tertentu. Dari sini maka akan tampak respon sosial komunitas muslim untuk menghidupkan dan mengaplikasikan teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan.[66] Jadi living hadis merupakan fenomena yang ada di masyarakat bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW yang diintrepretasikan di era sekarang ini, dan dapat menjadi pedoman dikehidupan seharihari.

            Menurut Sahiron Syamsudin, living hadîts adalah sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama’ hadis, penguasa, hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi[67]. Menurut Saifuddin Zuhri, Kajian living menjadi satu hal menarik dalam melihat fenomena dan praktik sosio-kultural yang kemunculannya diilhami oleh hadis-hadis yang ada pada masa lalu dan menjadi satu praktik pada masa kini.40 Praktik yang ada pada modern ini, di dalamnya terdapat banyak yang bersinggungan dengan praksis yang ada pada masa Rasulullah

50

            Living hadis merupakan salah satu cabang disiplin dalam hadis.3Sebagai sarana kajian hadis yang berkembang pada saat ini, living hadis tersebut merupakan hal yang menarik untuk dilihat sebagai fenomena yang kemunculannya bertujuan untuk menunjukkan hadis-hadis yang ada pada masa lalu dan menjadi suatu praktik pada masa kini. Menurut Suryadi, living hadis merupakan sunnah yang hidup dan berkembang secara cepat pada masa kini dari berbagai masyarakat Islam. Pada satu sisi living hadis juga merupakan bentuk kebutuhan yang mendasar karena dalam jangka panjang tolak ukur ide-ide masyarakat muslim yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya akan terancam jika tidak ada rujukan yang otoritatif.[68]

            Istilah dari living hadis ini belakangan muncul pada akhir abad ke-20 di dalam dunia Islam.[69] Istilah ini dicetuskan oleh seorang pemikir Islam asal Pakistan, yaitu Fazlur Rahman.13Istilah ini lahir dari pendapat Fazlur Rahman mengenai sunnah nabi. Ia memandang bahwa hadis dan sunnah secara nyata berubah secara historis. Sunnah menurut Fazlur Rahman adalah konsep yang utuh dan cepat sejak awal Islam dan berlaku sepanjang masa. “sunnah yang hidup” identik dengan ijma’ kaum muslim atau praktik yang disepakati. Meskipun hadis merupakan tranmisi verbal dari sunnah, namun Fazlur Rahman menyampaikan perbedaan-perbedaan yang menonjol antara “sunnah yang hidup” pada generasi awal dan formulasi hadis. Menurutnya, “sunnah yang hidup” merupakan proses yang hidup dan berkelanjutan, sedang hadis bersifat formal dan berusaha menegakkan kepermanenan yang mutlak dari sintesis “sunnah yang hidup” yang berlangsung sampai abad ke-3 H.[70]

            Living hadis yang beriringan dengan perkembangan zaman yang semakin modern, menyebabkan terjadinya perdebatan atau perbedaan pendapat dua kalangan ulama, yaitu ulama klasik dan modern. Jika kalangan ulama klasik memperdebatkan hal yang berkaitan dengan konsep sunnah dan hadis, maka para tokoh hadis modern memperdebatkan antara konsep living sunnah (living tradition) dan living hadis (living hadith).

            Muhammad Musthofa Azami yang menjelaskan bahwa living sunnah merupakan kesepakatan kaum muslim tentang praktik keagamaan. Di sisi lain, Fazlur Rahman juga disebut sebagai pencetus living sunnah di era modern, ia memaknai living sunnah sebagai tradisi yang hidup yang sudah ada dan bersumber dari Nabi Muhammad saw, kemudian dirubah dan dibenarkan oleh generasi setelahnya sampai pada masa pasca ke-Nabi-an dengan berbagai pendapat untuk dipraktikkan pada komunitas tertentu.[71]

2. Kajian Living Hadis

            Kajian tradisi dan budaya sangat menarik perhatian publik karena memiliki khas atau keunikan yang tidak dimiliki oleh mayarakat muslim yang lain. Dalam kehidupan masyarakat Islam, muncul persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan dan perkembangan dalam mengaplikasikan ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw ke dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Kebudayaan berkembang dari generasi ke generasi dalam kehidupan bermasyarakat dan tetap terjaga dan dipelihara karena sejalan dengan ajaran agama, seperti tradisi sekar makam atau istilahnya ziarah kubur.Tradisi tersebut merupakan bentuk aplikasi living hadis meskipun tradisi ziarah kubur tersebut disebut sebagai prosesi menabur bunga pada saat ziarah kubur.Ziarah kubur juga disebut sebagai bentuk ibadah. Bukan hanya ibadah shalat saja yang disebut ibadah, akan tetapi ziarah kubur juga disebut dengan ibadah meskipun bertujuan untuk mendapatkan ibrah atau pelajaran darinya dalam mengingat akhirat. Ziarah kubur diperbolehkan asalkan perkataan-perkataan tersebut tidak berbuat syirik, misalnya berdo’a memohon pertolongan kepadanya.Namun, seiring berjalannya waktu ketika aqidah sudah kuat dan memiliki pemahaman beserta pengetahuan yang cukup, Rasulullah membolehkan kaum muslimin untuk berziarah kubur atas dasar Rasulullah saw mengukur tingkat pemahaman keilmuan umatnya.

            Tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dari suatu kebudayaan atau agama yang sama dan berlangsung secara turun temurun, baik melalui informasi maupun cerita yang menjadikan suatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat sebagai adat kebiasaan ataupun ritual adat atau agama. Selain itu, tradisi juga diartikan juga sebagai adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat sampai sekarang.[72]

            Menurut Muhammad Abed Al-Jabiri, kata turats (tradisi) dalam bahasa Arab berasal dari unsur-unsur huruf wa ra tha, yang dalam kamus klasik disamakan dengan kata-kata irth, wirth, dan mirath, yang menunjukkan arti “segala sesuatu yang diwarisi manusia dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau keningratan”.[73] Sebagaimana sistem budaya, tradisi akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku dan tidak jauh dari sumber nilai dan gagasan utama. Sistem tersebut akan terwujud dalam sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi. Sistem ideologi yang dimaksudkan di sini merupakan etika, norma, dan adat-istiadat, yang berfungsi sebagai pengarahan atau landasan terhadap sistem sosial yang meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakat.

 

B. Hadis Misoginis

            Misoginis seringkali diartikan dengan kebencian terhadap kaum perempuan, istilah ini pertama kali dikeluarkan oleh Fatimah Mernissi dalam bukunya Women And Islam: an Historical and Theological Inqury, untuk menunjukkan terhadap hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derajat perempuan. Dalam hal ini, penulis mengambil contoh dua hadis yang berhubungan dengan misoginis.

1. Kepemimpinan Perempuan

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً

 

Artinya: Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami  dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut  terlibat  dalam  peristiwa  perang  Jamal  (Unta). Yaitu ketika disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa  Persia  telah  mengangkat  anak  perempuan Kisra sebagai penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan. (HR. Bukhari)[74]

           

            Menurut Ibn Hajar Al-Asqâlani sebagaimana ia kutip dari al-Khaththabi berkata, “dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa perempuan tidak dapat diangkat menjadi pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan dirinya, dan tidak berhak menikahkan selainnya”, namun pernyataannya kurang tepat. Mengenai larangan seorang perempuan memegang kekuasaan pemerintahan dan hakim adalah pendapat jumhur. Namun, ath-Thabari memperbolehkannya, dan ini adalah salah satu riwayat dari Imam Malik. Adapun Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum perempuan menjadi hakim dalam perkara-perkara yang diterima kesaksianya. dan Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, mengenai masalah kepemimpinan perempuan ini juga memberikan pandangan yang sama, dengan mengutip dari al-Khaththabi.[75] 

            Sedangkan, Penjelasan al-Hafiz Jâlal al-Din al-Suyûthî terhadap hadis ini memang sangat singkat, kerena kitab syarh  beliau ini termasuk syrah ijmâlî. Kitab yang menjelaskan suatu hadis secara ringkas, sehingga maksud hadis tersebut dapat kita pahami dengan cepat. Pemahaman beliau terhadap hadis ini dapat kita simpulkan bahwa beliau melarang kepemimpinan perempuan dengan pernyataan tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan dengan mengemukakan pernyataan dari Abi Bakrah yang mengatakan tidak akan bagus menyerahkan perkara kepada perempuan.[76]

 

2. Perempuan yang Banyak Menjadi Ahli Neraka

حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد بن جعفر قال أخبرني زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال خَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَامَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ قاَلَ تُكْثِرْنَ الَّلعْنَ وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتٍ عَقْلِ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ اْلحاَزِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَارَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا

 

Artinya: Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata, Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed Al-Khudri,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul Adlha atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliaupun menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[77]

 

 

            Ibn Hajar menjelaskannya dengan menerangkan makna kalimat-kalimatnya terlebih dahulu, seperti فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى (pada idul adha atau idul fitri), keraguan antara idul fitri dan idul adha ini bersumber dari perawi hadis,  فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ  (menuju tempat shalat, lalu beliau melewati kaum perempuan), ketika Nabi melewati kaum perempuan ini Nabi  memberikan nasehat kepada mereka agar bersedekah. أُرِيْتُكُنَّ   (kalian telah diperlihatkan kepadaku), maksudnya Allah swt telah memperlihatkan kepada nabi pada waktu isra’ dan mi’raj bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ (dan ingkar terhadap suami) yakni mereka tidak menunaikan hak suami atau lebih dari itu.  مِنْ نَاقِصَاتٍ  (orang yang kurang) hal ini merupakan sebagian dari masalah yang menyebabkan mereka menjadi mayoritas penghuni neraka. أَذْهَبَ (menghilangkan), yakni sangat hebat dalam mempengaruhi, لِلُبِّ lebih khusus daripada akal, dimana لِلُبِّ merupakan intisari daripada akal itu sendiri. وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا (kami berkata dimana letak kurangnya agama kami), sepertinya hal itu tidak mereka ketahui sehingga perlu ditanyakan, padahal pertanyaan ini juga merupakan bukti kekurangan mereka. Sebab kaum perempuan tersebut menerima ketiga perkara yang dinisbatkan oleh Nabi saw kepada mereka; yaitu banyak melaknat,  ingkar terhadap suami serta menghilangkan atau merusak hati seorang laki-laki. Kemudian mereka sulit memahami kekurangan yang ada pada diri mereka. لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ  (apabila ia haid tidak shalat dan tidak pula puasa), kalimat ini mengisyaratkan bahwa perempuan haid tidak shalat dan tidak pula puasa telah ditetapkan berdasarkan hukum syariat sebelum adanya kejadian ini.[78]

Menurut kaum feminis, Hadis di atas berhasil memposisikan perempuan sebagai kebanyakan  penghuni  neraka, jika dilihat dari  bunyi teks hadisnya. Alasannya  karena mereka mengingkari dan menolak kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya sekarang secara kapasitas penduduk bumi ini lebih didominasi dan lebih banyak perempuan dari pada laki- laki. Dengan demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa kebanyakan penduduk bumi adalah calon ahli neraka.

Mereka menambahkan, jika hal itu adalah benar, tentu perintah Allah swt yang disampaikan  dalam al-Quran  untuk  selalu  berlomba-lomba  dalam  kebaikan  tidak  lagi berlaku karena sudah dicap sebagai penghuni neraka. Faktanya sekarang ini, perempuan baik sangat mudah ditemukan dari pada perempuan yang tidak baik. Terlebih lagi sekarang ini, laki-laki yang jahat sangat mudah ditemukan dibandingkan laki-laki yang baik. Apabila ditemukan perempuan yang berlaku immoral, tentu salah satu faktornya adalah karena laki- laki. Kasus PSK misalnya,  dapat diminimalisir bahkan dihapuskan apabila tidak ada laki- laki yang berbuat nakal. Kasus KDRT juga dapat dihindari apabila pihak laki-laki dapat menyadari tugas dan fungsinya sebagai suami atau seorang ayah. Oleh sebab itu, perempuan tidak dapat disalahkan secara penuh, tentu ada pihak-pihak lain yang menyebabkan mereka masuk neraka.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

 

A.    Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis-Hadis Misoginis

         Pembahasan hadits misoginis selalu diperbincangkan dan menjadi pembahasan yang unik berbarengan dengan mencuatnya pembahasan tentang aktivitas gender dan hak asasi manusia. Banyaknya hadits yang dinilai oleh penggiat feminis sebagai hadits misoginis, terutama hadits terkait dengan posisi dan kehidupan perempuan yang terdapat dalam hadits.

          Dalam pembahsan ini, penulis mencoba mengambil dua hadis sebagai bahan untuk penelitian terhadap pemahaman santri pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang Desa Muaro Panco Timur Kecamatan Ranah Pembarab Kabupaten Merangin Provinsi Jambi terhadap hadis-hadis misoginis.

1. Perempuan Tidak Boleh Menjadi Pemimpin

    Hadis perempuan menjadi seorang pemimpin masih menjadi sorotan tersendiri dikalangan santri. Mungkin karena sudah menjadi doktrinasi yang sudah umum tentang kelayakan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin harus dipertanyakan, sehingga perempuan sering kali dilecehkan dan dianggap tidak mampu untuk mejadi seorang pemimmpin.

Sebagai contoh hadis shahih Bukhari, Juz IV, no. 4163, 1610.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنِ الْهَيْثِمِ حَدَّثَنَا عَوْفُ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ اَبِي بُكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِيَ الَّلهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيَّامُ اْلجُمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِاَصْحَابِ اْلجُمَلِ فَقَاتَلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمّاَ بَلَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ اَهْلَ فَارِسِ قَدْ مَلَكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتُ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا اَمَرَهُمْ اِمْرَاَةً

 

57

Artinya: Usamah bin Haitsan menceritakan kepada kami ‘Auf menceritakan kepada kami  dari al-Hasan (al-Bashri) dari Abu Bakrah. Ia mengatakan; “Allah Swt telah menyadarkan aku, melalui kalimat-kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, ketika aku hampir saja ikut  terlibat  dalam  peristiwa  perang  Jamal  (Unta). Yaitu ketika disampaikan kepada Nabi Saw, bahwa bangsa  Persia  telah  mengangkat  anak  perempuan Kisra sebagai penguasa (Raja atau ratu mereka). Pada saat itu Nabi mengatakan; “Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan. (HR. Bukhari)[79]

           

            Menurut pemahaman para ulama hadis, khususnya para pensyarah hadis, seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalâni yang terkenal dengan kitab beliau Fath al-Bâri, mengatakan bahwa hadis tersebut berkaitan dengan kerajaan Persia yang waktu terjadi perebutan kekuasaan oleh anaknya. Namun, tidak lama memerintah ia pun meninggal dan digantikan oleh anak perempuannya. Maka tidak lama kerajaan itu pun hancur. Tentang masalah larangan perempuan menjadi pemimpin, menurut beliau itu hanya pendapat jumhur ulama, Imam At-Thabari dan Abu Hanifah tidak sependapat dengan hal itu.

            Sementara dalam pandangan santri pondok Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan tidak menjadi pemimpin karena perempuan lebih mengutamakan perasaan dari pada akal[80].

            Hasil wawancara penulis dengan dengan santriwati kelas VI di pondok Azzakariyah Talang Sengkuang bernama Yusmawati mengatakan :

“Menurut kami bahwa seorang perempuan tidak layak menjadi seorang pemimpin karena laki-laki lebih baik untuk menjadi seorang pemimpin. Alasannya adalah karena perempuan lebih mengedepankan perasaan dari akalnya sementara laki-laki lebih mengedepankan akalnya dari pada perasaanya”.[81]

 

            Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa santriwati di atas sangatlah jelas bahwa mereka beranggapan bahwa perempuan tidaklah menjadi proritas menjadi pemimpin.

            Pendapat lain dari wawancara penulis dengan santriwati yang lain yang bernama Indrawati berpendapat :

“Menurut kami perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin diranah publik. Namun tidak untuk konteks di ranah rumah tangga karena alasan perempuan lebih mengedepankan perasaan. Jadi perempuan bukan tidak boleh menjadi pemimpin, hanya konteks di mana dan kapan perempuan itu bisa menjadi pemimpin[82].

 

            Lebih lanjut penulis mewancarai Amelia Sartika salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :

“Menurut saya untuk memahami hadis yang berkaitan dengan pendapat kita tidak boleh memahaminya secara tekstual, kita harus juga mehaminya secara kontekstual artinya mari kita telusuri sebab musabbab atau asbabul wurud dari turunnya hadis ini, menurut pendapt saya hadis misoginis ini ialah peristiwa ketika raja persia kisra wafat dan dia tidak mempunyai keturunan laki-laki karena anak-anaknya adalah perempuan dan ketika wafat yang harus menggantikan harus keturunannya sehingga di ketahui oleh Rasulullah dan keluarlah hadis ini karena nabi mengetahui kalau anak kisra tidak punya kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin.[83].

 

            Lain lagi halnya pendapat Salmawati seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :

“Boleh saja kita memahami hadis ini dengan beda pendapat, menurut saya adanya banyak tafsir atau penjelasan para ulama’ hadis mengenai hadis misoginis ini, menurut saya bukan berarti perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hanya saja tempat dan masanya saja yang harus dipahami, misalnya perempuan bisa saja menjadi pemimpin dalam urusan PKK atau usurusan majlis ta’lim pengajian ibu-ibu”.[84]

 

            Pada pendapat lain saat penulis mewawancari Murniwati seorang santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :

“Layak atau tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin harus dilihat dulu dari kapasitas kemampuannya, artinya perempuan juga boleh menjadi seoarang pemimpin asalkan ada kapasitas kemampuannya. Namun tidak semua jabatan atau kepemimpinan, sebagai contoh menajdi imam sholat, perempuan tidak boleh mengimami laki-laki, terkecuali menjadi imam sesama perempuan[85].

            Menurut pengamatan penulis bahwa hadis ini terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebleum menjadikannya sebagai hukum untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Karena dari segi status hadis yang ahad, keluarnya hadis 25 tahun setelah Nabi wafat dan saat konflik antara Aisyah ra. dan Ali ra. dan hadis itu terkait konteks kerajaan Persia.

            Hadit tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Karena yang penting dari seorang pemimpin adalah bersikap adil, memiliki ilmu yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad, sehat jasmani, tidak cacat tubuh, mampu mengatur, dan gagah berani. Jadi apabila memiliki sifat-sifat tersebut baik laki-laki maupun perempuan, maka ia pantas untuk menjadi pemimpin. Di samping itu hadis ini hanya dalam bentuk pemberitahuan tentang kelanjutan dari kisah Raja Kisra yang menyobek-nyobek surat dari Nabi Muhammad saw. yang kemudian kerajaan tersebut hancur karena dipimpin oleh anak perempuannya. Sebagaimana do’a Nabi saw. melihat dari konteks sejarah tersebut, maka hadis ini tidak dapat dijadikan legitimasi hukum untuk melarang kepemimpinan perempuan. Karena terdapat banyak pemimpin perempuan yang sukses.

            Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari salah satunya dalam Kitabul Fitan, bagian pembahasan tentang konflik atau fitnah. Selain diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, hadis ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan At-Tirmidzi, Musnad At-Thabarani, juga Sunan An-Nasai.

            Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Utsman bin Haitsam, yang bersambung sampai sahabat Abu Bakrah yang bernama asli Nafi’ bin Al-Harits. Ada juga jalur periwayatan yang dimuat oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Muhammad bin Al-Mutsanna. Untuk redaksi matan hadis seperti di atas, mayoritas merujuk pada Abu Bakrah.

            Secara status hadisnya sendiri, para ulama menyepakati bahwa ia berkualitas shahih. Salah satu konsekuensi hadis yang dihukumi shahih adalah ia dapat menjadi dasar hukum atau hujjah dalam syariat. Para ulama, kkhususnya ahli hadis dan ahli fiqih tentang makna riwayat Abu Bakrah tersebut. Para muhadditsin sudah menyepakati keshahihannya, salah satunya karena telah memenuhi standar Imam Al-Bukhari. Imam At-Tirmidzi juga menyebutnya hadis hasan shahih.

            Asbabul wurud atau sebab dituturkannya hadis tersebut oleh Abu Bakrah adalah ketika konflik politik meruncing antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib, yang menjadi pemicu Perang Jamal pada tahun 36 H. Posisi politik Abu Bakrah sendiri disebutkan tidak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah, dan mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi di atas.

            Para pensyarah hadis menjelaskan peristiwa apa yang menyebabkan Nabi berujar demikian. Alkisah, negeri Kisra-salah satu bagian dari negeri-negeri Persia-memiliki seorang raja yang terbunuh, buah dari konflik internal kerajaan. Rupanya, pembunuh sang raja adalah anak lelakinya sendiri. Intrik demi intrik terjadi dalam kerajaan, dan singkat cerita diputuskan untuk mengangkat raja dari anak perempuan sang Kisra. 

2. Kebanyakan Perempuan Menjadi Ahli Neraka

            Tradisi Islam, pemahaman teks-teks keagamaan biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas keagamaan seperti ulama. Karena memiliki otoritas keagamaan, pemahaman mereka kemudian dinilai sebagai pemahaman yang memang sudah semestinya dan harus diterima sebagai pemahaman yang benar.

            Dari berbagai macam hadis misoginis, penulis  ini lebih memfokuskan pembahasannya kepada hadits yang disinyalir paling sering dikomentari kaum feminis, salah satunya adalah hadis yang menyatakan bahwa perempuan adalah mayoritas penghuni neraka.

حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا محمد بن جعفر قال أخبرني زيد هو ابن أسلم عن عياض بن عبد الله عن أبي سعيد الخدري قال خَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلىَ اْلمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَامَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ قاَلَ تُكْثِرْنَ الَّلعْنَ وَتَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتٍ عَقْلِ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ اْلحاَزِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَارَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلىَ قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا

Artinya: Menceritkan kepada Said bin Abi Maryam, dia berkata, Muhammad bin Jaafar memberi tahu kami, dia berkata, Zaid memberi tahu saya, dia adalah putra Aslam, atas otoritas Iyad bin Abdullah, atas otoritas Abu Saeed Al-Khudri, katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, pada hari raya ‘Idul Adlha atau hari raya Idul Fitri keluar dari rumah menuju ke tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: «Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya: “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliaupun menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliaupun menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab: “Benar.” Beliaupun berkata: “Itulah kekurangan agamanya”.[86]

 

            Hadis di atas tentunya beragam pendapat dari sisi konteksnya. Hadis di atas jika dipahami secara sempit jelaslah bahwa perempuan sangat dirugikan, karena sudah barang tentu mereka beranggapan akan masuk neraka. Namun jika dipahami lebih dalam, hadis tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan perempuan masuk neraka tetntunya ada sebabnya.

            Pandangan santriwati di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis diatas juga berbeda pendapat. Karena menurut mereka memahami hadis tidak hanya secara tekstual namun juga dipahami secara konteksual.[87]

             Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan santriwati yang bernama Yusmarni dan Hani’ah mereka mengatakan:

“Menurut pendapat kami tentang banyaknya perempuan masuk neraka itu karena perempuan yang tidak patuh kepada suaminya, disini tentu sangat jelas bahwa istri yang tidak patuh atau taat kepada suaminya sudah pasti masuk neraka. Namun kita harus pahami bahwa patuh atau taat kepada suami itu adalah dalam hal kebaikan dan ketaatan kepada Allah, namun jika patuh dalam kezoliman atau keburukan, kita sebagai istri wajib untuk tidak mentaatinya. Jadi konteks hadis ini adalah sesorang istri wajib patuh kepada suami jika itu dalam kebaikan”[88].

           

            Pada sisi lain mengenai hadis diatas, di mana perempuan juga dijelaskan sebagai makhluk yang kurang berakal dan sedikit pemahaman agamanya. Alasan mereka mengatakan perempuan kurang akalnya adalah karena kesaksiannya dinilai setengah daripada kesaksian laki-laki. Padahal Allah Swt. Telah memberikan setiap manusia kelebihannya sendiri-sendiri.

            Lain lagi pendapat Irma salah seorang santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :

Perempuan dianugerahi kelebihan dengan menonjolkan perasaan yang tinggi dan rasa iba yang dalam serta rasa kasih sayang yang luar biasa. Sedangkan laki-laki diberi kelebihan ketabahan dalam menghadapi kesulitan tanpa ada rasa ketakutan. Bagaimana perempuan dapat dikatakan memiliki kekurangan akal, sedangkan pada masa Nabi Saw. Hidup, perempuan lebih sering berperan dalam urusan rumah tangganya dan mereka jarang sekali terlibat dalam urusan sosial masyarakat atau publik, sehingga ingatan kaum perempuan menjadi lemah karena jarang digunakan untuk memikirkan urusan sosial atau publik yang kompleksitas. Hal itu dikarenakan urusan publik yang paling dominan saat itu adalah soal hutang-piutang dan lebih banyak dilakukan oleh pihak laki-laki[89].

 

           

            Menurut pandangan penulis, hadis di atas berhasil memposisikan perempuan sebagai kebanyakan penghuni neraka, jika dilihat dari bunyi teks hadisnya. Alasannya karena mereka mengingkari dan menolak kebaikan laki-lakinya. Padahal faktanya sekarang secara kapasitas penduduk bumi ini lebih didominasi dan lebih banyak perempuan dari pada lakilaki. Dengan demikian, secara eksplisit mengatakan bahwa kebanyakan penduduk bumi adalah calon ahli neraka.

            Hadis di atas disampaikan oleh Nabi pada saat khutbah salat hari raya, sebelumnya Nabi memerintahkan seluruh perempuan untuk pergi menuju lapangan tempat melaksanakan salat id, Nabi berkata bahwa beliau akan memberikan nasihat khusus untuk perempuan dan akan mengabarkan kabar gembira untuk mereka.

            Abu Syaukah memberikan komentar terhadap hadis ini, menurutnya hadis ini merupakan hadis khusus yang tidak bisa digeneralisasikan. Hadis ini khusus di sampaikan oleh Nabi kepada para perempuan ansor yang pandai berbicara. Abu syaukah juga berpendapat bahwa hadis tersebut diucapkan oleh nabi dalam khutbah salat id. Keadaan ini menyatakan bahwa pada saat itu nabi sedang berada pada posisi yang tenang, dan tidak marah. Disamping itu Nabi juga merupakan seorang yang penyayang terhadap istri- istri dan anak-anaknya.

            Pada awalnya Nabi memerintahkan perempuan untuk bersedekah, hal ini dikarenakan perempuan pada masa Nabi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak- anaknya, sehingga tidak memungkinkan mereka untuk bersedekah. oleh karena itu Nabi memerintahkan seluruh wanita baik yang sedang haid ataupun suci untuk berkumpul di lapangan agar dapat bersedekah dan dapat mendengarkan fatwa Nabi.

            Teks hadis di atas disebutkan bahwa penyebab wanita menjadi penghuni neraka adalah karena tidak mensyukuri harta suaminya. Dalam tradisi arab, seorang istri menjadi ratu dalam rumahnya, sedangkan suami bertanggung jawab atas segala kebutuhan dan urusan dalam rumah tangga. Posisi perempuan yang menjadi ratu di rumah menuntut mereka untuk taat kepada suami. Sehingga nabi sangat marah saat perempuan melaknat suaminya. Bahkan nabi pernah berkeinginan untuk memerintahkan perempuan bersujud kepada suaminya. Hal ini dikarenakan betapa sangat besar peran yang ditanggung oleh suami terhadap istri kala itu.

            Hadis di atas juga disebutkan bahwa perempuan memliki akal yang kurang, yaitu dalam persaksian. Demikian juga dengan tidak layak jika wanita dianggap kurang agamanya hanya karena mereka nifas saat melahirkan dan sering menstruasi tiap bulannya. Mereka mengalami rutinitas seperti itu karena sudah menjadi garis alam dan tidak dapat dihindari. Tidak etis dikatakan orang yang berdosa perempuan yang mengalami nifas atau haid, sehingga disebut sebagai penghuni neraka. Tentu Allah SWT Maha Pemurah dan Maha Penyayang sehingga perempuan mendapat keringanan dari Allah untuk tidak selalu melaksanakan shalat pada masa haidnya, dan Allah tidak akan mengingkari ketentuan tersebut.

           Melihat relevansi hadis dengan situasi munculnya saat itu atau asbābu al-nuzūlnya, pernyataan ini dikemukakan oleh Rasulullah saw dalam hadits tersebut beliau memperingatkan kaum perempuan pada saat hari raya. Audien yang diajak berdiskusi saat itu adalah perempuan penduduk Madinah yang mayoritas dari golongan kaum Anshar. Saat itu perempuan-perempuan Anshar mendominasi terhadap laki-laki, sedangkan perempuan Muhajirin saat itu tidak lebih mendominasi dari kaum laki-laki.

           Jadi maksud Hadis tentang perempuan yang kurang akal dan agama menurut Ulama Hadis yang menyebabkan perempuan banyak menjadi penghuni neraka dikarenakan banyak melaknat, ingkar tehadap suami dan kekurangan pada diri mereka yaitu kekurangan akal dan agama. Maksud penyebutan kekurangan perempuan bukan untuk mencela akan tetapi memberi peringatan agar sesorang tidak terfitnah oleh mereka. Sehingga azab tidak terkait dengan kekurangan mereka akan tetapi atas pengingkaran mereka.

           Sebaliknya juga, kekurangan akal dan agama pada perempuan tidak bisa dijadikan alasan untuk merendahkan perempuan, karena banyak para perawi hadis dari kalangan perempuan seperti Aisyah dan sebagainya. Letak kekurangan akal itu hanya pada persaksian, sedangkan pada hal lain mungkin saja perempuan lebih unggul dan letak kekurangan agama adalah tidak shalat dan puasanya perempuan pada saat haid. Hal ini merupakan ketaatan kepada aturan agama dan haid atau nifas tidak terjadi sepanjang hidup sehingga tidak dapat dijadikan alasan kekurangan agama pada perempuan.

 

B.  Konstruksi Hadis Misoginis Terhadap Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah

            Pesantren adalah gudang ilmu agama, di mana tempat para santri mencari ilmu. Namun, terkadang ada beberapa permasalahan dalam metode pembelajaran yang digunakannya. Misalnya, dalam mengajarkan hadits, banyak para ustadz atau ustadzah dalam mengajarkan kitab-kitab hadis dengan metode ceramah, tanpa mementingkan penjelasan secara mendalam tentang maksud dari hadits tersebut. Sehingga kadang dalam pemikiran santri masih timbul pertanyaan tentang tafsir hadits yang masih berbau  misoginis.

         Hadis seakan menjadi sarapan utama para santri setelah al-qur’an, karena hadits adalah sumber hukum kedua dalam islam setelah al-qur’an. Hadis banyak terbagi menjadi bermacam-macam, dari segi kualitas saja hadis terbagi menjadi tiga, yakni hadis shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Ada banyak hadits yang dipelajari dalam pondok pesantren, kadang matannya jelas sehingga memebaca secara tekstual saja sudah bisa memahami maksud dari hadits tersebut, namun terkadang ada pula yang secara tekstual tidak sesuai dengan maknanya. Misalnya hadis-hadis misoginis yang secara tekstual seakan-akan memojokkan kaum perempuan, sehingga banyak dari para santri yang menerima hadits tersebut secara mentah-mentah karena masih belum terlalu faham maksud sebenarnya dari hadis tersebut.

     Adapun konstruksi hadis misoginis terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah adalah sebagai berikut :

1. Memahami hadis secara kontekstual.    

           Dalam proses kontruksi hadis ini, penulis mengamati proses eksternalisasi terjadi pada metode pembelajaran hadis yang digunakan ustadz atau ustazah dalam menyampaikan hadis misoginis yaitu metode membaca dan presentasi. Dengan dua metode ini, proses ekternalisasi terjadi antara satu individu dengan individu yang lain. Dengan dua metode pembelajaran tersebut, penulis mengamati masih terlalu banyak kekurangan dalam memahami hadis, termasuk memahami hadis-hadis misoginis yang pastinya membutuhkan pemaknaan atau interpretasi.[90]

   Wawancara penulis dengan beberapa santriwati kelas VI di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mereka adalah Risma, Yolanda dan Intan mengatakan :

“Metode yang digunakan ustaz dalam mengajarkan hadis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang ini adalah metode membaca dan metode presentasi. Akan tetapi keterbatasan waktu dan kurang kondusifnya pemebelajaran, seringkali ustadz hanya membacakan hadis tanpa memberikan interpretasi yang jelas terhadap makna hadis tersebut. Dari sinilah banyak terjadi pemaknaan yang berbeda dalam memahami hadis-hadis mosoginis, sehingga menjadikan tindakan praktis dalam kehidupan kesehariannya yang selalu memandang laki-laki lebih superioritas dari pada perempuan dalam segala hal[91].

 

 

 Dari hasil wawancara penulis di atas, tentunya pemahaman santri terhadapat pemahaman hadis menjadi berbeda-beda, karena penggunaan metode yang kurang pas dalam mempelajari hadis sering menimbulkan interpretasi yang salah  dalam memahami hadis terhadap pemahaman santri. Pemahaman-pemahan seperti ini dapat mengakibatkan lahirnya sifat atau gender stereotype yang dapat menimbulkan adanya bias gender di pesantren.

2. Pandangan santri terhadap hadis-hadis misoginis

  Pada proses pemahaman mengenai hadis-hadis misoginis, para santri berbeda pendapat dalam memahami hadis-hadis misoginis tersebut. Hal tersebut adaya anggapan sebahagian santri bahwa perlu adanya penjelasan lebih mendalam dari para ulama’ atau ustaz yang mengajar untuk lebih lebih mendetail menganai syarah hadis-hadis misogini.[92]

   Lebih lanjut hasil wawancara penulis dengan Darmala salah seorang santriwati pondok pesantren Azzakariyah mengatakan :

“Mengenai hadis-hadis misoginis tentunya kita harus banyak bertanya dan berdiskusi dengan para guru atau membaca buku-buku syarah hadisnya. Menurut pendapat saya jika kita kurangnya memahami konteks hadis itu  dapat menjadi pemicu terjadinya bias gender dikalangan pondok pesantren, hal ini diakibatkan adanya kesalahan interpretasi dari makna hadis yang sebenarnya[93]

 

            Lain hal nya pendapat Istiqomah santriwati pondok pesantren Azzakariyah mengatakan :

“Menurut pendapat saya, di mana dalam memahami hadis misginis terutama dalam interkasi sosial tentu adanya muncul pikiran dan konsep diri aktor yang merupakan bagian esensi dalam tindakan sosial, sehingga mereka saling mempengaruhi, menyesuaikan diri dan saling mencocokkan tindakan mereka. Interaksi sosial dalam pandangan interaksionisme simbolik tersusun atas tiga entitas, anatra lain tindakan sosial bersama, bersifat simbolik, dan  melibatkan pengambilan peran[94].

           

            Dari hasil wawancara penulis diatas sangatlah jelas bahwa pemahaman hadis-hadis misoginis tersebut akan mengalami internalisasi pada pikiran dan konsep diri para santri pondok pesantren Azzakariyah. Karana komunikasi santri terus menerus akan menggunakan simbol. Ketika santri berinteraksi dengan lawan jenis maka akan menginterpretasi simbol-simbol yang mereka lihat dari individual lain.

 

C.    Dampak Hadis Misoginis Terhadap Terhadap Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah

         Dalam proses kontruksi sosial ini, dampak hadis misogonis terhdap kehidupan santri di pondoke pesantren Azzakariyah, penulis mengamati bahwa proses eksternalisasi terjadi pada metode pembelajaran hadis yang digunakan ustadz dalam menyampaikan hadis misoginis yaitu metode membaca dan presentasi.

         Dengan dua metode ini, proses ekternalisasi terjadi antara satu individu dengan individu yang lain. Dengan dua metode pembelajaran tersebut, penulis mengamati masih terlalu banyak kekurangan dalam memahami hadis, termasuk memahami hadis-hadis misoginis yang pastinya membutuhkan pemaknaan atau interpretasi yang jelas agar para santri tidak salah dalam memahami maksud dari hadis-hadis tersebut.

        Pengamatan penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang menemukan bahwa proses kontruksi sosial dalam kehidupan santri dalam fase ekternalisasi ini terjadi pada metode pembelajaran hadis yang digunakan, sehingga menyebabkan adanya kesalahan interpretasi dalam pemahaman hadis.[95]

        Pada kehidupan seahari-hari para santriwati di pondok pesantren Azzakariyah, misalnya dalam contoh rapat OSIS yang di laksanakan oleh santri putra dan putri, di mana dalam proses interaksi tersebut ada proses eksternalisasi tentang pengambilan peran dan superioritas santri putra terhadap santri putri. Para santri putri masih terlalu takut dalam mengambul keputusan dan ada kecenderungan untuk selalu bergantung pada kuputusan santri putra. Begitu juga contoh lain dalam kebijakan utusan perlombaan yang di delegasikan, bahwa santri putri masih memiliki peran yang sangat kurang dan cenderung mengutamakan santri putra.

            Wawancara penulis dengan Juwita Wulandari santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :

“Menurut saya bahwa identitas kepribadian seorang perempuan akan benar-benar terbentuk tentang anggapan kelayakan perempuan menjadi seorang pemimpin, karena perempuan itu adalah makhluk yang lemah, perempuan adalah sumber fitnah dan banyak anggapan lain nya yang cenderung pada arah deskriminalisasi yang menuju pada proses terjadinya bias gender di pesantren[96].

 

Lain halnya pendapat Intan Nur Aini santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :

“Kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin perlu adanya kajian yang mendalam, sebagai contoh rapat OSIS yang di laksanakan oleh santri putra dan putri, di mana dalam proses interaksi tersebut ada proses eksternalisasi tentang pengambilan peran dan superioritas santri putra terhadap santri putri. Para santri putri masih terlalu takut dalam mengambul keputusan dan ada kecendrungan untuk selalu bergantung pada kuputusan santri putra[97].

 

  Pendapat lain menurut Zahrah santriwati pondok pesantren Azzakariyah beliau mengatakan :    

“Memahami  hadis  mengenai  toleransi  dengan  struktur  pemikiran yang  berpusat  pada  teks  (bayani),  interpretai  (burhani),  dan penyingkapan terhadap segala rahasia Allah (irfani), dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap pemahaman mengenai pendidikan santri. Dampak tersebut dapat dilihat pada beragam pendapat mengenai hadis misoginis”.[98]

 

           Hasil wawancara penulis diatas menunjukkan bahwa pemahaman santri tentang hadis-hadis misoginis akan berlanjut pada proses internalisasi yang pada fase sebelumnya mengalami ekternalisasi. Hal ini akan mengalami alur yang pajang dan akan terus berkelanjutan hingga terciptanya fase obyektifasi. Disamping itu pemahaman para santriwati yang terlalu tekstual dalam memahami hadis-hadis misoginis, sehingga aktivitas para santri adalah legitimasi pranata sosial yang akhirnya mencapai generalitas yang disebut pandangan hidup.

         Ideologi santriwati dengan menganggap perempuan hanyalah sekedar makhluk yang lemah tidak bisa terbantahkan. Kontruksi hadis misoginis terhadap kehidupan santriwati tentang gender mengakibatkan lahirnya sifat stereotype.

         Dari tiga fase tersebut akan lahir sebuah kontruksi tentang hadis misoginis terhadap kehidupan para santri. Lahirnya sifat konservatif, subbordinatif, stereotype, dan ketidaksetaraan akan terjadi pada kehidupan santri. Santri putra akan selalu merasa superior dari pada santri putri, hal ini terbukti pada jumlah tenaga pengajar di Pondok Pesantren Azzakariyah yang mayoritas diakuisi oleh laki-laki, sistem pengambilan kebijakan ketika pendelegasi lomba, pengambilan keuputusan rapat OSIS maupun sarana prasarana.

   

PENUTUP

 

 

A.  Kesimpulan

          Dari pembahasan pada bab diatas mengenai Kajian Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis–Hadis Misoginis (Studi Pada Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin) dapat penulis mengambil kesimpul sebagai berikut :

1. Pemahaman Santri Pondok Pesantren Azzakariyah Terhadap Hadis-Hadis Misoginis dimana penulis mengambil dua hadis sebagai bahan untuk penelitian pertama yaitu hadis tentang Perempuan Tidak Boleh Menjadi Pemimpin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan santri pondok Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan tidak menjadi pemimpin karena perempuan lebih mengutamakan perasaan dari pada akal kedua hadis tentang Kebanyakan Perempuan Menjadi Ahli Neraka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan santriwati di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang mengenai hadis diatas juga berbeda pendapat. Karena menurut mereka memahami hadis tidak hanya secara tekstual namun juga dipahami secara konteksual.

71

2. Hadis Misoginis Terhadap Kehidupan Santri Pondok Pesantren Azzakariyah terdapat dua kontruksi pertama kebanyakan santri memahami hadis secara kontekstual. Hal ini terlihat bahwa pemahaman santri terhadapat pemahaman hadis menjadi berbeda-beda, karena penggunaan metode yang kurang pas dalam mempelajari hadis sering menimbulkan interpretasi yang salah  dalam memahami hadis terhadap pemahaman santri. Kedua Santri tidak mampu memahami hadis-hadis misoginis dengan baik hal ini sangat jelas bahwa pemahaman hadis-hadis misoginis tersebut akan mengalami internalisasi pada pikiran dan konsep diri para santri pondok pesantren Azzakariyah.

3. Dampak Hadis misoginis terhadap terhadap kehidupan santri pondok pesantren Azzakariyah adalah pemahaman para santriwati yang terlalu tekstual dalam memahami hadis-hadis misoginis, sehingga aktivitas para santri adalah legitimasi pranata sosial yang akhirnya mencapai generalitas yang disebut pandangan hidup.

 

B. Saran

     Penelitian ini sudah menjelaskan kajian living hadis mengenai pemahaman santri tetntang hadis misoginis Pondok Pesantren Azzakariyah Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten baik dari aspek pemahaman, aspek hadis maupun dari aspek dampaknya.

     Namun penelitian ini tentunya masih membuutuhkan penjelasan lanjut untuk menjelaskan faktor yang memberi kekeliruan pemahaman hadis misoginis. Untuk itu peneliti sampaikan berupa saran kepada guru dan santri khusus dan pembaca umumnya.  

1.      Kajian living hadis merupakan satu kajian yang masih sangat terbuka terhadap bentuk penelitian dalam bidang hadis. Di samping itu, memang masih belum ada kesepakatan dalam model metode dan analisisnya. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk memancing dan memantik diskursus kajian living hadis di Indonesia

2.      Setelah peneliti mengamati pemahaman santriwati terhadap kajian living hadis khususnya mengenai hadis misoginis di Pondok Pesantren Azzakariyah, hendaknya janganlah memahami hadis secara tekstual saja, hendaklah kalian pahami betul apa yang diajarkan guru sehingga tidak ada lagi ada perbedaan pendapat dalam memahami sebuah hadis. Begitu juga guru yang mengajar hadis kiranya dapat mengajarkan hadis kepada santri dan santriwati dengan memberikan pemahaman yang tidak menimbulkan pemahaman negatif, apalagi hadis yang menyangkut misogonis sehingga tidak menimbul pemahaman yang berbeda-beda.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arifullah, Mohd. et. al.,  Panduan Penulisan Karya Ilmiah: Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

 

Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

Fathoni, Abdurrahman, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011)

 

Fauziah, Siti, “Pembacaan al-Qur’an Surat-Surat Pilihan Di Pondok Pesantren Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus”, Skripsi (Yogyakarta: Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014)

 

Fudhaili, Ahmad, Pemahaman Misoginis dalam Hadis, (Fudhaili Online Blogspot, 2010), diakses pada: http://kritikhadits.com, tanggal 13 Desember 2021)

 

Fudhaili, Ahmad. Perempuan Di Lembaran Suci; Kritik atas Hadis-hadis Shahih. (Jakarta: Kementran Agama RI, 2012)

 

Hadis, Shahih Bukhari, Juz IV, no. 4163, 1610

Hadis, Sunan Abu Dawud, Bab: Kitab Al-Libas, Juz IV, no. 4104

Husein, Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001)

Irawan Soehartono, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja Rosda Karya: 2011)

 

Ismail, M.Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)

Khaled, Abu el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from The Extremists, Los Angeles: Perfect Bound, 2005)

 

Kountur, Ronny, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2007)

 

London School Beyond Borders: Communication Modernit & History, (Jakarta, STIKOM The London School of Public Relations, The First LSPR Communication Research Conference  2010)

 

Majid Khon,  Abdul, Ulumul Hadis, cet. 10, (Jakarta: Amzah, 2010)

Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama, (Bandung:Rosda Karya, 2004)

 

Moleong, Lexy J,Methodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Rosda Karya, 2004)

 

Mufidah, Gender di Pesantren Salaf, Why Not?: Menelusuri Jejak Kontruksi Sosial Pengarustamaan Gender di Kalangan Elit Santri ( Malang : Uin-Maliki Press, 2010)

Muhammad  bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VI, (Dar Tawq al-Najah.)

Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskripstif Kualitatif, (Jakarta: GP Press Group, 2013)

 

Muqtada, R. (2014). Kritik Nalar Hadis Misoginis. Jurnal Musawa, 13, 2,

Nur Jannah, Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta, Lkis, 2003)

 

Ouzon, Zakaria. Jinayat al-Bukhari; Inqadz al-Din min Imam al-Muhadditsin, bab al-Bukhari waal-mar’ah. Beirut: Riad El-Rayyes Book, 2004

 

Riffat, Hasan, Teologi Perempuan Dalam Tradisi Islam, Sejajar di Hadapan Allah” Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No.4, (Jakarta: Paramadina, 1990)

 

Sahiron Syamsuddin, Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 355, dikutip dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007)

 

Sunarto,  Televisi,  Kekerasan,  dan  Perempuan,  Jakarta:  PT.  Kompas  Media Nusantara, 2009)

 

Syamsuddin, Muh, “ Dampak Hadis Misogini Terhadap Pemahaman Santri ( Studi kasus tentang pemahaman gender di Pesantren Salafiyah darussalam Sumber Sari Pare Kediri)”, Jurnal Studi Islam, 2 (Desember 2017)

Wilaela,  Perempuan-perempuan  Haremku  (Telaah  Pengalaman  Perempuan oleh Perempuan dengan Pendekatan Sejarah Peradaban Islam)”, Marwah, Volume 4, Nomor 8, (Juli, 2005)

 



[3] Amina Wadud, Konsep Penciptaan Perempuan: Studi Atas Pemikiran Amina Wadud dalam Buku Qur"an And Woman" Kontemplasi, Vol. 01 No. 02 (November 2013), 80

[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, cet. 10, (Jakarta: Amzah, 2010), 2.

[5] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 89.

[6] Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M),158

[7] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001), 201-203.

[8] Sahiron Syamsuddin, Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 355.

                [9] Faqihuddin Abdul Kodir, 60 Hadis Hak-Hak Perempuan Dalam Islam (Teks Dan Interpretasi) (Yogyakarta: Sinau Mubadalah, AMAN Indonesia, 2017), vi.

[10] Muh. Syamsuddin, “ Dampak Hadis Misogini Terhadap Pemahaman Santri ( Studi kasus tentang pemahaman gender di Pesantren Salafiyah darussalam Sumber Sari Pare Kediri)”, Jurnal Studi Islam, 2 (Desember 2017), 258.

                [11]Muhammad  bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VI, (Dar Tawq al-Najah.),  133

[12] Riffat Hasan, “Teologi Perempuan dalam tradisi Islam, sejajar di Hadapan Allah?” Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No.4, (Jakarta: Paramadina, 1990), 55

                [13] Ahmad Warson Munawwir, Almunawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 261

                [14] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 17.

[15] Khaled Abu el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from The Extremists, Los Angeles: Perfect Bound, 2005,142-143

                [16] Jujun S. Suriasumantri dalam pengantar Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: YOI, 1991),h.ii

                [17]Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis (Tangerang: Yayasan Wakaf  Darus-sunnah, 2019), 22.

                [18]Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, ilmu Living Qur’an-Hadis, 50.

[19] Subhi Salih, “Ulum Al-Hadis wa-Musthalahu” (Beirut” Dar a;-Ilm Lil-Malayin, 1988), 3-5.

[20] Ibid, 193.

[21] Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, 330.

[22]Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, 331.

                [23] Syamsul Hadi Untung, and Achmad Idris. “Telaah Kritis terhadap Hadis Misoginis,” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 11, no. 1 (Maret 2013): 39.

                [24] Khozin, “Pemahaman Hadis Misoginis,” 59.

                [25] Al-Jabiri, Madkhal ila Falsafat al-‘Ulum (Beirut: Markaz Dirasat alWahdah al-‘Arabiyyah, 2002), h. 18-19 dan 22-23

                [26] Khanafie Al-Jauharie, Imam. 2010. Filsafat Islam Pendekatan Tematik, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, h.4

[27] Wilaela,  Perempuan-perempuan  Haremku  (Telaah  Pengalaman  Perempuan oleh Perempuan dengan Pendekatan Sejarah Peradaban Islam)”, Marwah, Volume 4, Nomor 8, (Juli, 2005), 22.

                [28] Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-Fikr. 1401 H-1981M), IV. h.84

[29] Nur Jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran Yogyakarta, Lkis, 2003

[30] London School Beyond Borders: Communication Modernit & History, (Jakarta, STIKOM The London School of Public Relations, The First LSPR Communication Research Conference  2010), hal. 14

[31] Sunarto, Televisi,  Kekerasan,  dan  Perempuan,  Jakarta:  PT.  Kompas  Media Nusantara, 2009), 49

[32] Ouzon, Zakaria. Jinayat al-Bukhari; Inqadz al-Din min Imam al-Muhadditsin, bab al-Bukhari waal-mar’ah. Beirut: Riad El-Rayyes Book, 2004. H. 91-92

                [34] Ibn Hajar Al-Asqâlani, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 21, terj. Aminuddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),  h.435. Lihat Juga. Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, vol. 6, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 541

                [35] Jalâl al-Din al-Suyûthî, Sunan al-Nasâi bi Syarhal-Hafiz Jalal al-Din al-Suyuthi, vol. 7-8, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1348 H/1930 M), h. 227

                [36] Abû Abd Allâh Muhammad ibn Ismâil al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh: Maktabah al- Maârif, 1417 H), h. 661

                [37] Ibn Hajar Al-Asqalâni,  Fath al-Bâri: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 2, h. 509.

[38]Muh Syamudin, Dampak Hadis Misoginis Terhadap Pemahaman Santri  ( Studi kasus tentang Pemahaman   Gender di Pesantren Salafiyah Darussalam Sumbersari Pare Kediri ) jurnal studi islam 2 ( Desember, 2017),258.

[39] Filda  Fadilah,  Konsep Kesetaraan Gender  Dalam Pandangan Santri”, Jurnal IAIN  Syekh Nurjati Cirebon, 1 (Maret,2017),h. 15

[40] Abd Hannan, Gender dan Fenomena Patriarki Dalam Sosial Pendidikan Pesantren (Jurnal : 2016), 233

[41] Muhammad Rofiq, Memahami  Hadis  Misoginis  Perspektif  Maqasid  Syari‘ah, Jurnal Skripsi IAIN Cirebon, (2018), h. 7

[42] Muzakka, kesetaraan gender dalam sastra pesantren (kajian terhadap kitab syi’ir laki rabi)” Syari‘ah, Jurnal Skripsi IAIN Cirebon, (2013), 9

[43] Jamilah, Marriage And The Independency Of Women (A Case Study On Early Marriage In Local Area In Madura) Jurnal,2013,21    

                [51]Irawan Soehartono, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja Rosda Karya: 2011),  67-68

                [53]Djamaries, Kamus Besar Bahasa Inggris, 671.

                [54] Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama, 531.

                [57] Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 68.

                [58] Observasi di Pondok Pesantren Azzakariyah tangal 23 Maret 2022

                [59] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [60] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [61] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [62] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [63] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [64] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [65] Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Azzakariyah tahun 2022

                [66] Delfiyando, ―Peranan Lembaga Filantropi Islam Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Lembaga Filantropi Di Metro Pusat Kota Metro),‖ 19.

                [67] Khoirul Anam, ―Studi Living Hadis Pemahaman Santri Pondok Pesantren Bustanul Ulum Mlokorejo Terhadap Hadis-Hadis Misoginis,‖ t.t., 19

                [68] Kajian mengenai living sunnah diulas secara mendalam oleh Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH Press bekerjasama dengan penerbit Teras, 2007), 89-104.

                [69] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), 9.

                [70] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta:PT. RajaGrafindo, 1977), 95-96

                [71] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), 38.

                [72] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1483

                [73] Muhammad Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2000), 2.

[74]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158.

                [75] Ibn Hajar Al-Asqâlani, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 21, terj. Aminuddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),  h.435. Lihat Juga. Abi al-‘Aly Muhammad Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, vol. 6, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 541

                [76] Jalâl al-Din al-Suyûthî, Sunan al-Nasâi bi Syarhal-Hafiz Jalal al-Din al-Suyuthi, vol. 7-8, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1348 H/1930 M), h. 227

                [77] Abû Abd Allâh Muhammad ibn Ismâil al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh: Maktabah al- Maârif, 1417 H), h. 661

                [78] Ibn Hajar Al-Asqalâni,  Fath al-Bâri: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari, vol. 2, h. 509.

[79]Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.158.

                [80] Observasi penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang tanggal 03 Maret 2022

                [81] Wawancara penulis dengan Yusmawati santri pondok pesantren Azzakariyah tanggal 03 Maret 2022

                [82] Wawancara penulis dengan Indrawati santri pondok pesantren Azzakariyah tanggal 03 Maret 2022

                [83] Wawancara penulis dengan Amelia Sartika salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022

                [84] Wawancara penulis dengan Salmawati salah seorang santriwati di pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022

 

                [85] Wawancara penulis dengan Murniwati santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 05 Maret 2022

 

                [86] Abû Abd Allâh Muhammad ibn Ismâil al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 90. Muhammad ibn Isâ ibn Sawrah al-Tirmidziy, Sunan At-Tirmidzi, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), h. 131; Abû Abd Allâh Muhammad ibn Yazid al-Qazwayniy al-Syahriy (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah,(Riyadh: Maktabah al- Maârif, 1417 H), h. 661

                [87] Observasi penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang tanggal 11 Maret 2022

                [88] Wawancara penulis dengan Yusmarni dan Hani’ah santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 11 Maret 2022

                [89] Wawancara penulis dengan Irma salah seorang santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 15 Maret 2022

 

                [90] Observasi penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang tanggal 15 Maret 2022

                [91] Wawancara penulis dengan Risma, Yolanda dan Intan santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 16 Maret 2022

                [92] Observasi penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang tanggal 22 Maret 2022

                [93] Wawancara penulis dengan Darmala santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 16 Maret 2022

                [94] Wawancara penulis dengan Istiqomah santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 22 Maret 2022

 

                [95] Observasi penulis di pondok pesantren Azzakariyah Talang Sengkuang tanggal 23 Maret 2022

                [96] Wawancara penulis dengan Juwita Wulandari Santriwati pondok pesantren Azzakariyah tanggal 23 Maret 2022

                [97] Wawancara penulis dengan Intan Nur Aini santriwawi pondok pesantren Azzakariyah tanggal 23 Maret 2022

                [98] Wawancara penulis dengan Zahrah santriwawi pondok pesantren Azzakariyah tanggal 23 Maret 2022

 



0 $type={blogger}:

Postingan Populer

Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Kota Jambi, Indonesia

Putra Muaro Bungo

Putra Muaro Bungo
Jadilah Diri Sendiri Tanpa Berharap Kepada Manusia

Simpel Aja

Simpel Aja

PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)

My Famili

SELAMAT DATANG DI

BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN BLOG KHAIRUL AKMAN

Arsip Blog

Pengikut

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Total Tayangan Halaman

TERIM KASIH

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG KAMI SEMOGA BERMANFAAT